Dalam pelayanan banyak orang seringkali terjebak ke dalam relasi yang fungsional. Semua yang dibicarakan hanya tentang apa yang harus dilakukan (aktivitas). Kontak dilakukan hanya semata-mata untuk mengerjakan tugas atau projek.
Pelayanan seharusnya diwarnai oleh relasi personal. Yang mengikat sebuah relasi adalah hati, bukan sekadar fungsi. Namun, hati ini tidak tersembunyi. Hati yang mengasihi pasti berbuah tindakan yang terpuji.
Itulah yang menggambarkan relasi antara Paulus dan jemaat Filipi. Ada keintiman dan kesatuan hati yang melandasi relasi mereka. Masing-masing ada di dalam hati pihak lain.
Melalui teks hari ini kita akan belajar beberapa poin penting tentang kasih Kristiani. Apa saja karakteristik kasih Kristiani?
Kasih yang bersumber dari hati
Pembacaan sekilas sudah cukup untuk memberi kesan bahwa relasi Paulus dengan jemaat Filipi memang sangat mendalam. Relasi yang bersumber dari hati. Ada beberapa petunjuk ke arah sana.
Sesuai dengan teks Yunani, frasa “sebab kamu ada di dalam hatiku” (ayat 7, LAI:TB) secara hurufiah dapat diterjemahkan: “sebab aku memiliki kalian di dalam hatiku”. Terjemahan hurufiah ini memberi penekanan lebih pada keaktifan dari pihak Paulus. Jemaat Filipi ada di dalam hatinya bukan secara otomatis. Bukan pula secara alamiah. Paulus secara sengaja meletakkan mereka ke dalam hatinya. Dia memiliki mereka.
Salah satu wujud kasih sayang adalah kerinduan. Paulus sangat rindu berjumpa dengan jemaat Filipi. Cukup lama dia berpisah dari mereka. Kini dia berada dalam penjaran, jauh dari mereka. Dalam kondisi menunggu keputusan kaisar ini (entah dia dihukum mati atau dibebaskan), dia meyakini bahwa dia akan bebas dan bisa mengunjungi jemaat Filipi lagi (1:24-25).
Untuk menegaskan hal ini Paulus mengundang Allah sebagai saksi (ayat 8 “sebab Allah adalah saksiku”). Dari sudut budaya Ibrani, ungkapan ini bisa dianggap sebagai sumpah. Jika dipandang sebagai sebuah sumpah, jika ungkapan ini tidak benar maka akan membawa hukuman dari Allah. Dari sudut budaya Yunani-Romawi, kalimat ini merupakan sebuah majas dalam retorika kuno. Tujuannya untuk memberikan penegasan bahwa karakter Paulus memang bisa dipercayai. Karakter yang bisa dipercayai memberi kekuatan terhadap apa yang dikatakan.
Di antara dua opsi di atas, yang terakhir lebih masuk akal. Paulus tidak perlu bersumpah demi Allah hanya untuk menegaskan kasihnya kepada jemaat Filipi. Mereka dari dulu memang sudah dekat dan percaya kepadanya (4:15-16). Mereka tidak memerlukan pembuktian melalui sumpah. Lagipula dalam tradisi kekristenan awal, integritas diletakkan di atas sumpah (Mat. 5:33-37; Yak. 5:12). Jika kita memiliki karakter yang benar, sumpah tidak seberapa diperlukan.
Kasih yang tidak meniadakan pemikiran yang benar
Dalam teks Yunani ayat 7 dimulai dengan sebuah kata sambung kathÅs. Fungsi kata ini cukup beragam. Sesuai dengan konteks, kathÅs di sini lebih baik diterjemahkan “sebab” atau “karena”. Maksudnya, kata ini menyiratkan bahwa ayat 7 merupakan alasan bagi ayat 3-6. Paulus ingin memberikan alasan bagi ucapan syukurnya (1:3), kasihnya (1:4-5), dan keyakinannya (1:6) terhadap jemaat Filipi. Alasan ini bukan sekadar personal, tetapi juga rasional.
Paulus pun merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan pembenaran bagi kasihnya kepada jemaat Filipi. Kata “sepatutnya” (dikaios) di ayat 7 secara hurufiah berarti “benar” (mayoritas versi Inggris). Kata ini memiliki beragam arti sesuai dengan konteksnya masing-masing. Dalam konteks ayat 7-8, dikaios merujuk pada sesuatu yang benar dalam arti rasional atau masuk akal.
Arti di atas tersirat dari cara Paulus mengaitkan hal ini dengan pikiran (ayat 7 “aku berpikir demikian”). Dalam tulisan Paulus kata phroneÅ (“berpikir”) sebenarnya tidak hanya mencakup aspek intelektual. Ini bisa mencakup cara berpikir maupun sikap hati. Apa yang dipikirkan juga berdampak pada tindakan. Namun, aspek intelektual (pikiran) selalu menempati posisi dominan.
