Eksposisi Amos 6:12-14

Posted on 09/01/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/01/Eksposisi-Amos-6-12-14.jpg Eksposisi Amos 6:12-14

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk rasional. Kita selalu berusaha untuk melihat dan menerangkan segala sesuatu (fenomena dan/atau fakta) sebagai sebuah kesatuan yang masuk akal (logika). Otak kita tidak dirancang untuk menerima kontradiksi. Walaupun kebenaran melampaui batasan logika, tetapi tidak ada kebenaran yang menabrak logika. Walaupun pengetahuan kita tidak bisa mencerna semua fakta yang ada, kita memahami kebenaran sebagai sesuatu yang selaras dengan fakta.

Bagaimana jika seseorang mempercayai sesuatu yang bertabrakan dengan fakta dan logika? Situasi seperti ini menunjukkan bahwa persoalan utama orang tersebut bukanlah persoalan intelektual. Bukan kurangnya data. Bukan kurangnya argumentasi. Persoalan orang itu adalah persoalan spiritual – emosional. Kenyamanan perasaan dijadikan tuan. Firman Tuhan ditolak sebagai pijakan kebenaran.

Teks kita hari ini menunjukkan bahwa orang percaya juga kadangkala terjebak pada kesalahan yang sama. Apa yang mereka pikiran bertabrakan dengan logika. Apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan fakta.

 

Kesalahan yang tidak masuk akal (ayat 12-13)

Situasi seperti inilah yang sedang dialami oleh bangsa Israel pada zaman Amos. Mereka sedang menikmati keamanan dan kenyamanan (6:1-6). Mereka menganggap semua “berkat jasmani” ini sebagai bukti perkenanan Allah terhadap gaya hidup mereka yang sembarangan. Orang-orang Kristen yang mencari kemakmuran duniawi akan menjadikan kekayaan duniawi sebagai indikator keberhasilan rohani. Kesenangan duniawi telah menumpulkan kepekaan rohani.

Kesalahan pemikiran seperti ini sebenarnya sangat fatal. Dengan menggunakan pertanyaan retoris dan analogi Amos berusaha menerangkan betapa konyolnya kesalahan tersebut (6:12a). Pertanyaan retoris pertama adalah “Berlarikah kuda-kuda di atas bukit batu?” Semua orang pasti bisa menjawab dengan mudah. Kuda jelas tidak berlari di atas bukit batu. Hal ini sesuai dengan fakta dan logika. Kuda akan terjatuh jika berlari di atas bukit batu. Dia pasti akan berjalan pelan jika harus melewati medan seperti itu. Lagipula untuk apa kuda tinggal di sana? Rumput dan air yang diperlukan oleh kuda tidak ada di sana. Hanya binatang-binatang tertentu yang bisa bertahan di bukit batu. Jika para tentara harus berperang di bukit batu, mereka pasti akan meninggalkan kuda-kuda mereka di kaki bukit. Berjalan kaki jauh lebih aman daripada menunggang kuda.

Pertanyaan kedua adalah “Dibajak orangkah laut dengan lembu?” (LAI:TB/RSV). Mayoritas versi Inggris memahami bukit batu sebagai objek pembajakan (NIV/ESV “Does one plow there with oxen?”; NASB “Does one plow them with oxen?”). Perbedaan terjemahan ini berkaitan dengan kata Ibrani “babekārim”: apakah ini satu kata (mayoritas versi) atau harus dipisah (LAI:TB/RSV)? Apapun keputusannya tidak akan terlalu berpengaruh. Inti yang ingin disampaikan tetap sama: sangat tidak masuk akal! Bukit batu (atau laut) tidak bisa dan tidak perlu dibajak. Keduanya tidak mungkin bisa dilembutkan sehingga menghasilkan tanaman yang diharapkan.

Pertanyaan retoris dan majas kiasan di atas jelas mengenai sasaran. Kita mudah menangkap maksudnya. Kita mudah memahami bahwa yang digambarkan di sana memang sangat tidak masuk akal. Ada kebodohan rohani yang kentara di sana.

Nah, apa yang dianggap tidak masuk akal dan konyol oleh Amos di sini?

Pertama, ketidakpedulian terhadap kebenaran (ayat 12b “Sungguh, kamu telah mengubah keadilan menjadi racun dan hasil kebenaran menjadi ipuh!”). Kalimat ini masih menggunakan majas kiasan. Keadilan dan kebenaran digambarkan seperti makanan. Makanan seharusnya dibutuhkan dan diinginkan oleh semua orang. Sayangnya, kali ini makanan justru dihindari, karena mematikan (racun) dan memberi rasa pahit (ipuh). Yang menginginkannya malah kena akibat buruknya.

Apa yang disampaikan di sini masih berhubungan dengan 5:10-13. Para petinggi negeri dan penegak hukum di Israel bisa diatur dengan suap. Kaum marjinal yang mencari keadilan justru mendapatkan tekanan dan penderitaan. Perjuangan menuntut keadilan telah menjadi usaha yang menakutkan.

Situasi ini jelas tidak masuk akal. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk spiritual dan moral. Kita diberi hukum moral dan hati nurani untuk membedakan yang baik dan yang jahat (Rm. 2:12-15). Jauh di dalam hati kita yang terdalam kita mendambakan keadilan. Hal ini terlihat kentara dari fakta bahwa kita sendiri tidak suka ketika diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain. Bagaimana bisa kita membuang rasa keadilan? Bagaimana bisa kita mengabaikan kebenaran? Tapi itulah yang berkali-kali terjadi.

