Eksposisi Amos 8:4-7

Posted on 10/07/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/07/Eksposisi-Amos-8-4-7.jpg Eksposisi Amos 8:4-7

Alkitab memberi kesaksian yang eksplisit bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang (1Tim. 6:10). Kata yang perlu digarisbawahi di sini bukan “uang” tetapi “cinta.” Uang hanyalah salah satu alat pembayaran yang netral. Yang bermasalah bukan alat, tetapi hasrat. Bagaimana seseorang memperlakukan harta menunjukkan bagaimana keadaan hatinya. Yang mengedepankan harta pasti telah meletakkan hatinya di sana (Mat. 6:21//Luk. 12:34).

Slogan “cinta itu buta” ternyata bukan hanya berlaku pada cinta asmara. Kecintaan terhadap uang juga telah membutakan mata banyak orang. Mereka tidak lagi mampu membedakan yang benar dan yang salah. Keuntungan diletakkan di atas kebenaran.

Situasi inilah yang sedang terjadi pada sebagian orang Israel pada zaman Amos. Untuk kesekian kalinya TUHAN menegur orang-orang kaya di sana karena mereka melakukan ketidakadilan terhadap orang-orang miskin (2:6-8; 3:9-10; 4:1). Salah satu kelompok orang kaya di sana adalah para pedagang kelas atas (8:4-6). Mereka hanya mengejar keuntungan dan melupakan keadilan maupun belas kasihan.

Kejahatan seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang kaya ini? Mengapa mereka melakukan itu? Bagaimana mereka melakukannya? Untuk apa mereka melakukannya? Bagaimana respons TUHAN terhadap kejahatan ini? Semua pertanyaan ini akan dijawab melalui teks hari ini.

 

Kejahatan bangsa Israel (ayat 4-6)

Bagian ini menerangkan berbagai aspek dalam kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin. Ada empat aspek yang akan kita pelajari: jenis, motivasi, cara, dan tujuan. Mari kita lihat satu per satu.

Pertama, jenis kejahatan (8:4). Apa yang dilakukan oleh para pedagang kaya adalah menginjak orang miskin dan membinasakan orang sengsara (8:4). Dari sisi struktur kalimat dan diksi terlihat bahwa dua bagian ini bersifat paralel. Dari sisi struktur kalimat, kata depan le di depan kata “membinasakan” (shābat) menyiratkan sebuah tujuan dari tindakan sebelumnya (KJV “to make”; NASB “to do away”). Maksudnya, tindakan menginjak (8:4a) bertujuan untuk membinasakan (8:4b). Dari sisi diksi, pemilihan kata “miskin” dan “sengsara” saling berkaitan dan seringkali memiliki arti yang sinonim. Dalam Perjanjian Lama dua kata ini muncul bersamaan sebanyak 21 kali. Kemiskinan dan kesengsaraan memang tidak terpisahkan. Penderitaan orang-orang miskin bukan hanya secara finansial, tetapi juga sosial. Mereka bukan hanya tidak dihargai, tetapi seringkali dimanipualsi dan dieksploitasi.

Tindakan “menginjak-injak” (shā’ap) di sini sebaiknya dipahami secara kiasan. Kata yang sama sudah muncul di 2:7 (“mereka menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu”) dan di sana kata tersebut dikaitkan dengan “membelokkan jalan orang sengsara.” Jika “membelokkan jalan” bersifat figuratif, maka “menginjak kepala” juga seharusnya ditafsirkan dengan cara yang sama.

Penafsiran figuratif ini juga menolong untuk memahami kata “membinasakan” di 8:4b. Tidak ada petunjuk dalam teks bahwa para pedagang ini membunuh orang miskin. Lagipula orang-orang miskin selama ini sudah menjadi sumber penghasilan dan tenaga kerja murahan bagi para pedagang. Tidak ada alasan untuk membinasakan mereka.

