Eksposisi Amos 7:1-6

Posted on 10/04/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/04/Eksposisi-Amos-7-1-6.jpg Eksposisi Amos 7:1-6

Jika orang-orang Kristen diminta untuk menggambarkan Allah dengan satu kata, kemungkinan besar mereka akan memilih kata “kasih.” Pilihan ini tentu saja bukan tanpa alasan. Alkitab secara eksplisit mengajarkan: Allah adalah kasih (1Yoh. 4:8, 16). Bukti kasih Allah yang terbesar juga sudah dinyatakan di atas kayu salib (1Yoh. 4:9-10). Kasih Allah menjadi begitu biasa di telinga orang-orang percaya.

Walaupun demikian, sadarkah kita bahwa tidak semua orang yang beragama akan memberikan jawaban yang sama ketika mereka diminta untuk menggambarkan Allah mereka? Mungkin ada yang memahami Allah lebih sebagai monster yang perlu dilunakkan hatinya melalui persembahan maupun pelayanan tertentu. Mungkin ada yang memahami Allah hanya sebagai sebuah konsep abstrak yang kurang personal.

Kalaupun ada yang menggambarkan Allahnya dengan kata “kasih,” konsep di dalamnya belum tentu sama seperti kita. Ada yang mengajarkan kasih Allah hanya kepada mereka yang berbuat baik dan rajin beribadah. Ada yang memahami kasih Allah hanya secara umum bagi semua ciptaan.

Teks hari ini menunjukkan kepada kita bahwa Allah di dalam Alkitab bukan sebuah konsep abstrak yang kurang personal. Dia bukan kekuatan alam yang menakutkan dan perlu diredakan kemarahan-Nya. Dia tidak membatasi kasih-Nya hanya bagi mereka yang berbuat baik dan beribadah kepada-Nya. Sebaliknya, kasih Allah dinyatakan pada orang-orang yang berdosa dan tidak berdaya. Itulah Allah kita!

 

Rencana penghukuman dari Allah (ayat 1 dan 4)

Berita penghukuman kepada bangsa Israel sudah dinyatakan berkali-kali sejak awal kitab ini. Bentuk dan objek hukuman juga cukup beragam. Namun, ada sesuatu yang baru di pasal 7, yaitu pewahyuan melalui penglihatan (7:1, 4, 7-8). Cara yang baru ini sangat mungkin dimaksudkan untuk memberikan efek visual yang lebih nyata sehingga keseriusan dan kedaruratan keadaan menjadi lebih kentara. Apa yang direncakan Allah sudah ada di depan mata!

Penglihatan pertama berkaitan dengan pertanian (7:1). Amos melihat TUHAN sedang membentuk kawanan belalang. Tidak ada keterangan spesifik tentang jenis belalang ini (bdk. Yl. 1:4; 2:25). Tidak ada penjelasan tentang jumlahnya juga (bdk. Kel. 10:1-20). Yang dipentingkan Amos memang bukan jenis maupun jumlahnya.

Yang disorot adalah waktu kedatangan kawanan belalang ini. Hama belalang datang “pada waktu rumput akhir mulai tumbuh, yaitu rumput akhir sesudah yang dipotong bagi raja” (7:1). Sesuai aturan pada waktu itu, panen pertama diperuntukkan bagi raja. Ada banyak kuda, penunggangnya dan penghuni istana yang memerlukan makan. Kebutuhan mereka disediakan oleh rakyat (lihat 1Raj. 4:26-28).

Hama terjadi sesudah bagian raja diberikan. Pihak kerajaan tidak kehilangan jatah rutin mereka. Yang mengenaskan, hama datang pada awal panen kedua. Seandainya hama datang antara panen pertama dan kedua tidak ada pihak yang dirugikan. Seandainya hama datang di tahap akhir panen kedua mungkin masih ada sebagian yang berhasil diselamatkan terlebih dahulu. Kedatangan hama di awal panen kedua merupakan pukulan telak bagi rakyat. Tidak ada yang bisa diselamatkan sama sekali. Ini jelas menyengsarkan mereka, karena panen kedua merupakan jatah bagi rakyat. Dengan bekal panen kedua ini mereka bisa melanjutkan hidup dan memiliki modal untuk masa panen berikutnya. Kegagalan panen kedua berarti ancaman kelaparan yang besar bagi mereka.

