Gereja ada untuk menggarami dan menerangi dunia. Itulah alasan mengapa Allah menempatkan kita di dalam dunia. Kita bukan hanya berani tampil beda, tetapi kita juga membawa perubahan pada dunia.
Sayangnya, tujuan yang mulia ini seringkali hanya sebatas wacana. Setiap hari umat Allah menjadi semakin serupa dengan dunia. Mereka tidak berdaya di tengah godaan dan terpaan dunia. Jangankan untuk mengubah dunia, tampil beda saja mereka tidak berdaya.
Salah satunya adalah hidup dalam kemewahan. Banyak orang Kristen secara keliru telah menyamakan antara kekayaan dan kemewahan. Alkitab memang tidak selalu menentang kekayaan, namun Alkitab secara konsisten menentang kemewahan. Kekayaan adalah kepercayaan dari Tuhan. Kemewahan adalah pilihan orang yang bisa menjadi batu sandungan.
Teks kita hari ini akan menyoroti gaya hidup mewah yang ditampilkan oleh bangsa Israel. Mereka hidup dalam kenyamanan. Lebih parahnya, kenyamanan ini diperoleh melalui pemerasan.
Seberapa parahkah gaya hidup umat Israel? Apakah yang akan dilakukan oleh TUHAN kepada mereka?
Kejahatan Israel yang sangat memprihatinkan (ayat 9-10)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pasal 3 ke atas merupakan penjabaran dari pelanggaran bangsa Israel di 2:6-16. TUHAN sedang memperjelas dakwaan dan peringatan hukuman kepada umat-Nya. Pelanggaran yang mereka lakukan tidaklah sepele seperti yang mereka pikirkan.
Kejahatan mereka melebihi bangsa-bangsa sekitarnya (ayat 9a). Dengan menggunakan gaya bahasa dakwaan legal, TUHAN di ayat ini memanggil dua bangsa asing sebagai saksi. Hal ini sesuai dengan peraturan dalam Taurat tentang keabsahan saksi (Ul. 17:6; 19:15). Ini menyiratkan sebuah perkara serius. TUHAN sedang mendakwa bangsa Israel.
Yang menarik, dua bangsa ini terkenal karena sikap mereka yang suka menekan dan menindas pihak lain. Bangsa pertama yang disebut adalah Asyur (LAI:TB/RSV). Mayoritas versi Inggris mengambil Ashdod. Terjemahan “Asyur” didasarkan pada terjemahan Yunani kuno (Septuaginta/LXX), sedangkan “Ashdod” pada salinan Ibrani. Berdasarkan prinsip “bacaan yang sulit,” pilihan terakhir ini lebih masuk akal. Mesir dan Asyur memang sering muncul bersamaan, sehingga para penerjemah LXX mungkin tergoda untuk “memperbaiki” Ashdod dan Mesir dengan gandengan yang lebih umum (Asyur dan Mesir). Terjemahan manapun yang dipilih, artinya tidak jauh berbeda. Pada periode itu Ashdod memang sudah dikuasai oleh Asyur dan dijadikan salah satu kota penting mereka. Bangsa lain yang disebut adalah Mesir. Pada periode sebelum pembuangan ke Babel, dunia kuno memang dikuasai oleh Asyur dan Mesir. Mereka terkenal sebagai bangsa yang kejam dan tidak berbelas-kasihan (terutama Asyur).
Pemanggilan Ashdod (Asyur) dan Mesir sebagai saksi menyiratkan betapa parahnya kejahatan bangsa Israel. Jika dua bangsa yang terkenal karena kekejaman dan penindasan saja mengakui kejahatan Israel dan menilai hal itu pantas diganjar dengan hukuman, apalagi Allah Yang Maha Kudus. Mereka akan menerima ganjaran setimpal.