Walaupun tindakan para pedagang ini diceritakan secara kiasan, hal itu sama sekali tidak mengurangi kejahatan mereka. Kejahatan mereka tetap nyata. Kejahatan mereka tetap serius. Orang-orang miskin yang dieksploitasi akan menderita kelaparan atau menderita gizi yang buruk. Kematian tetap menjadi ancaman yang nyata bagi mereka.

Betapa jahatnya eksploitasi terhadap orang-orang miskin akan semakin terlihat jelas apabila kita membandingkannya dengan ajaran Alkitab tentang tanggung jawab bangsa Israel terhadap orang-orang miskin. Orang-orang miskin seharusnya menjadi objek bantuan dan belas kasihan (Kel. 22:21-23; Ul. 16:11, 14; 24:17-21). Tidak memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan pada hakikatnya merupakan sebuah perampokan. Mereka tidak menerima apa yang sudah ditetapkan oleh Allah bagi mereka. Jika tidak menolong saja sudah merupakan pelanggaran yang serius, bagaimana dengan mengeksploitasi orang-orang miskin demi keuntungan diri sendiri (Am. 8:4-6)?

Ketidakpedulian yang sama juga terjadi pada orang-orang Kristen. Kita mengabaikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. “Kekurangan” finansial seringkali dijadikan pembenaran, padahal kekurangan itu terjadi karena kita sendiri tidak bijak memilih taraf kehidupan. Kita gagal membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Tindakan ini jelas bertabrakan dengan Injil. Kristus yang kaya justru rela menjadi miskin karena kita, supaya kita yang miskin bisa menjadi kaya di dalam Dia (2Kor. 8:9).

Kedua, motivasi di balik kejahatan (8:5a). Ada banyak faktor yang mendorong kejahatan di atas. Di bagian sebelumnya Amos sudah menyinggung tentang penguasa dan hakim yang korup (5:7, 15; 6:12). Kali ini dia lebih menyoroti akar persoalan, yaitu cinta uang. Para pedagang yang jahat ini lebih mencintai keuntungan daripada TUHAN. Dari luar mereka terlihat religius (8:5a). Berbagai ritual keagamaan tetap dilakukan (5:21-23). Perayaan Bulan Baru tidak dilupakan (lihat Kel. 23:23-25; Bil. 10:10; 28:11-15). Mereka juga menguduskan Hari Sabat dengan beribadah dan tidak bekerja (lihat Kel. 20:8-11; Ul. 5:12-15). Ternyata, semua ini hanyalah penampilan luar semata-mata. Setiap kali melakukan ritual religius ini mereka selalu berharap dalam hati supaya acara-acara ini segera berlalu sehingga bisa segera mencari keuntungan lagi (ayat 5 “bilakah…berlalu supaya…?”). Dengan kata lain, semua perayaan ini dianggap sebagai gangguan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.

Kewajiban agama tetap dilakukan, tetapi bukan dengan kerelaan, apalagi dengan kasih yang besar kepada TUHAN. Semua ini mengungkapkan kondisi hati mereka yang sebenarnya. Objek cinta mereka bukanlah TUHAN, tetapi uang. Kegairahan mereka bukanlah untuk bersekutu dengan TUHAN melainkan menambah keuntungan.

Kesalahan yang sama sering dilakukan oleh orang-orang Kristen sekarang. Kita menduakan Allah dengan Mamon. Kita tidak mau mengurbankan keuntungan demi kebenaran. Dengan berbagai alasan kita mencoba membenarkan ketidakjujuran. Kita lupa bahwa persoalan utama adalah berhala harta dalam hati kita.

Ketiga, cara melakukan kejahatan (8:5b-6). Hati yang jahat pasti terpancar dari tindakan yang jahat pula. Semua persoalan adalah persoalan hati. Demi mendapatkan keuntungan, mereka menghalalkan segala cara. Mereka menggunakan timbangan dan ukuran yang tidak benar. Semua diatur sesuai dengan kebutuhan (apakah mereka sedang menjual atau membeli barang). Mereka juga menambahkan barang-barang yang buruk ke dalam penjualan (ayat 6b “terigu rosokan”). Bagi mereka yang penting adalah mendapatkan untung sebesar-besarnya dari setiap penjualan maupun pembelian.

