Apa yang terbersit dalam pikiran kita ketika mendengar seruan “Tuhan melawat kita dengan kuasa-Nya?” Hampir semua orang Kristen akan menyikapi seruan ini dengan sukacita. Kita selalu siap dan bersemangat untuk menyambut Allah yang mendatangi kita dengan kuasa-Nya.
Benarkah demikian? Ternyata kedatangan Tuhan dengan kuasa-Nya tidak selalu merupakan kabar gembira. Allah yang berkuasa juga berkuasa untuk menggunakan kuasa-Nya dengan cara apa saja dan dengan tujuan apa saja. Salah satunya adalah Dia menyatakan hukuman-Nya di tengah-tengah kita.
Itulah yang kita akan pelajari dari teks hari ini. TUHAN menyatakan kuasa dan kedaulatan-Nya. TUHAN mendatangi umat-Nya. Hanya saja, kedatangan-Nya kali ini merupakan kabar yang mengerikan. Dia siap menghukum umat-Nya.
Keadaan bangsa Israel
Seperti yang sudah dijelaskan di awal pembahasan pasal 5, ayat 1-3 membentuk paralel dengan ayat 16-17. Dua bagian ini sama-sama menceritakan tentang hukuman yang TUHAN akan jatuhkan atas bangsa Israel. Ayat 1-3 lebih menggambarkan akhir dari bangsa Israel (ayat 2) melalui kekalahan perang yang telak (ayat 3). Dari semua tentara yang ada, hanya 1/10 yang akan tersisa. Yang lebih disoroti adalah suasana di medan pertempuran.
Ayat 16-17 tetap menyinggung tentang kematian. Kali ini yang disoroti bukan para tentara atau situasi di medan peperangan. Kekalahan perang diikuti pembunuhan massal. Bangsa Asyur tidak hanya menghabisi para tentara Israel. Mereka tidak segan-segan menyiksa dan membunuh penduduk Israel juga.
Apa yang digambarkan di ayat 16-17 terlihat jauh lebih mengerikan daripada yang di ayat 1-3. Dalam dua ayat ini saja kata “meratap” atau “ratapan” muncul empat kali (LAI:TB). Kata “berkabung” juga muncul di ayat 16. Sebagai tambahan, seruan ratapan “wahai” (hô) muncul dua kali. Bukan tanpa alasan jika sebagian penafsir memahami ayat 16-17 sebagai klimaks dari nyanyian ratapan di ayat 1-17.
Seberapa parahkah keadaan bangsa Israel? Parah sekali. Kematian menjadi begitu biasa. Angka kematian sudah tidak terhitung. Keadaan ini diungkapkan melalui beberapa cara.
Cara pertama berhubungan dengan subjek ratapan. Yang menyerukan perkabungan adalah semua orang. Ada banyak anggota keluarga dan kerabat yang meninggal dunia. Di samping itu, sesuai dengan kebiasaan penguburan kuno, penduduk Israel juga memanggil para peratap profesional (LAI:TB “orang-orang yang pandai meratap”). Yang menyedihkan, jumlah para peratap tidak lagi memadai. Mereka sampai harus memanggil para petani untuk melakukan ratapan (ayat 16). Begitu parahnya kematian di Israel!
Kengerian kematian juga digambarkan melalui lokasi ratapan. Korban kekejaman bangsa Asyur bergelimpangan di mana-mana. Para peratap menyerukan perkabungan di pusat kota atau semacam alun-alun (ayat 16, LAI:TB “tanah lapang”; ESV “the squares”; NLT “the public squares”). Ada juga yang meratap di setiap lorong (lit. “di jalanan”). Penduduk di pinggiran kota bahkan meratap di kebun anggur (ayat 17). Lokasi di kebun anggur jelas sangat ironis. Anggur adalah simbol kesenangan. Setiap kali pesta selalu ada minuman anggur. Tidak ada kegembiraan tanpa anggur. Sekarang di kebun anggur sendiri sudah tidak ada lagi kegembiraan.
Bukan hanya itu saja. Di setiap lokasi ratapan yang disebutkan, Amos tidak lupa menambahkan kata “segala.” Entah kata ini merupakan sebuah majas hiperbola yang sangat umum untuk digunakan dalam kisah peperangan atau sungguh-sungguh hurufiah, pesan yang disampaikan tetap sama. Kematian terjadi di mana-mana.
