Manusia diciptakan seturut dengan gambar Allah (Imago Dei). Tujuan di balik penciptaan yang spesial ini adalah menguasai seluruh bumi (Kej. 1:26). Dengan demikian keberadaan manusia secara hakiki memang terkait dengan kontribusi manusia bagi dunia. Imago Dei terkait erat dengan melayani. Kehormatan adalah untuk pelayanan.
Aspek hakiki inilah yang membuat manusia sadar bahwa diri mereka berharga. Ketika ada orang merendahkan mereka, ada reaksi dan perlawanan dalam hati mereka. Manusia tidak pantas diperlakukan sembarangan.
Sayangnya, dosa telah merusak tatanan ilahi ini. Manusia menjadi haus dan ambisius terhadap penghargaan. Keberhargaan manusia tidak lagi diletakkan pada pelayanan. Manusia justru merasa baru ketika mendapatkan pelayanan. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa ambisi untuk dihormati menyiratkan pergulatan intrinsik Imago Dei yang tercemar oleh dosa.
Melalui teks hari ini kita diingatkan betapa pentingnya melayani orang lain. Keberhargaan kita bukan terlihat pada saat kita dilayani, melainkan ketika kita melayani. Subjek pelayanan, bukan objeknya.
Paulus menampilkan Epafroditus sebagai pengejawantahan prinsip mendahulukan kepentingan orang lain yang sudah disinggung di awal pasal 2. Jemaat Filipi dinasihati untuk menjaga keharmonisan dengan cara saling rendah hati dan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Teladan sempurna untuk kebajikan ini datang dari Yesus Kristus (2:5-8). Teladan berikutnya adalah Timotius (2:19-24). Yang terakhir tentu saja adalah Epafroditus.
Paulus memutuskan untuk mengirimkan Epafroditus kembali kepada jemaat di Filipi. Frasa “aku lebih cepat mengirimkan dia” menyiratkan bahwa rencana awal tidaklah demikian. Jemaat Filipi mengutus Epafroditus supaya tinggal lebih lama di Roma untuk melayani Paulus. Atas inisiatif Paulus, Epafroditus akhirnya dikembalikan lebih cepat.
Mengapa Paulus mengambil keputusan seperti ini? Tentu saja bukan karena dia merasa kurang cocok dengan Epafroditus. Dia terlihat sangat menghargai utusan jemaat Filipi ini. Alasannya juga bukan karena Paulus kurang membutuhkan tenaga Epafroditus. Dengan semua keterbatasan di penjara, Paulus membutuhkan lebih banyak orang.
Keputusan Paulus diambil dengan dua pertimbangan. Yang pertama adalah sebagai pengganti Timotius. Poin ini terlihat dari kata “sementara itu” di awal ayat 25a (“sementara itu kuanggap perlu mengirimkan Epafroditus kepadamu”). Paulus masih membutuhkan Timotius untuk keperluan tertentu sehingga dia belum bisa melepaskankan Timotius ke Filipi (2:19-24). Jemaat Filipi mungkin akan kecewa dengan berita ini. Sebagai gantinya, Paulus mengutus Epafroditus.
Pertimbangan yang lain adalah sebagai bentuk kepedulian Paulus terhadap Epafroditus (ayat 26) dan jemaat Filipi (ayat 28). Epafroditus sangat merindukan dan merisaukan jemaat Filipi. Jemaat Filipi juga bersedih mendengar kabar bahwa Epafroditus jatuh sakit. Supaya dua pihak ini sama-sama bersukacita, Paulus memutuskan untuk mengembalikan Epafroditus secepatnya.
Dari penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa ayat 25-30 berbicara tentang kerelaan masing-masing pihak untuk mengurbankan diri demi kepentingan orang lain. Dalam khotbah kali ini kita akan lebih berfokus pada figur Epafroditus.
Karakteristik orang yang mendahulukan kepentingan orang lain
Bagaimana kita bisa menilai apakah seseorang meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri? Apa saja ciri-cirinya?
Pertama, dia tidak mengecewakan kepercayaan orang lain. Kondisi Epafroditus pada saat menjalankan tugas dari jemaat Filipi tidak terlalu baik. Dia menderita sakit. Kondisinya sangat parah, bahkan nyaris mati (ayat 27, 30).
Kapan dia menderita sakit? Sulit untuk ditentukan secara pasti. Mungkin dia jatuh sakit selama di perjalanan, mungkin juga peristiwa itu terjadi pada saat dia sudah tiba di Roma.
Walaupun kita tidak dapat memastikan kemungkinan mana yang lebih tepat, frasa “mempertaruhkan nyawanya” (ayat 30) tampaknya lebih berpihak pada penafsiran pertama. Frasa ini menyiratkan bahwa Epafroditus memiliki opsi untuk membatalkan atau menuntaskan tugasnya. Di tengah perjalanan dia sudah merasa sakit, tetapi dia memaksakan diri untuk tetap menyelesaikan misi yang diembannya. Itulah sebabnya apa yang dijalani layak dikategorikan mempertaruhkan nyawa.
Epafroditus memilih untuk mengambil resiko dalam melaksanakan tugasnya. Dia tidak ingin membuang percuma kepercayaan dari jemaat Filipi. Dia benar-benar memahami bahwa kepercayaan yang dia terima begitu besar. Jemaat memercayakan bantuan material ke dalam tangannya. Dalam konteks perjalanan kuno yang sangat berbahaya, kepercayaan ini tentu saja tidak sembarangan diberikan. Dia juga dianggap sebagai perwakilan seluruh jemaat dalam melayani kebutuhan Paulus (ayat 25b “yang kamu utus untuk melayani aku dalam keperluanku”; ayat 30 “untuk memenuhi apa yang masih kurang dalam pelayananmu kepadaku”). Reputasi seluruh jemaat dipertaruhkan di pundak Epafroditus. Tanggung-jawab yang besar sejajar dengan resiko dan pengurbanan yang besar. Karena kepercayaan tidak asal diberikan, kepercayaan tidak boleh disia-siakan.
