Perendahan terhadap harkat dan martabat manusia terjadi di mana-mana dan terjadi dalam beragam cara. Dari penindasan terhadap pihak yang lebih lemah (bullying), pelecehan dan pemaksaan terhadap orang lain (abuse), sampai penjualan manusia (human trafficking). Semua dilakukan hanya untuk kesenangan dan kepentingan diri sendiri.
Yang membuat situasi menjadi lebih miris, beragam bentuk perendahan ini tidak jarang justru dilakukan terhadap orang-orang yang dekat. Kakak menindas adik. Orang tua melecehkan anak. Kenalan menjual sesamanya. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada disakiti oleh orang yang dekat dan seharusnya melindungi kita.
Apakah Allah menganggap dosa seperti ini sepele? Sama sekali tidak! Dia bertindak. Dia sangat serius dengan tindakannya. Itulah yang Dia lakukan terhadap bangsa Fenisia di daerah Kanaan.
Dosa yang melampaui batas (ayat 9)
Untuk kesekian kalinya kita mendapati frasa “karena tiga perbuatan jahat…., bahkan empat” (bdk. 1:3, 6). Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, ungkapan ini tidak boleh dipahami secara hurufiah. Yang dipentingkan lebih pada kwalitas (tingkat keseriusan), bukan kuantitas (jumlah). Apa yang dilakukan sudah dipandang melampaui batas oleh Allah. Dosa tersebut sudah dilakukan berkali-kali tanpa merasa bersalah.
Ada dua kesalahan utama bangsa Fenisia (diwakili oleh Tirus, salah satu kota besar mereka). Keduanya sangat mungkin saling berkaitan.
Yang pertama adalah penjualan manusia (human trafficking). Mereka telah “menyerahkan tertawan suatu bangsa seluruhnya kepada Edom” (ayat 9a). Secara sekilas, kesalahan ini sangat mirip dengan dosa bangsa Filistin yang sudah dikecam sebelumnya (bdk. 1:6). Kedua bangsa ini sama-sama melakukan penjualan manusia. Mereka juga sama-sama melibatkan bangsa Edom dalam transaksi ini.
Jika diperhatikan secara lebih teliti ternyata ada sedikit perbedaan. Dosa bangsa Fenisia terlihat “lebih ringan”. Tidak seperti bangsa Filistin yang melakukan penaklukan, penawanan dan penjualan, bangsa Fenisia hanya terlibat pada penjualan. Mereka menyerahkan bangsa yang sudah ditawan oleh pihak lain itu kepada bangsa Edom. Jadi, mereka benar-benar berperan sebagai makelar. Mereka hanya menghubungkan antara penjual dan pembeli.
Petunjuk lain yang menyiratkan beban dosa bangsa Fenisia yang lebih ringan adalah pemunculan nama satu kota, yaitu Tirus. Hal ini cukup menarik, karena ada kota-kota besar lain yang bisa mewakili. Penyebutan Tirus – dan kota ini saja – sangat mungkin menunjukkan bahwa dosa penjualan manusia hanyalah dosa regional, bukan nasional. Jangkauan ini jelas berbeda dengan kesalahan bangsa Filistin. Penaklukan, penawanan dan penjualan yang mereka lakukan mencakup kota-kota besar lainnya di Filistin (Gaza, Asdod, Askelon, Ekron).
Kesalahan kedua yang dilakukan oleh bangsa Fenisia adalah tidak mengingat perjanjian persaudaraan (ayat 9b). Terjemahan hurufiah “tidak mengingat” di sini bukan merujuk pada lupa yang tidak disengaja. Ada unsur tidak menghargai dalam tindakan ini (NIV “disregarding”). Dalam ungkapan yang lebih teknis, bangsa Fenisia secara sengaja telah melanggar suatu perjanjian demi keuntungan finansial, sehingga mereka pantas disebut sebagai pengkhianat terhadap pihak lain.
Beberapa penafsir Alkitab mencoba mengaitkan perjanjian persaudaraan ini dengan bangsa Edom. Mereka menduga perjanjian ini antara bangsa Israel dan Edom, yang secara historis memang bersaudara. Yang satu adalah keturunan Yakub, yang lain dari Esau, saudara kembar Yakub.
Penafsiran di atas hampir dapat dipastikan keliru. Dari sisi tata bahasa, pihak yang melanggar perjanjian persaudaraan memang bangsa Fenisia, bukan bangsa Edom. Subjek pelanggaran baru bisa dikenakan pada bangsa Edom apabila kita mengubah tata bahasa dan posisi kata-kata tertentu dalam kalimat ini.
Jika demikian, apa yang dimaksud dengan perjanjian persaudaraan di sini? Dengan siapa penduduk Tirus mengadakan perjanjian? Sulit dipastikan. Alkitab tidak menginformasikan bangsa mana yang dijual oleh bangsa Fenisia ke Edom. Peninggalan sejarah juga tidak memadai untuk mengetahui bangsa mana saja yang telah membuat perjanjian dengan bangsa Fenisia.
