Ketika Allah melakukan suatu tindakan, seluruh sifat-Nya berjalan beriringan. Tidak ada satupun yang dikorbankan. Karena kekudusan dan keadilan-Nya, Allah tidak mau berkompromi dengan dosa. Karena kasih-Nya, Dia menawarkan pengampunan. Karena kuasa-Nya, Dia mampu menyelamatkan dan memulihkan yang terhilang. Dalam kalimat yang lebih pendek, seluruh tindakan Allah menunjukkan bahwa Dia adalah Pribadi yang penuh kasih karunia dan kebenaran.
Gambaran seperti inilah yang terlihat dari teks hari ini. Allah menunjukkan murka-Nya atas bangsa Israel. Dia memberikan ancaman serius yang akan ditimpakan-Nya atas mereka (5:1-3). Pada saat yang bersamaan Dia juga menawarkan jalan keluar dari situasi yang sangat mengerikan tersebut. Dia mengundang bangsa Israel untuk mencari Dia (5:4-6).
Seberapa seriuskah ancaman hukuman yang sudah disiapkan oleh Allah? Solusi apa yang juga sudah ditawarkan oleh Allah?
Sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, kita lebih dahulu perlu mengerti jenis sastra (genre) dari Amos 5:1-17. Banyak penafsir Alkitab menyepakati bahwa bagian ini merupakan sebuah ratapan khas dalam konteks peperangan. Allah sendiri secara eksplisit menyebut ucapan-Nya di bagian ini sebagai sebuah ratapan (5:1). Perbandingan ratapan di Amos 5:1-17 dengan ratapan Daud untuk Saul – Yonatan di 2 Samuel 1:17-27 menunjukkan kemiripan elemen yang cukup signifikan: (1) diskripsi tentang situasi yang tragis (5:2-3; 2Sam. 1:19, 23, 25, 27); (2) panggilan untuk melakukan sesuatu (5:4-6, 14-15; 2Sam. 1:20); (3) sapaan langsung untuk yang mati (5:7-13; 2Sam. 1:26); (4) panggilan untuk berkabung (5:16-17; 2Sam. 1:26). Dilihat dari jenis satra ini, teks hari ini hanya mencakup dua bagian pertama dari ratapan ini, yaitu diskripsi tentang tragedi (5:2-3) dan panggilan untuk melakukan sesuatu (5:4-6).
Diskripsi tragedi (ayat 2-3)
Ayat 2-3 memaparkan secara detil tragedi apa yang akan menimpa bangsa Israel sebagai bentuk hukuman dari Allah. Ada banyak aspek penting yang tercakup dalam penjelasan ini.
Keseriusan dan kepastian hukuman dinyatakan melalui kata kerja lampau “telah rebah” (ayat 2a). Menariknya, bentuk lampau ini dibedakan dari kata kerja futuris “akan tersisa” di ayat 3. Perbedaan rujukan waktu ini jelas tetap merujuk pada peristiwa yang sama. Bentuk lampau di ayat 2 merupakan perspektif profetis yang sudah menjadi gaya sastra umum pada waktu itu. Allah seringkali menggunakan bentuk lampau untuk menegaskan kepastian dari apa yang diucapkan. Dari perspektif Allah, apa yang akan terjadi sebenarnya sudah terjadi.
Kejatuhan Israel di ayat 2 sangat ironis. Bangsa ini digambarkan seperti anak dara. Ungkapan ini menyiratkan masa kejayaan. Masa emas Israel akan segera berakhir dan digantikan dengan kejatuhan. Untuk menambah ironi, kejatuhan ini akan terjadi “di atas tanahnya” (ayat 2). Ini bukan merujuk pada kejatuhan akibat ekspansi militer ke luar, melainkan invasi ke dalam oleh bangsa Israel.