Kejahatan seperti apa yang dilakukan oleh bangsa Israel? Amos menggambarkannya melalui dua kata: kekacauan dan penindasan (ayat 9b). Kata “kekacauan” (mehûmâh) mengandung makna kepanikan. Pemunculan kata ini berkali-kali dikaitkan dengan kepanikan yang muncul dalam peperangan (misalnya Ul 7:23; 28:20; 1Sam. 5:9; Yes. 22:5). Kata “penindasan” (‘ăshûqîm) menyiratkan penyalahgunaan kekuasaan atas pihak yang lebih rendah atau lemah (misalnya Pkt. 4:1; Yer. 22:3). Dalam konteks Amos 2:9 kepanikan dan penindasan ini berkaitan dengan sikap opresif orang-orang kaya dan para penguasa terhadap rakyat yang miskin (bdk. 2:12-16; 4:1).
Penambahan kata “besar” (rab) setelah kata “kekacauan” (mehûmâh) menunjukkan intensitas dari kepanikan yang ditimbulkan. Rakyat berada dalam kecemasan, ketakutan dan kepanikan yang luar biasa, tetapi tanpa bisa melakukan apa-apa. Ini bukanlah situasi yang biasa. Ada kepanikan yang besar di antara penduduk yang lemah. Para pemegang kekuasaan (baik politis maupun finansial) yang seharusnya berperan dalam menghadirkan keamanan dan kenyamanan bagi rakyat justru menjadi penindas mereka.
Yang lebih parah, kejahatan mereka muncul dari moralitas yang bobrok (ayat 10). Segala kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa dan orang-orang kaya di Samaria sudah menjadi pola tingkah laku atau kebiasaan yang normal. Situasi ini berlangsung cukup lama sehingga mereka tidak mampu lagi membedakan yang benar dari yang salah. Apa yang wajar dianggap sebagai apa yang benar. Kesalahan yang sudah menjadi kebiasaan dipandang sebagai hal yang normal dan tak terelakkan.
Kekacauan yang besar dan penindasan di ayat 9b diterangkan secara lebih konkrit di ayat 10b. Kali ini Amos menggunakan kata “kekerasan” (hÄmÄs) dan “aniaya” (shÅd). Dua kata ini seringkali muncul secara bersamaan untuk menggambarkan kebobrokan yang parah dalam suatu masyarakat (Yer. 6:7; 20:8; Yes. 60:18; Yeh. 45:9; Hab. 1:3; 2:17). Kata pertama berhubungan dengan kekerasan, yang bisa berupa serangan atau penumpahan darah (Ay. 16:17; Yer. 51:35; Hab. 2:8; Yeh. 7:23), sedangkan kata kedua seringkali dikaitkan dengan perampasan terhadap properti orang lain (Hos. 10:14; Mik. 2:4; Ob. 1:5).
Dari keterangan di ayat 10b di atas kita dapat melihat betapa mengerikannya kejahatan para penguasa dan orang kaya di Israel. Mereka tidak segan-segan melakukan perampasan harta, bahkan pembunuhan kepada pihak yang tidak berdaya. Mereka benar-benar sudah terbiasa dalam kejahatan.
Kebiasaan ini sekaligus menyiratkan bahwa Hukum Taurat tidak lagi diketahui dan dihargai. Yang penting bagi mereka adalah kenyamanan dan kemewahan, bukan perintah Tuhan. Keagamaan mereka sama seperti bangsa-bangsa kuno lain: ibadah ritual diceraikan dari penyerahan seluruh kehidupan kepada Tuhan. Bagi mereka, yang penting adalah tetap memberikan kurban dan persembahan kepada Tuhan, sedangkan kehidupan sehari-hari adalah perkara yang berbeda. Begitulah konsep relijius yang beredar di sekitar mereka. Selama dewa-dewa tetap diberi kurban dan makanan, dewa-dewa itu tidak akan peduli dengan apa yang para pemujanya lakukan.
Respons TUHAN terhadap kejahatan Israel (ayat 11-12)
TUHAN berbeda dengan dewa-dewa asing di sekitar Israel. Ibadah ritual tidak terpisahkan dari kehidupan selama 24 jam. TUHAN peduli dengan apa yang dipersembahkan di atas altar sekaligus apa yang dilakukan setiap hari dalam kehidupan. Tanggung-jawab dalam perjanjian dengan TUHAN tidak hanya memberikan persembahan atau kurban. Yang lebih penting adalah ketaatan. Ketaatan pada kehendak TUHAN yang dinyatakan melalui perintah dan larangan. Pendeknya, kehidupan yang selaras dengan Hukum Taurat. Ketika umat Allah melanggar, Allah akan mengambil tindakan.