Tebakan yang paling masuk akal adalah perjanjian dengan bangsa Israel atau Yehuda. Perjanjian antara mereka sudah ada sejak zaman Daud (2Sam. 5:11) dan Salomo (1Raj. 5:1, 11). Bagian Alkitab yang lain menginformasikan bahwa bangsa Fenisia memang pernah menjualbelikan umat Tuhan. Nabi Yoel menjelaskan dosa mereka sebagai berikut: “telah menjual orang-orang Yehuda dan orang-orang Yerusalem kepada orang Yunani dengan maksud menjauhkan mereka dari daerah mereka” (Yl. 3:6). Yehezkiel menyatakan dosa yang sama (Yeh. 27:13).
Bangsa Fenisia memang terkenal dengan perdagangan manusia. Posisinya yang sangat strategis dalam menghubungkan berbagai negara dan kapal-kapalnya yang megah (lihat Yeh. 27:2) memungkinkan penduduk Tirus untuk menjadi mediator perdagangan yang handal. Banyak bangsa ingin berdagang apa saja dengan mereka. Tergiur dengan keuntungan finansial, mereka akhirnya melanggar perjanjian dengan bangsa-bangsa tertentu, termasuk dengan Israel atau Yehuda.
Mengapa perjanjian dengan umat Tuhan disebut perjanjian persaudaraan (ayat 9b)? Para penafsir tidak bisa memastikan. Jika harus menebak, ungkapan ini mungkin merujuk pada perjanjian kekerabatan yang terbentuk pada saat salah seorang raja Israel yang bernama Ahab menikahi Izebel, puteri salah satu raja kota Fenisia (1Raj. 16:31). Kita tidak dapat memastikan bagaimana kelanjutan dari perjanjian itu. Apakah bangsa Israel pernah melanggar isi perjanjian sehingga menyulut kemarahan bangsa Fenisia? Sulit memastikan, tetapi kemungkinan besar bukan demikian.
Yang dipentingkan oleh Amos adalah ketidaksetiaan terhadap suatu perjanjian, lebih-lebih jikalau perjanjian itu mengandung unsur persaudaraan. Tidak setia adalah dosa, apalagi jika dilakukan terhadap orang yang dekat dengan kita. Kepedihan akibat pengkhianatan seperti ini jauh lebih mendalam.
Hukuman ilahi atas bangsa Fenisia (ayat 10)
Dosa bangsa Fenisia memang tidak separah dosa Filistin. Namun, Allah tetap menganggap dosa ini serius. Dia sudah menjatuhkan keputusan. Dia tidak akan menarik kembali penghukuman-Nya (ayat 9 “Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku”).
Kekudusan Allah mendorong Dia untuk tidak berkompromi dengan dosa. Keadilan-Nya mendorong Allah untuk menjatuhkan hukuman secara setimpal. Hukuman atas Fenisia (1:10) terlihat tidak separah kemalangan yang menimpa Filistin (1:7-8). Jumlah kata yang digunakan dalam ucapan penghukuman pun sangat berbeda.
Bangsa Fenisia akan dikalahkan oleh bangsa lain. Tembok kota akan diruntuhkan, istananya akan ludes dibakar api. Walaupun demikian, tidak ada keterangan tentang pemusnahan penduduk atau pembunuhan atas para penguasa (bdk. 1:7-8).
Tentu saja ancaman ini tidak berlaku atas semua daerah Fenisia. Fokus hukuman pada kota Tirus. Yang bersalah yang akan mendapat masalah. Bangsa Fenisia yang sering mengirim bangsa lain ke berbagai tempat sekarang harus menghadapi kenyataan bahwa TUHAN mengirim bangsa lain ke tempat mereka. Bukan untuk berjualan, tetapi menaklukkan dan meluluhlantakkan.
Apa yang dilakukan oleh bangsa Fenisia sangat kontras dengan apa yang TUHAN lakukan bagi umat-Nya. Walaupun bangsa Israel sering melanggar perjanjian, TUHAN tetap mengingat perjanjian-Nya (Kel. 2:24 ; Im. 26:45). Bahkan ketika umat-Nya terus-menerus memberontak, Allah menyediakan perjanjian yang baru (Yer. 31:31). Perjanjian ini digenapi melalui penebusan Kristus. Dia memberikan tubuh dan darah-Nya sebagai meterai perjanjian yang baru (Luk. 22:20; 1Kor. 11:25).
Kontras yang lain terlihat dari transaksi dalam penebusan. Kristus mau membayar harga yang mahal untuk mendapatkan kita yang tidak berharga. Dia kehilangan sesuatu untuk mendapatkan kita. Sebaliknya, bangsa Fenisia justru mendapatkan sesuatu dengan menjual sesamanya. Kristus mengasihi, bangsa Fenisia memanipulasi. Sudah selayaknya kita bersyukur kepada Kristus dan menggunakan hidup yang berharga ini bagi kemuliaan-Nya. Betapa hebat anugerah Allah bagi kita! Soli Deo Gloria.