Ketidakjujuran ini jelas sangat ditentang dalam Alkitab. Alkitab berkali-kali menasihatkan umat Allah untuk menggunakan timbangan dan ukuran yang benar (Im. 19:35-36; Ul. 25:13-15; Ams. 20:10). TUHAN memandang kejahatan ini sebagai kejijikan (Ams. 11;1; 16:11).

Jika direnungkan dengan seksama, kita seringkali juga melakukan kejahatan yang sama. Kita tidak melakukan pekerjaan kita dengan maksimal. Kita merampok hak pelanggan untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik atau hak pembeli untuk mendapatkan barang yang terbaik. Rohaniwan bahkan bisa saja merampok hak jemaat untuk mendapatkan pengajaran dan penggembalaan yang terbaik. Semua dilakukan atas nama keuntungan!

Keempat, tujuan dari kejahatan (8:6a). Tidak mempedulikan orang miskin sudah sangat jahat. Mencurangi mereka jauh lebih jahat. Namun, dua hal ini masih belum menjadi klimaks dari kejahatan.  Para pedagang melakukan semua ini dengan tujuan untuk “membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut” (8:6a).

Maksudnya, mereka ingin menjadikan orang-orang miskin itu sebagai budak. Orang yang tidak memiliki uang untuk membeli makanan justru dibeli sebagai tenaga kerja gratisan. Kebebasan ditukar dengan makanan. Kehormatan diganti dengan uang. Yang paling parah, pembelian ini juga dilakukan dengan harga yang sangat murah. Manusia hanya dihargai dengan sepasang sandal! Jika kita merenungkan kejahatan ini secara lebih mendalam kita dapat menyimpulkan bahwa budak-budak ini sebenarnya didapat tanpa bayaran. Bukankah uang yang digunakan untuk membeli mereka juga hasil penipuan terhadap mereka?

Memperbudak orang lain jelas bertabrakan dengan Injil. Kristus rela menjadi pelayan supaya kita mendapatkan kebebasan. Pengurbanan Kristus menjadikan kita berharga. Bagaimana bisa seseorang yang sudah dibebaskan dan diberi kehormatan oleh Kristus justru memperhamba orang lain dan merendahkan martabat mereka?

 

Respons TUHAN terhadap kejahatan (ayat 7)

Sikap Allah terhadap orang-orang miskin tidak pernah berubah. Dia adalah pembela dan pelindung bagi mereka (Mzm. 14:6; 140:13). Allah akan meninggikan orang-orang miskin (1Sam. 2:8). Allah akan melakukan kebaikan kepada mereka (Yes. 61:1).

Hal yang sama juga diberitakan oleh Amos. TUHAN akan bertindak. Keseriusan ini diungkapkan melalui melalui sumpah (8:7a). Sumpah dipandang sangat sakral oleh masyarakat kuno. Sumpah bukan hanya sebuah formalitas. Sumpah ini juga didasarkan pada sesuatu yang sangat berharga (“demi kebanggaan Yakub”).

Apa yang dimaksud dengan “kebanggaan Yakub”? Sebagian penafsir mengaitkan itu dengan Mazmur 47:5, sehingga menafsirkannya sebagai tanah perjanjian. Sebagian yang lain memilih untuk mengaitkan hal itu dengan dua sumpah sebelumnya di kitab Amos (4:2 “demi kekudusan-Nya” dan 6:8 “demi diri-Nya”). Memilih dua opsi ini tidak mudah. Analisa kosa kata berpihak pada penafsiran pertama, sedangkan analisa konteks pada yang kedua. Terlepas dari kesulitan ini, kita dengan pasti dapat menyimpulkan bahwa Allah sangat serius dengan apa yang Dia ucapkan di sini.

Allah tidak akan pernah melupakan setiap kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang miskin (8:7b). Allah menganggap serius setiap kejahatan tersebut. Dia akan segera bertindak. Penghukuman sudah di depan mata. Soli Deo Gloria.

Photo by Alex Motoc on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community