Eksposisi Amos 5:10-13

Posted on 09/05/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/05/eksposisi-amos-5-10-13.jpg Eksposisi Amos 5:10-13

Hidup di tengah masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan jelas tidak gampang. Jangankan untuk memiliki pengharapan, keamanan dan kenyamanan saja sudah menjadi brang langka yang sukar ditemukan. Ketidakadilan merajalela. Kejahatan seolah tidak mengenal batasan.

Bagi orang-orang percaya, situasi seperti ini bukanlah akhir dari segala-galanya. Allah tidak berdiam diri. Dia bersiap untuk campur tangan. Hukuman sudah disiapkan.

Itulah yang diucapkan oleh TUHAN melalui Amos. Untuk kesekian kalinya TUHAN menegaskan ancaman-Nya. Apa saja detail kejahatan bangsa Israel? Bagaimana TUHAN akan menghukum mereka?

Teks kita hari ini menerangkan jenis kejahatan yang dilakukan (ayat 10, 12) dan konsekuensi dari kejahatan tersebut (ayat 11, 13). Hukuman dari TUHAN  ditandai dengan dengan kata sambung “karena itu” (ayat 11, 13).

 

Kejahatan bangsa Israel (ayat 10, 12)

 

Dua ayat ini sama-sama menerangkan kejahatan bangsa Israel, terutama orang orang-orang kaya yang menindas orang-orang miskin. Konteks dari kejahatan mereka juga sama, yaitu pengadilan. Konteks legal ini tersirat dari pemunculan “pintu gerbang,” (ayat 10, 12) yang biasanya memang dijadikan sebagai tempat untuk memutuskan berbagai persoalan di antara bangsa Israel (bdk. Rt. 4:1-11; Ul. 25:7; Ay. 5:4).  Jika ayat 10 dan 12 digabungkan, kita akan melihat kejahatan orang-orang kaya di Israel secara lebih kentara.

Pertama, mereka membenci orang-orang yang benar di pengadilan (ayat 10). Menindas orang-orang miskin dan lemah hanyalah salah satu kejahatan orang-orang kaya yang berkuasa di Israel (ayat 11a). Mereka juga memastikan bahwa tuntutan hukum yang mungkin dilakukan oleh kaum marjinal tersebut juga akan terganjal di pengadilan. Untuk mencapai tujuan ini mereka sengaja melawan orang-orang di pengadilan yang masih berkomitmen terhadap kebenaran.

Mereka yang memberi teguran di pintu gerbang (ayat 10a) merujuk pada tua-tua yang bijaksana (Ams. 24:23-25) yang masih peduli dan berkomitmen terhadap keadilan. Kebencian kepada penegak kebenaran ini bukan hanya sekadar perasaan. Mereka tidak jarang dijebak supaya terperangkap dalam kasus tertentu (Yes. 29:21). Tujuannya sudah jelas, yaitu mendepak orang-orang tersebut dari pengadilan. Jika ini berhasil dilakukan, tidak ada lagi yang mampu menentang kejahatan mereka.

Mereka yang berkata dengan tulus ikhlas (ayat 10b, lit. “berkata benar”) adalah para saksi yang masih berpegang pada kebenaran. Mereka tidak mau melanggar perintah ke-9: “Jangan mengucapkan saksi dusta terhadap sesamamu” (Kel. 20:16). Dalam proses pengadilan kuno yang sangat terbatas dalam mengumpulkan bukti-bukti, keterangan para saksi merupakan rujukan utama bagi para hakim untuk memutuskan suatu perkara. Dengan kata lain, nasib seseorang ditentukan oleh kejujuran para saksi.

Orang-orang semacam ini merupakan musuh orang-orang kaya. Kata “keji” (LAI:TB, tā’ab) berarti “memandang rendah” (KJV/RSV/NASB/ESV “abhor”; NIV/NLT “despise”). Jika digunakan bersamaan dengan kata “membenci” dan dalam konteks pengadilan tā’ab bisa diterjemahkan “muak” (Mik. 3:9). Ada perasaan jijik di dalam sikap tersebut. Seperti itulah perasaan orang-orang kaya di Israel terhadap para saksi yang benar. Apa yang mulia justru dipandang hina.

Kedua, mereka menyuap para penegak hukum (ayat 12). Sesuai struktur kalimat Ibrani yang digunakan, tiga tindakan di bagian ini (menjadikan orang benar terjepit, menerima uang suap dan mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang) sebaiknya dipahami sebagai satu kesatuan. Ketiganya menjelaskan “kalian” di awal ayat 12a (RSV/NASB “you who…who…who…”; LAI:TB “kamu yang…yang…yang…).

Jika struktur di atas diikuti, kita bisa mengidentikkan orang benar di sini sebagai orang miskin. Mereka benar secara legal. Maksudnya, mereka tidak bersalah. Mereka ditindas oleh orang-orang kaya (4:1). Mereka mencoba memerjuangkan hak-hak mereka ke pengadilan. Apa daya, para penguasa hanya berpihak pada yang bayar, bukan pada yang benar. Orang-orang kaya telah menyuap para pengambil keputusan untuk memenangkan perkara mereka.