Dalam surat Filipi kata phroneÅ muncul beberapa kali. Maknanya lebih ke arah cara berpikir. Paulus menasihati jemaat Filipi untuk memiliki pikiran Kristus (2:5) yang diwarnai dengan kerendahhatian (2:6-8). Dia mengajak orang-orang yang secara keliru menganggap diri sempurna untuk memiliki pikiran yang benar, yaitu bahwa mereka belum sempurna (3:15-16). Jadi, kata phroneÅ tidak bisa dipisahkan dari aspek intelektual.
Keterkaitan antara kasih dan pikiran ini perlu didengungkan lebih keras. Banyak orang membatasi kasih hanya pada perasaan. Apa yang dirasakan diletakkan di depan, tidak peduli apakah perasaan seperti itu dapat dibenarkan. Tidak demikian dengan Paulus. Perasaan dan pikiran berjalan beriringan.
Seperti itulah seharusnya kasih. Mengasihi memang baik, tetapi tidak selalu benar. Kasih tidak meniadakan pertimbangan. Tidak ada yang namanya cinta buta. Kasih memang tanpa persyaratan, tetapi bukan berarti tanpa pertimbangan dan alasan.
Kasih yang berpusat pada Injil
Tidak cukup untuk memiliki kasih yang sungguh-sungguh. Banyak orang sungguh-sungguh mengasihi tetapi yang dikasihi keliru. Tidak cukup untuk mengasihi dengan alasan yang benar. Alasan yang benar seringkali tidak menghasilkan kesungguhan yang besar. Kasih Kristiani juga harus berpusat pada Injil. Itulah kasih antara Paulus dan jemaat Filipi. Keduanya dieratkan oleh Injil.
Dari pihak Paulus, dia tidak hanya memiliki semua jemaat dalam hatinya (ayat 7). Kalau berhenti sampai di situ, kasihnya terlihat berpusat pada manusia (anthroposentris). Paulus melangkah lebih jauh. Dia mewujudkan kasihnya dengan kemesraan Kristus (ayat 8 “dengan kasih mesra Kristus Yesus”).
Makna di balik kata “kemesraan” (splanchos) bukan sekadar kemesraan seperti dalam konsep populer. Bukan hanya berisi keramahan dari luar. Kata ini mengandung perasaan yang mendalam. Hampir semua versi Inggris menerjemahkan “perasaan yang mendalam” (afeksi). Begitu mendalamnya sampai hanya Allah yang bisa melihat dan menjadi saksi.
Walaupun demikian, yang paling penting bukan kedalaman dari perasaan itu, melainkan sumbernya. Perasaan itu bersumber dari Kristus. Afeksi Kristus yang sudah dialami oleh Paulus sekarang dibagikan kepada jemaat Filipi. Pengalaman dikasihi memampukan dia untuk mengasihi.
Dari pihak jemaat Filipi, mereka mewujudkan kasih mereka melalui kemitraan dalam pemberitaan Injil (ayat 7b). Secara konsisten mereka selalu mendukung pekabaran Injil yang dilakukan oleh Paulus. “Pemenjaraan, pembelaan, dan peneguhan” menyiratkan segala situasi yang dihadapi Paulus, baik pada waktu dia memberitakan di depan orang lain melalui pembuktian dan penalaran (meneguhkan), menjelaskan di depan pengadilan (pembelaan) maupun berada dalam penjara (pemenjaraan).
Keterlibatan ini jelas tidak semudah yang kita pikirkan. Pelayanan Paulus penuh dengan tantangan dan bahaya. Melibatkan diri dalam pelayanan seperti itu kadangkala berarti siap menerima resiko tertentu. Contoh yang paling jelas adalah pemenjaraan Paulus di awal pelayanannya di Filipi. Banyak orang menentang dan menganiaya mereka (Kis. 16:19-22). Dia diseret ke penjara (Kis. 16:23-34). Mendukung narapidana berarti siap dilabeli yang negatif. Ada kehormatan yang dipertaruhkan. Mereka harus menerima aib.
Mengapa mereka mampu melakukan semua itu? Alasannya jelas: mereka semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia ilahi, yaitu pemberitaan Injil. Apa yang mereka lakukan dalam pelayanan berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Paulus. Bagaimanapun, kedua pihak juga memiliki kesamaan. Mereka sama-sama mendapat bagian dalam kasih karunia ilahi. Dalam teks Yunani mereka disebut sebagai pengambil bagian (partisipator) bersama dengan Paulus. Beda aktivitas (apa yang dikerjakan) tetapi sama dalam hal sumber: pelayanan adalah kasih karunia. Dengan melibatkan diri dalam pelayanan Paulus jemaat sudah mengambil bagian dalam pelayanan tersebut. Kesadaran tentang kasih karunia inilah yang membuat mereka begitu konsisten dan bersemangat dalam pemberitaan Injil. Soli Deo Gloria.