Eksposisi Amos 5:18-24

Posted on 12/09/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/10/eksposisi-amos-5-18-24.jpg Eksposisi Amos 5:18-24

Setiap orang pasti pernah berharap. Ironisnya, setiap orang juga pernah mengalami pengharapan tersebut kandas di tengah jalan. Ada beragam faktor penyebab. Salah satunya adalah memiliki pengharapan yang salah atau berharap pada yang benar dengan cara yang salah.

Bangsa Israel melakukan kesalahan di atas. Mereka menganggap TUHAN sebagai pembela padahal TUHAN sedang menjadi musuh mereka. Mereka mengharapkan kedatangan TUHAN dengan segera dan meyakini bahwa semua akan menjadi baik-baik saja. Ternyata yang akan terjadi pada mereka justru kebalikannya. TUHAN memang datang dengan segera, tetapi untuk menjatuhkan hukuman atas mereka.

Melalui teks hari ini kita akan belajar dua hal yang sangat dibutuhkan oleh umat TUHAN: teologi yang benar dan ibadah yang benar. Apa yang kita percayai harus lurus, begitupula ibadah kita harus tulus. Dua-duanya harus sama-sama ada.

 

Konsep tentang Hari TUHAN yang salah (5:18-20)

Ide tentang kedatangan TUHAN sudah disinggung di akhir ayat 17. Ketika TUHAN berjalan di tengah-tengah umat-Nya, yang akan terjadi adalah ratapan. Dia datang untuk menjatuhkan hukuman atas ketidaktaatan.

Ayat 18-20 melanjutkan ide ini secara lebih spesifik dan detail. Kedatangan TUHAN yang dimaksud di ayat 17 ternyata bukan kedatangan yang biasa. Amos sedang membicarakan tentang kedatangan TUHAN pada momen yang khusus yang disebut Hari TUHAN.

Istilah “Hari TUHAN” berkali-kali muncul dalam Alkitab, terutama dalam kitab para nabi (Yes. 13:6, 9; Yer. 46:10; Yeh. 13:5; 30:3; Yl. 1:15; 2:1, 11, 31; 3:14; Am. 5:18, 20; Ob. 1:15; Zef. 1:7, 14). Dari semua pemunculan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Hari TUHAN bersifat futuris (eskhatologis) dan dalam konteks peperangan. Pada hari itu Allah akan menampakkan diri-Nya dengan segala kekuasaan dan kegemilangan-Nya. Yeremia menjelaskan Hari TUHAN sebagai berikut: “Hari itu ialah hari Tuhan ALLAH semesta alam, hari pembalasan untuk melakukan pembalasan kepada para lawan-Nya” (Yer. 46:10a).

Walaupun sama-sama menggunakan istilah “Hari TUHAN” dan meyakini kedatangan Allah yang segera, Amos dan bangsa Israel ternyata memiliki pemahaman yang berbeda tentang hari itu. Walaupun sama-sama mengharapkan kedatangan hari itu, keduanya memiliki pengharapan dan respons yang berbeda. Bagi Amos, Hari TUHAN berarti hari kekalahan. Bagi bangsa Israel, kedatangan hari itu merupakan hari kemenangan.

Amos menegur konsep teologis yang keliru dan pengharapan yang palsu ini. Tindakan bangsa Israel yang menginginkan Hari TUHAN merupakan sebuah kesalahan besar. Hari itu merupakan momen celaka (5:18a), bukan bahagia. TUHAN memang akan datang dengan segala kemuliaan-Nya yang bersinar, tetapi bagi bangsa Israel hari itu justru merupakan kegelapan. Tiga kali Amos menegaskan hal ini: kegelapan bukan terang (5:18a, 20a), kelam kabut dan tidak bercahaya (5:20b). Ada pertentangan antara pemahaman Amos dan bangsa Israel.

Inti perbedaan terletak pada identifikasi “lawan” yang akan diperangi oleh TUHAN. Bangsa Israel memahami “lawan” sebagai bangsa asing, entah Asyur atau Babel, yang akan mencoba menguasai Israel. Berbagai ancaman hukuman yang sudah diucapkan oleh Amos sejak pasal 1 tidak terlalu dihiraukan. Hukuman berupa kekalahan perang sukar dimengerti oleh bangsa Israel. Bagaimana mungkin TUHAN membiarkan umat-Nya dikalahkan oleh lawan-lawan-Nya? Bangsa Israel merasa diri mereka aman-aman saja.

Dalam situasi seperti ini, Amos menekankan dua aspek dari kedatangan Hari TUHAN: kepastian dan kejutan. Kepastian, karena Allah yang kudus dan adil pasti akan menjatuhkan hukuman atas pelanggaran. Kejutan, karena bangsa Israel tidak akan menyangka bahwa yang akan diperangi dan dihukum oleh TUHAN adalah mereka sendiri.

Dua poin di atas diterangkan melalui metafora serangan binatang-binatang buas (5:19). Baik singa, beruang maupun ular merupakan predator yang ganas dan kuat. Melarikan diri dari singa jelas sukar dilakukan. Kalaupun hal itu berhasil dilakukan, bahaya lain (beruang) sudah siap menghadang. Bahkan ketika seseorang sudah sampai di rumah dan beristirahat sejenak (“bertopang dengan tangannya di dinding”), ular sudah siap memagutnya. Orang itu pasti akan terkejut karena mengira dia sudah aman berada di rumahnya sendiri.

