Eksposisi Filipi 3:10-11

Posted on 27/06/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/07/eksposisi-filipi-3-10-11.jpg Eksposisi Filipi 3:10-11

Apakah yang paling kita rindukan di dunia ini? Jika kita hanya boleh memilih satu di antara sekian ribu keinginan, apakah yang akan menjadi jawaban kita? Apapun jawabannya, hal itu pasti akan menentukan banyak hal dalam kehidupan kita.

Jika seseorang sangat merindukan X, maka apapun juga yang merintangi maupun menjauhkan dia dari X akan dianggap sebagai kerugian, begitu pula sebaliknya akan dipandang sebagai keuntungan. Apa yang paling kita inginkan pada akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang memandang dirinya, entah sebagai orang yang sukses atau gagal, bahagia atau malang, berharga atau hina.

Sebagaimana kita sudah bahas dalam khotbah sebelumnya, yang paling berharga bagi Paulus adalah mengenal Kristus (3:8 “karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya”). Pengenalan ini memampukan dia untuk memandang sesuatu sebagai keuntunan atau kerugian, kebanggaan atau sampah (3:7-8). Nah, khotbah hari ini akan menerangkan secara lebih jauh apa yang dimaksud dengan “mengenal Kristus” tersebut.

Apakah pengenalan ini hanya bersifat intelektual? Bagaimana kita bisa mengenal Kristus dengan cara seperti itu? Apa tujuannya? Dengan kata lain, kita akan belajar tentang sifat, cara dan tujuan dari pengenalan tentang Kristus.

 

Sifat pengenalan: personal (ayat 10)

Secara gramatikal maupun konseptual bagian ini tidak berdiri sendiri. Ayat 10 menerangkan ayat 7-9. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ayat 10 memberi penjelasan lebih detail tentang mengenal Kristus di ayat 7-8.

Sebelum kita menguraikan ayat 10 lebih lanjut dalam kaitan dengan ayat 7-8, kita perlu menggarisbawahi bahwa ayat 10 juga melanjutkan ide di ayat 9, yaitu tentang pembenaran di dalam Kristus. Melalui iman kepada Kristus kita dibenarkan di hadapan Allah (3:9). Namun, perjalanan rohani kita tidak berhenti di sana. Pembenaran hanyalah salah satu langkah awal. Masih ada rangkaian proses berikutnya. Salah satunya adalah mengenal Kristus. Pembenaran adalah sesuatu yang terjadi secara legal dan objektif, sedangkan pengenalan terhadap Kristus bersifat personal dan subjektif. Dua-duanya harus ada dalam kehidupan orang percaya. Tanpa pembenaran, pengenalan terhadap Kristus hanya akan menjadi teologi yang tidak membawa transformasi diri. Tanpa pengenalan, pembenaran hanyalah sebuah spekulasi yang belum (atau tidak) terbukti.

Sifat pengenalan yang personal ditunjukkan oleh struktur kalimat di ayat 10a. Mayoritas terjemahan Alkitab memberi kesan bahwa objek pengenalan ada tiga: Kristus, kebangkitan-Nya dan kematian-Nya. Walaupun ayat 10a memang bisa diterjemahkan secara hurufiah seperti itu, tetapi ada cara lain untuk memahaminya. Kata sambung “dan” (kai) yang pertama bisa berfungsi sebagai penjelasan (epexegetical kai), bukan penambahan. Jika opsi ini diambil, ayat 10 berbunyi sebagai berikut: “Yang kukehendaki adalah mengenal Dia, yaitu kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya.” Opsi ini secara konseptual lebih masuk akal: mengenal Kristus tidak terpisahkan dari kematian dan kebangkitan-Nya. Lagipula ayat 10b-11 selanjutnya hanya menyoroti kematian dan kebangkitan. Jika objek pengenalan ada tiga, mengapa ayat 10b-11 hanya menyinggung dua hal ini saja?

Jika opsi di atas diterima, kita bisa melihat dengan jelas sifat pengenalan yang sedang dibicarakan oleh Paulus. Dia tidak sedang berteologi secara kering di sini. Pengenalan yang dia bicarakan berkaitan dengan kuasa (dynamis) dan persekutuan (koinōnia), bukan sekadar konsep yang abstrak.

Mengenal kuasa kebangkitan tidak hanya mengetahui fakta atau memahami makna kebangkitan. Paulus sudah mengetahui dan memahami hal itu dengan baik. Yang dia sedang bicarakan lebih ke arah pengalaman daripada pengetahuan atau pemahaman. Pengetahuan dan pemahaman hanyalah pencapaian intelektual jika tidak disertai dengan pengalaman. Sebaliknya, pengalaman patut diragukan dan bisa membahayakan jika tidak disertai dengan pengetahuan dan pemahaman.

Persekutuan dalam penderitaan Kristus juga menyiratkan aspek personal. Kata “persekutuan” (koinōnia) mengandung ide “mengambil bagian” (1:5; 2:1). Jemaat Filipi mengambil bagian dalam pekerjaan pemberitaan Injil (1:5) dengan cara mengutus Epafroditus untuk melayani keperluan Paulus di penjara (2:25) dan menyediakan kebutuhan material Paulus (4:14-18). Di dalam Kristus kita juga memiliki persekutuan yang konkrit, intim, dan mesra dengan Roh Kudus (2:1).

