Sejak awal penciptaan Allah menciptakan manusia sebagai gambar-Nya. Mereka diberi mandat budaya untuk menguasai bumi (Kej. 1:26). Sebagai gambar Allah yang mewakili Dia untuk mengatur bumi, manusia diharapkan mampu mencerminkan sifat-sifat Allah dalam pelaksanaan mandat ini. Sayangnya, dosa membuat manusia gagal menuntaskan mandat dengan baik. Relasi dengan alam dan sesama menjadi rusak (Kej. 3:12, 16, 17-19). Keadaan ini terus berlanjut sampai sekarang.
Hal yang sama juga terlihat dalam kehidupan bangsa Israel pada jaman Amos. Para pemegang kekuasaan, baik secara politis, spiritual maupun sosial, bukan hanya gagal menjalankan peranan dengan semestinya. Mereka bahkan menjadi pembuat masalah di masyarakat. Gagal menjalankan peranan saja sudah cukup buruk, apalagi menjadi sumber persoalan.
Kejahatan apa yang dilakukan oleh para penguasa dan orang kaya di Israel? Bagaimana Allah menyikapi hal itu? Dua hal ini akan dijawab melalui teks hari ini.
Sebelum kita menguraikan Amos 5:7-9 secara lebih detail, ada baiknya kita mengingat apa yang sudah dijelaskan di khotbah sebelumnya. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Amos 5:1-17 berbentuk ratapan (5:1 “sebagai ratapan”, 17 “akan ada ratapan”). Ratapan ini sangat mirip dengan ratapan kematian dalam konteks peperangan. Jadi, walaupun pada saat diucapkan bangsa Israel secara politis masih dalam keadaan baik-baik saja, di mata TUHAN nasib mereka sudah pasti: mereka akan mengalami kekalahan telak dalam peperangan. Jalan keluar bagi situasi ini hanya satu: mencari TUHAN (ayat 4-6) dan kebaikan (ayat 14-15).
Dari sisi struktur, 5:1-17 membentuk sebuah chiasme, yaitu pola A B C D C’ B’ A’ (bagian pertama sama dengan terakhir, ke-2 dari awal sama dengan ke-2 dari akhir, dst). A dan A’ (5:1-3, 16-17) memuat isi ratapan. B dan B’ (5:4-6, 14-15) berisi undangan untuk mencari TUHAN dan kebaikan sebagai jalan keluar. C dan C’ menerangkan kejahatan yang dilakukan oleh bangsa Israel (5:7, 10-13). Inti atau pusat dari 5:1-17 adalah D, yang menjelaskan siapakah TUHAN itu (5:8-9). Bagian D sendiri masih memerlihatkan chiasme minor dengan pusatnya terletak pada: “TUHAN, itulah nama-Nya” (ayat 8b). Dari penjelasan tentang struktur teks ini kita tahu bahwa teks hari ini termasuk dalam bagian C (kejahatan bangsa Israel) dan D (siapakah TUHAN itu).
Kejahatan bangsa Israel (ayat 7)
Ayat ini merupakan rangkuman dari kejahatan bangsa Israel yang akan diuraikan secara lebih detail di ayat 10-13. Kejahatan ini berkaitan dengan dua kata: keadilan (mis’pat) dan kebenaran (seda’qa). Keadilan merujuk pada perilaku legal yang layak, keadilan legal, dan sosial. Kebenaran lebih kepada kesalehan dan kemurahhatian. Dua-duanya diharapkan oleh Allah dari umat-Nya (5:24 “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir”).
Dalam Alkitab arti dua kata di atas sebenarnya seringkali dikaitkan dengan erat, tumpang-tindih, bahkan sinonim (Yer. 22:3, 15; 23:5; Yeh. 33:12, 14, 16, 19; 45:9). Yang satu secara legal, yang lain secara moral – spiritual. Semua ini tidak mungkin dipisahkan. Salah satu ukuran kebenaran adalah keadilan, yaitu bagaimana seseorang memerlakukan orang lain secara benar. Relasi yang beres dengan Allah ditandai dengan relasi yang beres dengan sesama. Keadilan juga membutuhkan kebenaran. Sulit mengharapkan keadilan dari orang yang tidak peduli dengan Allah dan moralitas.
Baik keadilan maupun kebenaran tidak ditemukan di Israel. Bangsa Israel mengubah keadilan menjadi ipuh. Kata “ipuh” merujuk pada tanaman apsintus yang terkenal karena rasanya yang sangat pahit (Rat. 3:15; NIV “bitterness”; NLT “bitter pill”; KJV/RSV/NASB/ESV “wormwood”). Tanaman ini seringkali digunakan bersamaan dengan racun (6:12; Ul. 29:18; Yer. 9:15; 23:15; Rat. 3:19). Maksudnya, dua-duanya sama-sama tidak bermanfaat, bahkan berbahaya bagi kehidupan.
Jika keadilan telah diubah menjadi ipuh, kata “keadilan” bukan hanya menjadi tidak berguna, tetapi sekaligus berbahaya. Apa yang disebut “keadilan” di pengadilan tidak lain hanyalah ketidakadilan. Tidak ada keadilan di ruang pengadilan.
Bangsa Israel juga menghempaskan kebenaran ke tanah. Penggunaan kata “menghempaskan” menyiratkan bahwa kebenaran seharusnya berada di atas untuk dihormati. Ini adalah kebajikan surgawi yang memancarkan sifat Allah.
