Eksposisi Amos 8:8-14

Posted on 11/09/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/09/Eksposisi-Amos-8-8-14.jpg Eksposisi Amos 8:8-14

Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar istilah “kedaulatan Allah”? Bagaimana suasana hati kita pada saat mendengarnya? Banyak orang Kristen mungkin akan menyambutnya dengan gembira. Jika Allah berdaulat, maka Dia akan menolong kita dengan cara-cara yang hebat. Jika Allah berdaulat, kita akan mengalami mujizat.

Ternyata bukan itu yang diberitakan oleh Amos. Kedaulatan justru dikaitkan dengan penghakiman dari Allah. Jika Allah berdaulat, maka Dia akan menjatuhkan hukuman yang hebat. Itu bisa saja terjadi jika kita terus-menerus tidak mau bertobat. Itulah berita yang akan kita dengarkan hari ini.

Penghakiman Allah mungkin termasuk salah satu tema yang paling dihindari oleh para pengkhotbah dan yang paling tidak disukai oleh jemaat. Penghukuman ilahi bukanlah topik yang populer. Jika ini benar, Amos mungkin akan menjadi pengkhotbah yang paling tidak disukai jika dia melayani pada masa sekarang ini. Khotbah Amos didominasi oleh teguran terhadap dosa dan peringatan keras tentang penghakiman dari Allah.

 

Dasar hukuman: kedaulatan TUHAN atas alam (8:8-9)

Bagian ini merupakan penjelasan detail tentang keseriusan TUHAN (8:7) dalam menyikapi penindasan dan ketidakadilan terhadap orang-orang miskin yang dilakukan oleh kaum pedagang (8:4-6). Pedagang di sini mewakili kelompok masyarakat menengah ke atas di Israel. Mereka bukan hanya tidak memedulikan kaum marjinal, mereka bahkan mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan mereka. Orang-orang miskin dieksploitasi demi kepentingan diri sendiri. Allah tentu saja tidak mau berdiam diri. Dia sudah mengambil posisi: “Bahwasanya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka!” (8:7).

Kepastian penghukuman kali ini didasarkan pada kedaulatan Allah atas alam semesta (8:8-9). Allah berkuasa melakukan apapun seperti yang dikehendaki-Nya. Alam bisa menjadi alat di tangan Allah yang berdaulat. Amos memberikan tiga gambaran sehubungan dengan hal ini.

Gempa bumi (8:8a). Bumi akan gemetar. Di depan TUHAN yang sedang murka, seluruh bumi akan bergetar ketakutan (lihat Mzm. 97:4-5; Yes. 24:4; 64:1-3; Mik. 1:4; Nah. 1:5). Allah akan mendatangkan gempa yang hebat atas tanah Israel. Ancaman hukuman berupa gempa bumi sebelumnya sudah diucapkan (2:13) dan akan diucapkan lagi oleh Amos (9:1, 5).

Kapan gempa bumi yang hebat ini terjadi? Kita tidak dapat mengetahui dengan pasti. Tidak ada bukti arkeologis atau catatan historis tertentu yang menyinggung tentang hal ini. Walaupun demikian bukan berarti peristiwa itu tidak pernah terjadi. Allah bisa saja mendatangkan gempa yang luar biasa. Peristiwa gempa bumi yang terjadi dua tahun setelah pelayanan Amos (1:1) merupakan tanda awal bahwa yang lebih besar bisa saja akan menjadi kenyataan.

Perubahan Sungai Nil (8:8b). Sungai ini sering dianggap sebagai dewa kehidupan bagi bangsa Mesir. Sumber air seperti sungai atau wadi adalah segala-galanya bagi masyarakat kuno. Bagaimanapun, ini bukan keseluruhan dari kisah. Sungai Nil juga sering menjadi sumber masalah. Ketika air terlalu banyak, sungai ini sering menyebabkan banjir besar yang seringkali disertai dengan lumpur yang begitu banyak. Bahaya kematian ada di depan mata. Ketika musim kemarau sangat parah, sungai ini tidak lagi menjadi sumber air. Kekeringan ada di mana-mana. Bahaya kematian juga ada di depan mata. Seperti itulah alam semesta di tangan TUHAN. Dia bisa melakukan apa saja sesuai kehendak-Nya.

Gerhana matahari (8:9). Hari penghakiman TUHAN memang akan membawa kegelapan, bukan terang (5:18-20). Salah satu contohnya adalah hukuman kegelapan yang ditimpakan oleh TUHAN atas tanah Mesir pada jaman Musa (Kel. 10:22-23). Bagi masyarakat kuno, situasi ini adalah hal yang sangat serius. Mereka cenderung takut terhadap kegelapan. Sebagai contoh, bangsa Mesir kuno setiap sore berdoa kepada Dewa Ra (dewa matahari) supaya dia muncul kembali esok hari. Dengan cara berpikir seperti ini gerhana matahari jelas terlihat lebih mencekam.

Salah satu dokumen dari Timur Dekat Kuno mencatat terjadinya gerhana matahari sekitar tahun 763 SM. Bisa jadi ini menjadi penanda awal untuk kepastian hukuman dari TUHAN atau ini justru menjadi penggenapannya. Tidak lama sesudah itu bangsa Israel dikalahkan dan dibuang oleh bangsa Asyur (tahun 740 SM).

 

Hukuman dari TUHAN (8:10-14)

Tanda-tanda alam di atas merupakan petunjuk awal bahwa Allah sedang menjatuhkan hukuman-Nya. Peringatan-peringatan yang sudah berulang kali disampaikan kini akan direalisasikan. Ketika hukuman dari TUHAN dinyatakan, bangsa Israel berada dalam masalah besar.