Dari kesalahan bangsa Israel tersebut kita belajar bahwa teologi yang benar sangat dibutuhkan supaya tidak terjadi kekecewaan. Teologi yang keliru memang seringkali memberikan pengharapan yang palsu.

Kita juga belajar bahwa tidak ada yang lebih berbahaya daripada bersandar dengan tenang pada sesuatu yang tidak bisa diandalkan untuk mendapatkan keamanan. Kejatuhan adalah keniscayaan dan akan sangat mengejutkan. Akan jauh lebih baik apabila seseorang menyadari potensi bahaya dan mulai berjaga-jaga.

 

Praktek ibadah yang tidak benar (5:21-24)

Teguran mengenai ibadah yang tidak benar di 5:21-24 memiliki keterkaitan dengan konsep teologis dan pengharapan yang tidak benar di 5:18-20. Pengharapan yang keliru tersebut berhubungan dengan ibadah bangsa Israel. Bangsa ini tidak merasa diri sebagai lawan TUHAN karena mereka merasa masih beribadah kepada-Nya. Mereka tidak meninggalkan TUHAN.

Kesalahan ini sangat mungkin dipengaruhi oleh konsep populer dalam ibadah-ibadah kuno yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain. Para pemuja berhala terbiasa melihat persembahan korban kepada para dewa sebagai bagian terpenting dalam keagamaan mereka. Ibadah komunal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Selama para dewa tersebut tetap dilayani melalui sesajen atau korban, kehidupan mereka akan baik-baik saja. Para dewa tidak akan mendatangkan malapetaka kepada mereka.

Konsep ini jelas bertabrakan dengan ajaran Alkitab. Tidak ada pemisahan antara ibadah komunal dan kehidupan moral. Ibadah yang benar melampaui batasan bangunan dan aturan ritual.

Jika dilihat secara teliti, tidak ada kekeliruan ritual dalam ibadah komunal bangsa Israel di 5:21-24. Semua yang dilakukan mereka memang diperintahkan di dalam Kitab Taurat. Allah memang menghendaki persembahan korban dari umat-Nya (misalnya Im. 1-4). Umat Allah juga dinasihati untuk mengingat dan merayakan karya Allah yang ajaib melalui hari raya-hari raya tertentu (misalnya Kel. 12:14, 17; 13:6). TUHAN juga menyukai puji-pujian umat-Nya (Mzm. 92, 95, 96, 98, 100, dsb). Bangsa Israel pada jaman Amos bahkan tidak segan-segan untuk memberikan persembahan korban yang tambun (5:22 “korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun”).

Yang salah adalah ibadah yang tidak membawa pengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan secara utuh. Ibadah bukan sekadar pertunjukan keindahan liturgi yang terpisah dari motivasi hati. Liturgi seharusnya melayani relasi.

Ibadah yang tidak berdampak bukan sekadar ibadah yang tidak berguna. TUHAN tidak hanya menolak atau mengabaikan, tetapi Dia memandang ibadah itu dengan respons yang sangat negatif. Ibadah semacam ini justru “menyusahkan” Allah. TUHAN membenci, menghinakan, tidak senang, tidak suka, tidak mau pandang, tidak mau dengar. TUHAN memerintahkan bangsa Israel untuk menjauhkan ibadah seperti itu dari hadapan-Nya (5:23a “Jauhkanlah daripada-Ku”). Ibadah yang tidak benar merupakan perlawanan terhadap hati TUHAN.

Menurut Alkitab, ritual yang dipisahkan dari moral merupakan praktek yang tidak rasional. Bagaimana mungkin seseorang memuji sifat-sifat Allah (misalnya keadilan dan kebenaran-Nya) tetapi dalam kehidupan sehari-hari membenci sifat-sifat itu? Bagaimana mungkin seseorang mematuhi perintah Allah untuk melakukan ibadah komunal tetapi melanggar perintah-perintah-Nya yang lain? Bagaimana mungkin seseorang mempersembahkan korban penghapus dosa tetapi tanpa mengakui dosa-dosanya? Bagaimana mungkin seseorang dengan antusias mengingat semua karya Allah tetapi melupakan kehendak-Nya bagi dia?

Yang diharapkan oleh TUHAN adalah keadilan dan kebenaran yang melimpah dan konsisten. Air yang bergulung-gulung (5:24a) merujuk pada ombak di lautan yang kuat dan tidak pernah berhenti, bukan sekadar air yang menggenang atau mengalir pelan. Sungai yang selalu mengalir (5:24b) lebih merujuk pada aliran mata air yang terus ada, bukan sekadar wadi yang sekadar menadah hujan atau menerima air dari tempat lain. Dengan kata lain, TUHAN menginginkan agar kebenaran dan keadilan terlihat begitu dominan dalam kehidupan umat-Nya.

Injil Yesus Kristus merupakan bukti dan dasar untuk berharap bahwa dominasi kebenaran dan keadilan bukanlah sebuah kemustahilan. Pada salib Kristus keadilan dan kebenaran Allah dipuaskan (Rm. 3:21-26). Pada kebangkitan-Nya pengharapan disegarkan. Melalui kekuatan Injil inilah kita dimampukan untuk hidup dalam kebenaran dan keadilan. Soli Deo Gloria.

Foto oleh eberhard grossgasteiger dari Pexels
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community