Ironisnya, bangsa Israel secara sengaja melemparkannya ke tanah untuk diinjak-injak. Tidak ada orang yang menghargainya. Kebenaran dianggap kebodohan. Kebenaran digadaikan demi keuntungan.
Masyarakat yang tidak diwarnai dengan keadilan dan kebenaran tentu saja akan menjadi tempat menakutkan bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Apa saja yang buruk dapat menimpa mereka. Para penguasa berhak memutuskan apa saja.
Puji TUHAN! Allah tidak berdiam diri. Dia akan tampil untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
TUHAN yang tidak tinggal diam (ayat 8-9)
Sesuai dengan yang diyakini oleh hampir semua penafsir, bagian ini merupakan sebuah himne kuno. Ada beberapa dukungan untuk dugaan ke arah sana. Beberapa kali muncul bentuk predikat partisip yang menerangkan TUHAN (LAI:TB “Dia yang…”). Di tengah-tengah himne ini (bagian yang inti) disebutkan: “TUHAN itulah nama-Nya!” (ayat 8b).
Jika teks ini memang sebuah himne, kemungkinan besar Amos hanya sekadar mengingatkan apa yang selama ini sering dinyanyikan oleh bangsa Israel dalam ibadah-ibadah mereka. Penafsiran seperti ini tampaknya tidak berlebihan. Di bagian akhir pasal 5 Amos menyinggung tentang ritual bangsa Israel (5:21-22), termasuk nyanyian-nyanyian mereka (5:23). Jika ini yang terjadi, bangsa Israel hanya memuji TUHAN dengan bibir mereka, tetapi hati dan perilaku mereka sangat jauh dari semua itu. Mereka tidak menghidupi apa yang mereka nyanyikan.
Mengapa Amos memilih bagian himne yang ini? Bukankah pada waktu itu pasti ada banyak himne yang mereka biasa nyanyikan? Kunci untuk memahami hal ini sangat mungkin terletak pada kata “mengubah” (hāpak). Sebagaimana bangsa Israel mengubah (hāpak) keadilan menjadi ipuh (5:7), demikian pula TUHAN bisa mengubah (hāpak) apapun, termasuk nasib bangsa Israel.
Ide utama yang ditekankan dalam himne ini adalah kekuasaan dan kekuatan Allah. Dua ide ini diungkapkan dalam kaitan dengan alam (ayat 8) maupun penghukuman (ayat 9). Dalam kaitan dengan penciptaan alam, TUHAN menciptakan dan menempatkan bintang kartika dan belantik (5:8a). Dia mengatur pagi – siang – malam (5:8b). Dia mengatur perpindahan dan pertukaran posisi air di bumi (5:8c). Dengan mengamati alam, manusia seharusnya menghargai Pencipta-Nya yang mahakuasa dan mahakuat (bdk. Ay. 38:31; Yes. 40:26 “Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara mereka keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya? Satupun tiada yang tak hadir, oleh sebab Ia maha kuasa dan maha kuat”).
Rujukan tentang air laut yang dijatuhkan ke permukaan bumi (5:8c) sangat mungkin mengingatkan bangsa Israel tentang hukuman air bah yang terjadi pada jaman Nuh (Kej. 6-8). Hal ini terlihat dari penempatan rujukan tersebut di bagian akhir ayat 8, seolah-olah sebagai jembatan menuju berita penghukuman yang lebih jelas di ayat 9. Sebagaimana air bah menerjang apa saja dan siapa saja (tidak peduli seberapa kuat suatu benda/bangunan atau seberapa hebat seorang manusia), demikian pula dengan kekuasaan dan kekuatan TUHAN dalam murka-Nya. Kebinasaan akan didatangkan atas orang yang kuat (ayat 9a) maupun bangunan yang kuat (ayat 9b). Tidak ada satupun yang dapat bertahan dari murka Allah.
Berita penghukuman ini seharusnya menjadi peringatan keras untuk setiap kita. Kekuasaan dan kekuatan Allah yang biasanya dinyatakan melalui mujizat yang luar biasa, kekuasaan dan kekuatan yang sama akan dinyatakan dalam penghukuman-Nya. Kuasa yang digunakan untuk melakukan mujizat adalah kuasa yang sama yang digunakan untuk menghukum mereka yang tidak taat. Jika mujizat menghasilkan ketakjuban yang besar, penghukuman akan membawa kengerian yang besar.
Tujuan dari peringatan hukuman ini sebenarnya bukan kehancuran, melainkan pertobatan. Amos ingin agar bangsa Israel benar-benar menyadari siapa Allah yang mereka sembah. TUHAN, itulah nama-Nya! Hukuman membawa pada pengenalan yang lebih dalam tentang TUHAN. Allah perjanjian. Allah yang berkali-kali menunjukkan kuasa-Nya di tengah-tengah mereka. Allah yang sangat menginginkan mereka kembali kepada perjanjian dengan Dia.
Di dalam Kristus Allah menyatakan diri-Nya secara penuh. Di dalam Kristus kita melihat kemuliaan yang diwarnai dengan kasih setia dan kebenaran (Yoh. 1:14). Di dalam kematian-Nya kita mendapati keadilan, kebenaran, kekudusan, kasih, dan kuasa Allah dipenuhi secara sempurna (Rm. 3:21-26). Di dalam Kristus pula kita dimampukan untuk menjalani kehidupan dengan penuh keadilan dan kebenaran. Kita bahkan diundang untuk terlibat memerangi segala penindasan terhadap keadilan dan kebenaran. Soli Deo Gloria.
Photo by Duncan Sanchez on Unsplash