Kedua, dia peka terhadap perasaan orang lain. Dari cara Paulus menjelaskan alasan di balik kepulangan Epafroditus yang lebih cepat, kita bisa mengetahui bahwa ada relasi yang sangat akrab dan penuh kasih antara Epafroditus dan jemaat Filipi. Ketika berada di Roma, Epafroditus merasa rindu dengan jemaat Filipi. Dia bahkan sangat rindu (epipothōn). Kata yang sama juga digunakan oleh Paulus untuk mengungkapkan kerinduannya kepada jemaat Filipi (1:8 “Sebab Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian”).
Bukan hanya rindu, Epafroditus juga bersusah hati (adēmonōn). Kata ini hanya muncul di sini dan pada peristiwa di Getsemani (Mat. 26; Mrk. 14). Menjelang penangkapan diri-Nya Yesus merasakan kegundahan dan kesusahan yang sangat besar. Penggunaan kata yang sama menyiratkan betapa besarnya kesusahan yang dialami oleh Epafroditus.
Menariknya, kesusahan hati ini tidak disebabkan oleh penyakit yang dia derita. Dia justru merasa susah karena dia mengetahui bahwa jemaat Filipi juga susah karena mendengar kabar penyakitnya (ayat 26b “sebab kamu mendengar bahwa dia sakit”). Dengan kata lain, Epafroditus merasa susah karena dia telah menyusahkan jemaat Filipi. Dia tidak sedang meratapi kondisinya yang sakit. Dia tidak sedang mengasihani diri sendiri. Sebaliknya, dia sangat menjaga perasaan jemaat. Dia tidak ingin mereka berdukacita. Sebuah sikap yang luar biasa!
Sikap yang sama ditunjukkan oleh Paulus. Keputusannya untuk memulangkan Epafroditus lebih awal didorong oleh kasihnya kepada jemaat Filipi. Paulus tidak ingin jemaat Filipi terus-menerus berada dalam kesedihan. Dengan memulangkan Epafroditus dalam keadaan sehat sambil membawa surat dari dia, Paulus ingin menghibur jemaat Filipi. Dia berkata: “Itulah sebabnya aku lebih cepat mengirimkan dia, supaya bila kamu melihat dia, kamu dapat bersukacita pula dan berkurang dukacitaku” (ayat 28). Paulus sangat menjaga perasaan jemaat.
Apa yang kita pelajari dari kisah ini? Kita belajar bahwa mementingkan perasaan dan kepentingan orang lain merupakan tanda relasi yang sehat. Sebaliknya, mengasihani diri sendiri merupakan racun dalam relasi. Setiap kita harus belajar untuk berkurban bagi orang lain. Kita tidak ingin orang lain bersedih hati karena kita. Dukacita bukan ketika orang tidak memerhatikan kita, melainkan ketika kita gagal melakukan sebaliknya.
Upah bagi mereka yang mementingkan orang lain
Mengurbankan diri demi orang lain tidak selalu dinilai sebagai sebuah kebajikan di mata sebagian orang. Mereka menganggap itu sebagai kebodohan atau tindakan heroik yang sia-sia. Banyak orang cenderung hidup bagi keuntungannya sendiri.
Alkitab mengajarkan sebaliknya. Berkurban bagi orang lain merupakan tindakan yang terpuji. Tindakan ini selarasa dengan tindakan Tuhan Yesus. Dia rela mengosongkan diri-Nya, menjadi manusia dan hamba bagi orang-orang berdosa, bahkan sampai merengkuh kematian yang paling hina (2:5-8). Meneladani Dia merupakan hal yang agung.
Paulus tidak menganggap biasa apa yang telah dilakukan oleh Epafroditus. Dia memberikan pujian dan penghargaan. Penilaian positif ini terlihat dari sebutan yang dia gunakan untuk Epafroditus: saudara, teman sekerja, dan teman seperjuangan. Istilah pertama merujuk pada kesamaan di dalam Kristus. Semua orang Kristen adalah anak-anak Allah di dalam Kristus. Istilah kedua menunjukkan partisipasi Epafroditus dalam pelayanan Paulus. Dia telah mengambil bagian dalam pelayanan itu. Dia bukan orang Kristen yang pasif dan minta dilayani saja. Istilah terakhir mengungkapkan komitmen dan dedikasi Epafroditus. DIa bukan melayani secara sembarangan. Dia mau mengambil resiko dan mengurbankan diri dalam pelayanan. Dia layak disejajarkan dengan para tentara yang berjuang demi negaranya.
Penilaian positif juga tampak dari nasihat Paulus kepada jemaat Filipi agar mereka menyambut Epafroditus dengan penuh kasih dan hormat (ayat 29-30). Apa yang dia lakukan tidak boleh dianggap biasa saja. Golongan orang semacam ini tidak banyak, karena itu “hormatilah orang-orang seperti dia” (ayat 29b).
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah mengedepankan kepentingan orang lain? Apakah kita rela membayar harga untuk menjaga kepercayaan dan perasaan orang lain? Kiranya karya penebusan Kristus bagi kita selalu menjadi dorongan dan kekuatan untuk terus-menerus meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Soli Deo Gloria.
Photo by Annie Spratt on Unsplash