 

Cara mengenal: serupa dengan Kristus dalam kematian-Nya (ayat 10b)

Dalam teks Yunani bagian ini berbentuk partisip (symmorphizomenos) dan menerangkan frasa “persekutuan dalam penderitaan-Nya” (ayat 10a). Artinya, ayat 10b menjelaskan bagaimana kita bisa mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, yaitu dengan cara menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. Frasa ini tentu saja tidak berarti bahwa orang percaya harus mengalami kematian melalui penyaliban. Frasa ini juga tidak mewajibkan setiap orang Kristen untuk menjadi mati sebagai martyr.

Jadi, apa artinya menjadi serupa dengan Kristus dalam kematian-Nya?

Dalam teologi Paulus, menjadi serupa dengan kematian Kristus dapat merujuk pada kematian terhadap dosa (Rm. 6:1-11). Ketika Kristus mati, maka semua orang yang ditebus-Nya juga mengalami kematian itu bersama dengan Dia. Partisipasi dalam kematian Kristus ditunjukkan melalui pertobatan dan pengudusan hidup.

Keserupaan dengan Kristus dalam kematian-Nya juga dapat merujuk pada penderitaan yang dialami karena Kristus (Kol. 1:24; 2Kor. 4:10-12). Ketika kita menderita karena kebenaran Injil, kita sedang membawa kematian Kristus di dalam diri kita (2Kor. 4:10a). Dengan demikian kita menggenapkan apa yang kurang dalam penderitaan Kristus, yaitu kematian Kristus yang membawa manfaat bagi jemaat (Kol. 1:24).

Di antara dua poin di atas – kematian terhadap dosa dan penderitaan karena Injil – sulit ditentukan mana yang dominan dalam pikiran Paulus pada saat dia menuliskan surat Filipi. Dua ide tersebut sama-sama didukung oleh konteks keseluruhan surat ini. Ide pertama didukung oleh 3:12-16. Tidak seperti para pengajar sesat yang merasa diri sudah sempurna, Paulus terus-menerus berupaya menjadi pribadi yang lebih baik di hadapan Allah. Kita harus terus-menerus mengerjakan keselamatan dengan bersandar pada anugerah-Nya (2:12). Ide kedua didukung oleh situasi yang dihadapi oleh jemaat Filipi. Mereka mengalami berbagai tekanan dan penganiayaan karena Injil (1:29-30). Ini adalah panggilan yang beranugerah dari Allah kepada mereka.

Kita mungkin tidak perlu memilih di antara dua opsi di atas. Paulus sangat mungkin memikirkan dua-duanya. Menjadi serupa dengan Kristus dalam kematian-Nya berarti kematian terhadap dosa sekaligus partisipasi dalam penderitaan. Dua pergulatan ini akan selalu menjadi bagian dari kehidupan orang percaya.

 

Tujuan pengenalan: kebangkitan dari orang mati (ayat 11)

Orang-orang Kristen bukan penyuka penderitaan. Kita tidak boleh mencari penderitaan. Kita bersukacita dalam penderitaan bukan karena rasa sakitnya, tetapi tujuannya. Tujuannya adalah “supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati” (LAI:TB/ NASB).

Frasa di atas tentu saja tidak berarti bahwa kebangkitan kita (baca: keselamatan akhir) ditentukan oleh penderitaan kita (baca: usaha manusia). Paulus sudah menegaskan bahwa pembenaran yang dia terima berdasarkan iman, bukan perbuatan baik (3:9). Tidak mungkin di tempat yang sama (3:10-11) dia menyangkali hal itu.

Kita sebaiknya memahami “kebangkitan dari antara orang mati” di 3:11 lebih sebagai rujukan terhadap kemuliaan di akhir zaman daripada keselamatan. Keselamatan kita tidak ditentukan oleh seberapa besar kita menderita bagi Tuhan. Selanjutnya, kita juga perlu memahami bahwa yang sedang dibicarakan oleh Paulus di 3:11 bukan syarat, tetapi konsekuensi. Siapa saja yang menderita karena Kristus akan dimuliakan bersama-sama dengan Kristus (Rm. 8:17). Siapa yang tekun menanggung penderitaan karena Kristus juga kelak akan memerintah bersama Kristus (2Tim. 2:11-12). Mereka yang telah kehilangan segala sesuatu karena iman mereka akan menerima balasan yang setimpal di sorga (Mat. 19:27-30).

Para penafsir mengalami kesulitan untuk memahami pemunculan ei pōs (3:11, LAI:TB “akhirnya”). Secara hurufiah ei pōs seringkali menyiratkan suatu kemungkinan atau ketidakpastian (RSV “if possible”). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan pernyataan Paulus di tempat lain yang penuh dengan kepastian (misalnya, Rm. 8:30-31; 2Tim. 1:12). Ada yang memahami ketidakpastian ini bukan pada fakta kebangkitan (pemuliaan), melainkan cara pemuliaan itu terjadi (misalnya, NIV “somehow”). Ada pula yang menyakini bahwa Paulus memang sedang ragu-ragu di sini. Ada yang melihat ini sebagai bukti kerendahhatian Paulus (tidak mau sok yakin).

Pilihan terbaik mungkin ditentukan oleh konteks Filipi 3. Paulus sangat mungkin sedang mengkritik para pengajar sesat yang merasa diri sudah sempurna (3:1-3, 12-16). Mereka merasa perjalanan rohani mereka sudah usai. Tidak ada lagi yang perlu diusahakan. Di tengah situasi seperti ini Paulus mengingatkan bahwa perjalanan menuju kesempurnaan dan pemuliaan masih panjang. Bukan hanya panjang, tetapi juga penuh dengan penderitaan. Walaupun peperangan sudah dimenangkan oleh Kristus, tetapi masih ada pertempuran-pertempuran yang kita perlu selesaikan. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community