Pertama, TUHAN akan menghancurkan kebanggaan mereka (ayat 11). Ancaman hukuman di ayat 10 harus dipahami dalam konteks relasi perjanjian di Ulangan 28. Dalam anugerah-Nya, TUHAN sudah menjanjikan berkat bagi yang mau taat. Dia tidak harus melakukannya, tetapi Dia tetap melakukannya. Bukan karena Dia berhutang, tetapi karena Dia sayang dan berbelas-kasihan.
Ada tiga hal yang akan menimpa bangsa Israel (terutama para penguasa dan orang-orang kaya): musuh akan menguasai negeri mereka (Ul. 28:47-57), kota perlindungan mereka akan dirobohkan (Ul. 28:43), dan harta benda mereka akan dirampas (Ul. 28:31). Tujuan dari semua ini bukanlah sesuatu yang buruk. TUHAN sedang merampas semua yang dibanggakan umat-Nya supaya mereka bisa kembali mendapatkan Dia sebagai harta satu-satunya. Dalam Imamat 26:18-19 TUHAN menjelaskan maksud baik di balik hukuman yang Dia jatuhkan: “Dan jikalau kamu dalam keadaan yang demikianpun tidak mendengarkan Daku, maka Aku akan lebih keras menghajar kamu sampai tujuh kali lipat karena dosamu, dan Aku akan mematahkan kekuasaanmu yang kaubanggakan dan akan membuat langit di atasmu sebagai besi dan tanahmu sebagai tembaga.” Kehilangan kita seringkali menjadi penemuan kita. Kita kehilangan apa yang kurang berharga supaya kita mendapatkan TUHAN yang sungguh-sungguh berharga.
Kedua, TUHAN akan menyelamatkan sisa-sisa yang ada (ayat 12). Ucapan di bagian ini harus dipahami dalam perspektif kultur kuno pada waktu itu, secara khusus dalam kaitan dengan tugas para gembala upahan. Kadangkala ada saja domba yang dimangsa oleh binatang buas. Tanggung-jawab gembala upahan adalah melawan binatang itu. Jika hal ini tidak dapat dilakukan, mereka harus mencegah binatang itu untuk memakan habis semua bagian tubuh domba. Dia perlu mengambil sisa-sisa bagian tubuh domba sebagai bukti kepada tuan mereka bahwa domba itu bukan dicuri tetapi sungguh-sungguh dimangsa oleh binatang buas. Seperti itulah keadaan bangsa Israel. TUHAN akan menghukum mereka dengan luar biasa, tetapi mereka tidak akan binasa. Mereka akan dihajar habis-habisan tetapi tetap akan dipertahankan.
Ayat 12b memberikan gambaran konkrit tentang apa yang akan menimpa mereka. Semua kemewahan yang mereka banggakan akan hancur berantakan. Yang tersisa hanyalah “sebagian dari katil” (lit. “ujung tempat tidur”) dan “sepenggal dari kaki balai-balai” (lit. “kaki atau kain sofa di teras rumah”). Para penguasa dan orang-orang tidur dengan segala kenyamanan mereka, sementara orang-orang miskin hanya berbaring di atas tanah. Ketika hukuman TUHAN datang, tidak akan perbedaan di antara mereka. Semua sama-sama duduk berkabung di atas tanah. Semua ini akan menimpa bangsa Israel jika mereka tidak segera bertobat dari dosa-dosa mereka.
Respons Allah di atas selalu konsisten. Di balik hukuman selalu ada janji keselamatan. Hukuman TUHAN bagi umat-Nya bukan untuk menghancurkan, tetapi membangun kembali dari dasar. Sakit memang, tetapi sepadan. Begitulah yang Allah selalu lakukan. Bahkan Dia tidak segan-segan merengkuh kesakitan itu pada pundak-Nya supaya kita yang hancur dapat dibangun. Allah menjadi manusia untuk menanggung semua penderitaan dan pelanggaran kita supaya kita mendapatkan keselamatan. Soli Deo Gloria.