Seberapa parahkah keadaan mereka?

Pertama, mereka akan meratap dengan hebat (8:10). Awal ayat 10 mengindikasikan sebuah perubahan yang sangat kontras (“Aku akan mengubah”). Apa yang dibanggakan akan dihancurkan. Apa yang membawa kesenangan akan dibalikkan menjadi sumber kesedihan.

Bagian selanjutnya menerangkan betapa hebatnya kesedihan yang ditimbulkan (8:10b). Mereka bukan hanya akan mengenakan kain kabung tetapi juga menggundul kepala mereka (Yes. 3:24; 15:2). Kesedihan mereka sama dengan kesedihan akibat kematian anak tunggal. Anak dalam masyarakat kuno adalah segala-galanya: kelestarian nama keluarga, kehormatan, kelangsungan harta, jaminan hari tua, dan sebagainya. Kehilangan anak tunggal berarti kehilangan segala-galanya. Masa depan seolah tidak ada.

Kedua, mereka akan mengalami kelaparan pimpinan dari TUHAN (8:11-12). Ketika nanti hukuman dari TUHAN mulai dijatuhkan atas bangsa Israel, mereka akan meratapi keadaan mereka. Di tengah kehancuran ini mereka mulai mencari pimpinan TUHAN. Ironisnya, walaupun upaya ini sudah dilakukan, TUHAN tidak ditemukan.

Konsep ini mungkin sekilas agak mengagetkan. Bukankah Allah itu pemurah dan panjang besar? Mengapa pencarian manusia terhadap pimpinan-Nya dibiarkan gagal? Panjang sabar bukan berarti tidak akan menjatuhkan hukuman. Allah yang pemurah dan panjang sabar juga adalah Allah yang kudus dan adil. Kekudusan dan keadilan-Nya membuat Dia tidak bisa membiarkan dosa-dosa terjadi begitu saja. Ada waktunya TUHAN akan berkata: “Aku tidak akan memaafkannya lagi” (8:2b). Tidak memaafkan bukan dalam arti membenci. Tidak memaafkan dalam arti tidak menunda, apalagi membatalkan, hukuman. Masa anugerah tidak selalu ada.

Kelaparan dan kehausan rohani ini datang dari TUHAN (8:11a “Aku akan mengirimkan”). Teks tidak menjelaskan bagaimana cara TUHAN melakukannya. Apakah ada intervensi supranatural dalam hati bangsa Israel? Ataukah kesadaran rohani ini dampak dari kehancuran keadaan bangsa Israel? Sulit dipastikan. Opsi kedua tampaknya lebih masuk akal. Kesengsaraan yang hebat seringkali membawa orang lebih dekat kepada TUHAN. Ketika tidak ada jalan, manusia mulai mencari TUHAN.

Ketiga, mereka akan mengalami keputusasaan (8:13-14). Penderitaan sendiri sudah cukup menjadi alasan bagi banyak orang untuk berputus asa. Tidak menemukan pimpinan Tuhan di tengah penderitaan akan menambah tekanan yang berujung pada keputusasaan.

Keputusasaan ini digambarkan secara luar biasa: orang-orang terbaik di antara bangsa Israel mengalami ketidakberdayaan (8:13 “akan rebah lesu anak-anak dara yang cantik dan anak-anak teruna”). Sayangnya, di tengah keputusasaan mereka justru menyimpang. Mereka bersumpah kepada dewa-dewa mereka di Samaria, Dan, dan Bersyeba (8:14). Pada jaman dahulu bersumpah menyiratkan loyalitas. Bangsa Israel telah mengambil komitmen untuk memberikan hidup mereka kepada para dewa.

Tindakan ini hanya memperburuk keadaan saja. TUHAN berkata: “mereka itu akan rebah dan tidak akan bangkit-bangkit lagi” (8:14b). Mereka bukan hanya akan rebah (8:13), tetapi tidak akan bangkit lagi (8:14b). Para dewa tidak akan mampu menyelamatkan mereka dari murka Allah.

Ayat 13-14 sekaligus menerangkan mengapa TUHAN tidak berkenan ditemui di 8:11-12. Bangsa Israel ternyata hanya mencari TUHAN untuk mendapatkan pertolongan. Mereka tidak sungguh-sungguh menginginkan TUHAN. Buktinya, ketika TUHAN sengaja menyembunyikan diri, bangsa Israel mencari dewa-dewa mereka. Mereka kembali pada kebiasaan lama.

Apakah keputusasaan merupakan akhir dari perjalanan? Ternyata tidak. Kegagalan manusia tidak menggagalkan kesetiaan Allah. Hukuman dari Allah tetap akan dijatuhkan, tetapi kasih karunia dari Allah selalu siap menyempurnakan yang hancur berantakan.

Dalam anugerah-Nya yang tak terpahami Allah melakukan intervensi. Dia bukan hanya membiarkan diri-Nya ditemukan, tetapi Dia sendiri “datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk. 19:10). Rasa pedih yang hebat karena kehilangan anak tunggal telah direngkuh oleh Bapa sendiri ketika Dia merasakan kehilangan Anak Tunggal-Nya di atas kayu salib (Mat. 27:46). Bapa memalingkan muka terhadap Anak yang sedang menanggung dosa seluruh dunia. Teriakan “Eli, Eli, lama sabakhtani” merupakan bukti bahwa Allah bukan hanya memahami karena mengetahui, tetapi karena mengalaminya sendiri. Kita tidak pernah sendiri. Allah sudah menyediakan solusi. Soli Deo Gloria.

Photo by lilartsy on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community