Kekuasaan TUHAN
Di tengah kematian yang begitu mengerikan, lumrah jika orang menanyakan keberadaan Allah. Di mana Allah? Mengapa Dia diam saja? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin tidak muncul secara kuat di pikiran penduduk Israel. Mereka sudah tahu alasan di balik semua yang terjadi. TUHAN sedang menghukum umat-Nya.
Walaupun demikian, beberapa pertanyaan mungkin tetap muncul. Mengapa TUHAN kalah dengan dewa-dewa yang disembah oleh bangsa Asyur? Mengapa TUHAN tidak melawat dengan kuasa-Nya? Apakah Dia benar-benar berkuasa dan berdaulat?
Amos tidak lupa menegaskan kekuasaan TUHAN di tengah situasi yang terlihat sangat runyam ini. Pertama, TUHAN menggenapi perkataan-Nya (ayat 16a). Apa yang terjadi bukanlah kecelakaan atau kemalangan. Semua terjadi sesuai firman TUHAN (LAI:TB “Sesungguhnya, demikianlah firman TUHAN”; mayoritas versi “Karena itu, demikianlah firman TUHAN”). Ide ini muncul sekali lagi di akhir ayat 17 sebagai penekanan (“firman TUHAN”). Jadi, Allah sudah memberitahukan sebelumnya apa yang akan terjadi kemudian.
Sebagai tambahan, sebutan untuk TUHAN di sini juga menegaskan kekuasaan-Nya. Kata “TUHAN” (YHWH) muncul bersamaan dengan kata “Tuhan” (’ādôn). Dia adalah Allah semesta alam. Dia tetap berdaulat. Dia tetap mengontrol segala sesuatu yang terjadi. Dia tahu apa yang Dia sedang dan akan perbuat.
Kedua, TUHAN sedang melawat umat-Nya (ayat 17b). Di manakah TUHAN ketika semua kesengsaraan ini menimpa Israel? Ternyata Dia sedang ada di tengah-tengah mereka! (LAI:TB “apabila Aku berjalan dari tengah-tengahmu”).
Kata kerja “berjalan” (‘ăbar) bisa mengandung beragam arti, dari “meninggalkan” sampai “memotong.” Jika disertai dengan kata depan tertentu, artinya menjadi lebih beragam. Sesuai konteks Amos 5, hampir semua penerjemah Alkitab dengan tepat memilih “melewati” (“pass through”).
Terjemahan di atas memiliki dua dukungan. Bagian selanjutnya (5:18-20) berbicara tentang Hari TUHAN. Sebutan ini berkaitan dengan kedatangan TUHAN. Tidak berlebihan jika ‘ăbar di ayat 17 dipahami dalam kaitan dengan kedatangan TUHAN juga. Selain itu, dalam Imamat 26:6, pada saat TUHAN menjanjikan berkat jika bangsa Israel mau taat, kata ‘ăbar muncul dengan arti “melintas” (LAI:TB “pedang tidak akan melintas di negerimu”). Sangat masuk akal jika ketidaktaatan mereka menyebabkan TUHAN melintas di tengah-tengah mereka seperti pedang yang memakan habis korbannya.
Penjelasan di atas mengajarkan kepada kita bahwa kehadiran TUHAN bisa sangat beragam, bahkan kadang mengejutkan. Dia tetap ada di tengah situasi apapun. Hanya saja, kehadiran-Nya tidak selalu dengan tujuan yang sama. Dia tetap menyatakan kuasa-Nya. Hanya saja, cara-Nya menunjukkan kuasa itu berbeda-beda.
Ketika kita mengalami penderitaan sebagai akibat dari kesalahan kita, Allah ada di tengah-tengah kita. Dia sedang bertindak sebagai Bapa yang sedang mendisiplin anak-anak-Nya. Mari kita belajar meratapi dosa dan kegagalan kita. Kasih karunia bukan alasan untuk menganggap dosa sebagai sesuatu yang biasa, apalagi dijadikan kebiasaan.
Pada akhirnya, apapun situasi kita sekarang, Allah selalu ada di tengah-tengah kita. Dia sudah membuktikan itu lebih dari 2000 tahun yang lalu. Ketika semua manusia masih dikuasai oleh dosa dan ketakutan terhadap kematian, Allah menjadi manusia untuk menyelesaikan keduanya. Dia merengkuh semua penderitaan kita. Dia bahkan merengkuh kematian kita. Dia adalah Allah yang selalu hadir di segala keadaan. Bersyukurlah! Dalam segala keadaan Dia selalu ada, walaupun kehadiran-Nya tidak selalu sesuai dengan harapan dan dugaan kita. Soli Deo Gloria.
Photo by Sasha Freemind on Unsplash