Peristiwa di atas akan berlangsung secara permanen. Bangsa Israel “tidak akan bangkit-bangkit lagi” (ayat 2). Frasa “tidak ada yang membangkitkannya” (ayat 2) sangat mungkin ditujukan pada sekutu-sekutu Israel selama ini. Bangsa-bangsa itu mungkin bukan hanya tidak mau atau mampu menolong. Mereka mungkin bersukacita dengan kejatuhan itu. Mana yang benar kita sukar untuk mengetahuinya dari teks ini saja. Intinya, Israel akan jatuh, dan itu merupakan akhir dari nasib mereka.
Ayat 3 menerangkan bagaimana kejatuhan di ayat 2 bisa terjadi. Kejatuhan terjadi karena kekalahan perang. Menariknya, kata sambung “sebab” di awal ayat 3 tidak langsung menyinggung tentang perang. Bagian ini dimulai dengan kalimat: “sebab beginilah firman Tuhan ALLAH kepada bangsa Israel” (ayat 3a). Penyebab ultimat dari kejatuhan Israel adalah faktor spiritual. Semua terjadi sesuai yang difirmankan oleh Allah. Bangsa lain yang akan mengalahkan Israel (yaitu Asyur) hanyalah alat di tangan Allah.
Terjemahan LAI:TB “maju berperang” (ayat 3) bisa menimbulkan kesan yang keliru seolah-olah bangsa Israel sedang melakukan ekspansi militer ke negara lain. Kesan ini bertabrakan dengan ayat sebelumnya (“rebah di atas tanahnya”). Dalam teks Ibrani bagian itu berarti “pergi keluar.” Gambaran ini cocok untuk para prajurit yang sedang keluar dari kota dalam upaya untuk menyelamatkan kota tersebut dari serangan musuh.
Usaha ini berakhir dengan kesia-siaan. Tidak peduli berapapun prajurit yang dikirim untuk memertahankan kota-kota Israel, semua pulang dengan kekalahan telak: seribu menjadi seratus, seratus menjadi sepuluh. Dengan kata lain, seluruh lapisan tentara sudah dikerahkan, tetapi hasilnya tetap mengecewakan.
Panggilan untuk melakukan sesuatu (ayat 4-6)
Apa yang akan dilakukan oleh Allah sudah jelas dan tegas. Kehancuran tinggal menunggu waktu saja. Walaupun demikian, Allah masih memberikan kesempatan kepada bangsa Israel untuk keluar dari tragedi ini. Dia sendiri memberikan solusi.
Hukuman akan dijauhkan apabila Israel mencari TUHAN. Undangan untuk mencari Allah di sini seharusnya tidak sukar untuk dilakukan. Penderitaan seringkali dimaksudkan sebagai pengeras suara dari Allah untuk dunia yang tuli (C. S. Lewis). Melalui kesakitan dan keputusasaan Allah sedang mengundang banyak orang untuk kembali kepada diri-Nya.
Bagaimana kita seharusnya mencari Allah? Untuk melakukannya dengan tepat, kita perlu lebih dahulu memahaminya dengan tepat pula.
Pertama, mencari Allah bersifat personal. Tawaran yang diberikan kepada Israel berbunyi demikian: “Carilah Aku, maka kamu akan hidup” (ayat 4b). Pemunculan kata “Aku” di sini mungkin cukup mengagetkan. Di ayat selanjutnya Allah melarang Israel untuk mencari Betel, pusat di kerajaan utara. Allah tidak berkata: “Carilah Yerusalem” (pusat ibadah di kerajaan selatan). Poin ini ditegaskan lagi: “Carilah TUHAN” (ayat 6).
Semua ini mengajarkan kepada kita bahwa inti dari ibadah yang benar adalah relasi, bukan lokasi. TUHAN yang menciptakan segala tempat dan lebih besar daripada semua tempat bisa ditemui di segala tempat. Yang penting adalah hati yang dikalibrasikan kepada hati Allah. Poin ini merupakan kritikan tajam bagi sebagian orang Kristen yang seringkali mencari tempat ibadah yang nyaman. Mereka perlu mengingat bahwa kenyamanan dalam ibadah tidak selalu berarti perjumpaan dengan Allah.