Penglihatan kedua berkaitan dengan api sebagai alat hukuman (7:4). Sekilas tidak ada sesuatu yang baru di sini. Amos sebelumnya sudah memberitakan hukuman Allah dalam bentuk api yang menghanguskan (1:4, 7, 10, 12, 14; 2:2, 5; 5:6). Jika dibaca dengan teliti, kita akan menemukan sesuatu yang baru di sini, yaitu pada kekuatan dan sumber api tersebut. Amos melihat bahwa api ini “memakan habis samudera raya dan akan memakan habis tanah ladang” (7:4). Terjemahan “samudera raya” (LAI:TB/NLT) secara hurufiah merujuk pada suatu tempat yang sangat dalam (mayoritas versi “the great deep”).

Api seperti apa yang sedang dimaksud di sini? Gambaran tentang api ini sangat mirip dengan ancaman hukuman yang diucapkan oleh TUHAN melalui Musa jika bangsa Israel tidak menaati Hukum Taurat (Ul. 32:22 “Sebab api telah dinyalakan oleh murka-Ku, dan bernyala-nyala sampai ke bagian dunia orang mati yang paling bawah; api itu memakan bumi dengan hasilnya, dan menghanguskan dasar gunung-gunung”). Dari perbandingan ini terlihat bahwa api yang dimaksudkan lebih mengarah pada lahar dan lava yang dihasilkan oleh gunung berapi.

Jika hama belalang belum cukup menakutkan, TUHAN sudah menyiapkan letusan volkanik yang dasyat. Kawanan belalang memberikan ancaman kematian secara tidak langsung. Letusan gunung berapi yang hebat membawa ancaman kematian yang mengerikan. Bukan hanya panen bangsa Israel yang akan gagal, tetapi nyawa mereka dan seluruh harta benda mereka juga berada dalam bahaya.

 

Rencana penghukuman ditangguhkan (ayat 2-3, 5-6)

Awal yang mengerikan ternyata ditutup dengan akhir yang menggembirakan. TUHAN menyesal dan membatalkan firman-Nya (7:3, 6). Apa yang dilihat oleh Amos tidak akan terjadi.

Keterangan ini jelas menimbulkan kebingungan. Apakah Allah bisa menyesal? Jika Dia pada akhirnya menunda (atau membatalkan) hukuman-Nya, seberapa seriuskah Allah dengan peringatan hukuman yang Dia ucapkan? Kunci untuk memahami hal ini adalah dengan melihat ayat 3 dan 6 sebagai sebuah majas anthropomorfisme (lebih tepat disebut anthropopatisme). Allah sedang mengungkapkan perasaan-Nya melalui bahasa-bahasa manusiawi.

Teks kunci yang mendukung penafsiran ini adalah 1 Samuel 15. Allah menyesal telah memilih Saul sebagai raja Israel. Dalam pasal yang sama ini dinyatakan bahwa Allah menyesal (15:11, 35) sekaligus tidak menyesal (15:29). Apakah catatan ini kontradiktif? Tentu saja tidak! Jika ini merupakan kontradiksi, penulis Alkitab pasti dengan mudah  akan mendeteksinya, karena terletak di pasal yang sama. Pasal 15:29 merupakan jawabannya: “Lagi Sang Mulia dari Israel tidak berdusta dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia yang harus menyesal.” Sebagai Allah, TUHAN tidak mungkin menyesal karena Dia mengetahui masa depan, bahkan mengatur segala sesuatunya. “Penyesalan” Allah merupakan ungkapan manusiawi untuk menyatakan perasaan-Nya terhadap apa yang sedang menimpa umat-Nya. Rencana Allah sejak awal bersifat tunggal dan kekal.