Penyuapan jelas-jelas bertabrakan dengan Hukum Taurat, apalagi kalau sampai orang-orang miskin dan benar yang dikurbankan (Kel. 23:6-8). Para hakim sepatutnya menjauhi suap (Ul. 16:18-19). Samuel adalah contoh hakim yang tidak mau menerima suap (1Sam. 12:3-4). Sayangnya, pada banyak pemimpin tidak mengikuti jejak Samuel. Bahkan anak-anaknya menerima suap (1Sam. 8:1-3). Pada zaman sebelum pembuangan ke Babel penyuapan tampaknya sudah menjadi praktek yang biasa (5:12; Yes. 1:23; 5:23; 10:2; 29:21; Yeh. 22:12; Mik. 3:11).

 

Hukuman TUHAN atas bangsa Israel (ayat 11, 13)

 

Apa yang menjadi wajar bukan berarti dibiarkan oleh TUHAN. Dia tahu betapa banyak dan besarnya dosa bangsa Israel (ayat 12a “Aku tahu…”). Allah sudah menyiapkan hukuman.

Hukuman yang akan dijatuhkan terlihat sangat ironis. Apa yang diusahakan oleh orang-orang miskin telah dinikmati oleh orang-orang kaya. Nanti akan tiba waktunya bahwa apa yang diusahakan oleh orang-orang kaya akan dinikmati oleh orang lain. Orang-orang kaya tidak akan mendiami rumah mewah yang mereka bangun (ayat 11a). Mereka juga tidak akan menikmati kebun anggur yang mereka tanam (ayat 11b).

Begitulah cara bekerja TUHAN. Penghukuman yang tidak berbelas-kasihan akan menimpa orang yang tidak memiliki belas kasihan (Yak. 2:12-13). Allah siap memutarbalikkan keadaan. Tujuannya cuma satu: menyadarkan orang-orang kaya di Israel betapa jahat dan menyengsarakannya perbuatan mereka terhadap orang-orang miskin.

Apa yang disampaikan di Amos 5:11 sebenarnya hanya pengulangan dari apa yang sudah tercatat di dalam Hukum Taurat (Ul. 28:30). Taurat sebagai salah satu tanda perjanjian sudah diberikan. Pelanggaran terhadap Taurat berarti ketidaksetiaan terhadap perjanjian dengan TUHAN. Karena TUHAN setia, Dia harus menghukum bangsa Israel. Apa yang tertulis dalam Taurat harus ditepati.

Hukuman lain atas bangsa Israel dicatat di ayat 13. Sayangnya, apa yang dimaksud di sana tidak terlalu jelas. Dalam LAI:TB dan mayoritas versi Inggris, ayat 13 tidak memberi petunjuk pada penghukuman. Hampir semua penerjemah menganggap ayat 13 sebagai konsekuensi, bukan hukuman. Orang-orang yang bijaksana tidak mau lagi menyuarakan kebenaran, karena usaha ini dipandang sia-sia saja dan hal-hal buruk bahkan bisa menimpa mereka.

Terjemahan tradisional ini mungkin patut dipertanyakan. Ayat 10-13 merupakan sebuah paralelisme: kejahatan (ayat 10) -> hukuman (ayat 11) -> kejahatan (ayat 12) -> hukuman (ayat 13). Jika ini diterima, ayat 13 seharusnya dipahami sebagai sebuah hukuman, bukan sekadar konsekuensi.

Jika terjemahan mayoritas benar, sukar dipahami mengapa orang-orang bijaksana mengambil sikap seperti itu. Mereka terkesan tidak mau memerjuangkan kebenaran demi kenyamanan diri sendiri. Mereka terlihat menyerah terhadap keadaan. Apakah sikap ini bisa disebut bijaksana?

Di samping itu, dari sisi tata bahasa Ibrani, kata “berakal budi” (hammaśkîl, dari kata śkl) memang bisa diterjemahkan “sukses.” Jika arti ini yang diambil, ayat 13 berbicara tentang orang kaya yang sekarang terlihat sukses. Mereka nanti akan menjadi diam. Kata “diam” di sini merupakan ungkapan halus untuk kekalahan atau kematian (lihat Yer. 47:5; 48:2; 50:30). Tafsiran ini juga selaras dengan ancaman hukuman terhadap orang-orang kaya di seluruh kitab Amos (2:6-8; 3:9-11, 15; 4:1-3; 8:4-6).

Dengan kata lain, hukuman untuk orang-orang kaya yang menindas orang benar dan memutarbalikkan keadilan melalui suap adalah kekalahan atau kematian. Musuh Israel akan datang dan merebut kota-kota Israel. Apa yang sudah dibangun dan diusahakan oleh orang-orang kaya akan dinikmati oleh musuh (ayat 11). Mereka sendiri akan ditawan dan dibunuh dalam peperangan.

Allah tidak pernah main-main dengan hukuman-Nya. Sifat-Nya yang kudus membuat Allah tidak berkompromi dengan dosa. Sifat-Nya yang adil menuntut setiap pelanggaran untuk ditindak. Sifat-Nya yang berkuasa membuat hukuman-Nya terlihat begitu menakutkan. Syukur kepada Allah, Dia juga adalah Allah yang mengasihi. Kasih inilah yang membuat Dia menyediakan anugerah demi anugerah kepada umat-Nya. Puncak dari kasih karunia ini adalah penebusan Kristus di kayu salib. Kematian ini memuaskan semua sifat Allah: kekudusan, keadilan, kekuasaan dan kasih-Nya dipenuhi secara sempurna. Soli Deo Gloria.

Photo by Claudio Schwarz | @purzlbaum on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community