Kedua, mencari Allah bukan opsional. Ada resiko jika tidak dilakukan: “supaya jangan Ia memasuki keturunan Yusuf bagaikan api, yang memakannya habis dengan tidak ada yang memadamkan bagi Betel” (ayat 6b). Resiko ini terlihat sangat serius. TUHAN bukan mengirimkan api, tetapi Dia sendiri akan datang sebagai api yang menghanguskan. Jika ini yang terjadi, kehancuran yang ditimbulkan tidak akan bisa ditanggulangi oleh siapapun. Frasa “tidak ada yang memadamkan bagi Betel” (bagian akhir ayat 6) kemungkinan merupakan sindiran terhadap para dewa yang disembah bangsa Israel di sana (NLT “Your gods in Bethel won’t be able to quench the flames”).
Hukuman serius yang akan menimpa Israel jika mereka menolak untuk mencari TUHAN sebaiknya tidak dipandang secara negatif seolah-olah Allah bertindak sewenang-wenang dan sedang menakut-nakuti Israel dengan kuasa-Nya. Poin yang ingin disampaikan bukan itu. Sebaliknya, keseriusan ancaman menunjukkan keseriusan kasih Tuhan. Dia yang tidak butuh apa-apa sangat menginginkan kita. Dia tidak segan-segan melakukan apapun untuk mendapatkan kita kembali menjadi milik-Nya.
Sayangnya, tawaran serius ini tidak selalu disambut dengan baik. Contohnya adalah bangsa Israel pada zaman Amos. Mereka tidak mengindahkan undangan Allah yang beranugerah.
Penolakan ini disebabkan bangsa Israel sudah terjebak pada rutinitas ritual. Mereka merasa sudah cukup dengan semua praktek seremonial di pusat-pusat ibadah mereka. Semua ritual ini dianggap sudah memadai untuk menyenangkan hati TUHAN, padahal Allah sudah muak dengan semua itu (bdk. 5:21-23). Allah jauh lebih menginginkan pertobatan daripada kurban persembahan.
Penolakan ini juga mungkin dipicu oleh kebanggaan historis. Tiga kota yang disebutkan di ayat 5-6 merupakan kota-kota yang sarat dengan peristiwa historis yang luar biasa. Betel merupakan tempat pertemuan Yakub dengan TUHAN (Kej. 28:19). Di kemudian hari kota ini dijadikan pengganti bait Allah di Yerusalem pada waktu pecahnya kerajaan (1Raj. 12:26-33). Nama Gilgal juga tidak kalah mentereng, karena kota ini merupakan kota Kanaan pertama yang diduduki dan dijadikan pusat ibadah awal (Yos. 5:2-12). Di sanalah orang-orang Israel disunatkan. Kota terakhir, yaitu Bersyeba, cukup unik. Kota ini sebenarnya terletak di daerah selatan, dekat perbatasan dengan utara, tetapi bangsa Israel memang sering berziarah ke sana. Ini adalah kota kenangan karena pernah didiami oleh Abraham (Kej. 22:19), Isak (Kej. 26:23) dan Yakub (Kej. 46:1-5).
Dua halangan untuk mencari TUHAN di atas – yaitu kepuasan dari ritual dan kebanggaan historis – seringkali memang menjadi bahaya besar bagi kerohanian. Orang-orang terlihat memiliki kedekatan dan pengalaman bersama TUHAN, padahal dalam kenyataan tidak demikian. Hidup mereka sama sekali tidak mencerminkan iman mereka. Mereka masih mengandalkan yang lain. Tuhan adalah nomor sekian.
Kitapun bisa terjebak pada kesalahan yang sama. Kita merasa diri berkuasa dan menganggap hidup baik-baik saja. Ini yang seringkali menjadi penghalang kita datang kepada Tuhan dan dipulihkan. Keberhargaan Tuhan tidak akan ditemukan sepenuhnya jika kita tidak sepenuhnya menyampahkan diri kita. Hidup kita yang hancur memang dapat dibereskan oleh Tuhan, tapi kita harus menyerahkan semua serpihannya, bukan hanya sebagian. Soli Deo Gloria.