Kedua, kesombongan diri (ayat 13). Pada zaman pemerintahan Raja Yerobeam II bangsa Israel menikmati kemajuan militer yang besar. Banyak daerah yang dulu sempat dikuasai oleh musuh kini direbut kembali. Di antara kota-kota yang berhasil direbut tersebut adalah Lodabar dan Karnaim. Pencapaian ini membuat bangsa Israel menjadi sombong. Mereka bersukacita bukan karena melihat pertolongan Tuhan, tetapi karena membanggakan kekuatan mereka sendiri.

Sikap ini jelas konyol. 2 Raja-raja 14:25-27 menerangkan kemenangan ini sebagai pemberian dari TUHAN. Perluasan militer dari Hamat sampai Laut Araba merupakan hasil campur tangan-Nya. Dialah yang menolong Israel (14:27). Dialah yang mengembalikan banyak kota ke dalam kekuasaan Yerobeam II (14:25). Semua ini dilakukan karena dua hal: kesetiaan Allah pada janji-Nya (14:25b) dan belas kasihan kepada umat-Nya (14:26).

Jika kita menguji hati kita sendiri tidak jarang kita mendapati kesalahan yang sama terjadi pada kita. Ketika kita berhasil mencapai sesuatu, bagian mana dari keberhasilan itu yang membuat kita bersukacita? Bagian mana yang ingin kita banggakan di dalamnya? Tidak jarang kita lebih ingin memamerkan peranan kita daripada menonjolkan pertolongan Tuhan bagi kita. Kita sering bersukacita karena jasa kita atau hasil dari pencapaian itu daripada karena campur tangan Tuhan di dalamnya.

 

Hukuman dari TUHAN (ayat 14)

Ketidakpedulian terhadap keadilan dan kesombongan diri bukanlah kesalahan yang sepele. Perasaan bangsa Israel yang tumpul secara rohani perlu segera disadarkan kembali. Tapi bagaimana cara terbaik untuk menyadarkannya?

TUHAN akan menghukum bangsa Israel. Dia telah menyiapkan sebuah rencana. Dia akan membangkitkan sebuah bangsa yang akan menindas bangsa Israel dari Hamat sampai Laut Araba. Bangsa yang dimaksud adalah Asyur (2Raj. 17:20). Dari ancaman hukuman yang diberitakan di Amos 6:14 kita belajar tiga hal penting tentang hukuman TUHAN.

Pertama, hukuman TUHAN bersifat pasti. Pada waktu ancaman hukuman ini diberikan bangsa Asyur belum memiliki kekuatan yang begitu besar. Namanya pun belum disebutkan dalam nubuat ini (“sebuah bangsa”). Kata kerja yang digunakan juga masih futuris (“Aku akan membangkitkan”). Bangsa Israel tidak menganggap keberadaan Asyur sebagai ancaman sama sekali. Ternyata TUHAN benar-benar menepati janji-Nya. Nubuat ini digenapi 30 tahun sesudahnya.

Ancaman hukuman dari TUHAN bukan sekadar gertak sambal. Walaupun apa yang Dia katakan kadangkala tidak langsung menjadi kenyataan, Dia pasti akan melaksanakannya. Janji TUHAN memang kadang terlihat lambat (di mata kita), tetapi sebenarnya selalu tepat (di mata Dia). Janji TUHAN adalah sesuatu yang pasti, bukan sekadar aspirasi, apalagi halusinasi.

Kedua, hukuman TUHAN bersifat serius. Karena Dia sangat serius mengasihi kita, Dia juga sangat serius menegur dan mendisiplin kita. Keseriusan ini kadangkala diwujudkan dalam bentuk hukuman yang sangat berat. Kekalahan dari Hamat (paling utara) sampai Laut Araba (paling selatan) menyiratkan kekalahan yang total. Tidak ada satu daerah pun yang dikecualikan. Bangsa Asyur akan datang dan menaklukkan semua kota Israel.

Kekalahan total akan menghancurkan semua kesombongan bangsa Israel. Kebanggaan mereka diruntuhkan semuanya. TUHAN ingin menyadarkan mereka bahwa mereka sebenarnya tidak berdaya. Kadangkala untuk menunjukkan bahwa kita bukan siapa-siapa, Allah terpaksa mengambil apa saja yang menjadi kebanggaan kita. Ketika kita tidak memiliki apa-apa kita akan mengenal diri kita yang sebenarnya.

Ketiga, hukuman TUHAN bersifat ironis. Kekalahan total dari Hamat sampai Laut Araba terdengar sangat ironis sekali. 2 Raja-raja 14:25-28 mengajarkan bahwa semua kota yang berhasil direbut kembali oleh bangsa Israel adalah pemberian TUHAN (ayat 25 “Ia mengembalikan daerah Israel, dari jalan masuk ke Hamat sampai ke Laut Araba”). Kini Dia akan mengambil semua pemberian-Nya. Perluasan militer dari Hamat yang semula adalah pemberian dari TUHAN nanti akan diserahkan kepada sebuah bangsa lain.

Inilah yang dilakukan oleh TUHAN ketika kita gagal memaknai pemberian-Nya dengan benar. Pemberian TUHAN selalu baik, tetapi di tangan kita pemberian itu tidak jarang justru menjadi sesuatu yang tidak baik. Kita menjadikan pemberian TUHAN sebagai berhala. Kita terlalu asyik dengan pemberian-Nya sampai melupakan Sang Pemberi yang sebenarnya. Dengan mengambil seluruh pemberian-Nya dari tangan kita TUHAN sebenarnya ingin memberikan diri-Nya seluruhnya kepada kita.

Pemberian terbesar dari Allah adalah diri-Nya sendiri. Hal ini dibuktikan melalui salib Kristus. Allah menjadi manusia. Allah memberikan diri-Nya bagi kita yang berdosa. Soli Deo Gloria.

Photo by Deva Darshan on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community