Walaupun rencana kekal Allah tidak mungkin berubah, hal ini tidak berarti bahwa keadaan kita tidak mungkin berubah. Ada rencana Allah yang kekal dan tersembunyi bagi kita. Ada rencana temporal-Nya yang dinyatakan kepada kita untuk mendidik kita. Kita tidak boleh terjebak pada fatalisme (apa yang terjadi pasti terjadi sehingga kita pasrah saja tanpa melakukan apapun). Kita juga jangan terjerumus pada humanisme (manusia adalah pusat dan penentu segalanya).

Teks hari ini mengajarkan bahwa keadaan manusia bisa diubah oleh Allah. Paling tidak, hukuman atas seseorang dapat ditangguhkan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui doa. Dalam konteks Amos 7:1-6 adalah doa syafaat.

Kebenaran ini seharusnya bukan hal yang baru dalam Alkitab. Abraham melakukan tawar-menawar dengan TUHAN atas nasib Sodom dan Gomora (Kej. 18). Musa berdoa syafaat untuk bangsa Israel yang tegar tengkuk dan TUHAN menjauhkan amarah-Nya yang luar biasa (Kel. 34:6). Doa memang tidak mengubah rencana kekal Allah, tetapi kadangkala sebagai bagian dari rencana kekal Allah untuk mengubah keadaan temporal kita sekarang. Doa bukan upaya untuk mengatur Allah, melainkan untuk merealisasikan rencana Allah demi pengungkapan kebaikan Allah: Dia yang bebas secara tidak terbatas berkenan untuk bekerja melalui doa manusia yang terbatas.

Walaupun demikian, tidak semua doa berkenan di hadapan TUHAN. Teks hari ini mengajarkan dua prinsip doa yang sangat penting.

Pertama, doa harus dilandaskan pada kemurahan Allah (ayat 2a dan 5a). Amos memohon kepada TUHAN supaya Dia mengampuni bangsa Israel (7:2a) dan menghentikan hukuman-Nya (7:5a). Menariknya, Amos tidak memberikan alasan apapun bagi permintaannya. Dia tidak menyinggung tentang jasa atau kebaikan bangsa Israel secuilpun. Dia menyadari bahwa orang-orang bangsa Israel adalah bangsa yang tegar tengkuk. Tidak ada indikasi bahwa mereka akan bertobat. Amos tahu bahwa dia tidak memiliki “posisi tawar-menawar” dengan TUHAN. Dia hanya bisa memohon saja.

Penjelasan ini mengajarkan kepada kita bahwa pembatalan hukuman dari Allah terjadi semata-mata karena kemurahan-Nya atas bangsa Israel. TUHAN tidak menunggu bangsa Israel bertobat atau berteriak minta tolong baru Dia akan menghentikan murka-Nya. Bangsa Israe tidak melakukan apapun untuk mendapatkan pembatalan hukuman.

Kebenaran ini sekaligus menunjukkan nilai penting doa syafaat. Anugerah Allah yang hebat seringkali dinyatakan melalui doa syafaat. Doa syafaat bukan penentu, tetapi sarana anugerah yang kita perlu.

Kedua, doa harus dilandaskan pada ketidakmampuan manusia (ayat 2b dan 5b). Persandaran pada kasih karunia tidak mungkin dipisahkan dari pengakuan terhadap ketidakmampuan kita. Dua kali Amos berkata: “Bagaimanakah Yakub dapat bertahan? Bukankah ia kecil?” (7:2b, 5b). Amos menyadari betapa lemah dan terpuruknya bangsa Israel. Tanpa anugerah Tuhan mustahil mereka bisa bertahan.

Poin ini kadangkala dilupakan oleh banyak orang. Bukannya mengiba pada Tuhan, sebagian orang Kristen justru memamerkan jasa sebagai alat tawar di hadapan Tuhan. Beberapa orang bahkan secara sembarangan menjadikan nasib pelayanan untuk “mengancam” Tuhan. Semua ini jelas merupakan kekeliruan yang sangat fatal. Orang yang masih merasa diri bisa tidak akan mengalami kasih karunia Allah secara sempurna.  Mereka yang merasa diri berjasa berarti belum menyadari keseriusan dosa-dosanya. Kita semua dahulu adalah kandidat pasti dari murka Allah yang kekal. Hanya kasih Kristuslah yang menyelamatkan kita dari kepastian hukuman tersebut! Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community