Pembicaraan tentang doktrin tidak selalu disikapi dengan cara yang sama. Paling tidak ada dua ekstrim berkaitan dengan sikap ini. Di satu sisi ada orang-orang Kristen yang menganggap doktrin sebagai pemecah-belah gereja. Di sisi lain ada juga yang terlalu meributkan apa saja, entah doktrin yang mayor atau minor.
Polarisasi seperti ini kadangkala membingungkan sebagian orang. Mereka bertanya-tanya: “Sejauh mana kita perlu memiliki kesamaan doktrin?” Pertanyaan ini sebenarnya cukup rumit. Siapa yang berhak menentukan batasannya? Atas dasar apa batasan itu ditentukan?
Sebelum menelaah isu ini, kita perlu mengingat dua hal. Pertama, Alkitab mengajarkan pentingnya kesatuan doktrinal. Salah satu indikator pertumbuhan jemaat adalah “kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah” (Ef. 4:13). Kedua, kita harus memiliki respons yang bijaksana terhadap keragaman ajaran dalam kekristenan. Dalam hal-hal yang pokok kita harus sama, dalam hal-hal yang tidak pokok kita boleh berbeda, dan dalam segala hal harus mengutamakan kasih.
Nah, sekarang kita akan menjawab pertanyaan di atas. Alkitab tidak menuliskan doktrin-doktrin dasar apa saja yang harus dijadikan sebagai dasar kesatuan. Sebagai klarifikasi, Alkitab memang menyebut tentang doktrin-doktrin dasar (Ibr. 6:1-2), tetapi tidak ada keterangan bahwa daftar dalam teks ini bersifat lengkap dan bahwa doktrin-doktrin memang menjadi kriteria yang membedakan kekristenan ortodoks dan sesat. Di tengah keterbatasan petunjuk dari Alkitab, saya mengusulkan beberapa hal sebagai patokan kebenaran dasar.
Pertama adalah Injil Yesus Kristus. Salah satu rumusan Injil yang jelas ada di Roma 10:9-10. Barangsiapa yang mengaku dengan mulut dan percaya dalam hati bahwa Yesus adalah Tuhan yang bangkit dari antara orang-orang mati, orang itu akan diselamatkan. Ada tiga poin penting di sini: ke-Tuhanan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Ini adalah inti berita Injil yang menyelamatkan. Keselamatan ini menyatukan semua orang percaya, terlepas dari perbedaan tingkat pemahaman dan kerohanian mereka. Siapa saja yang memahami konsep ini dengan benar dan sungguh-sungguh meyakininya berarti tergolong pada saudara seiman (tubuh Kristus).
Kedua adalah pengakuan iman ekumenikal. Yang dimaksud di sini adalah kredo-kredo kuno di abad permulaan yang secara umum dipegang oleh gereja-gereja Barat dan Timur. Perbedaan minor memang ada, tetapi hampir semua bagian lain diterima sebagai patokan iman. Kredo-kredo kuno ini mencakup Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Kalsedon, dan Pengakuan Iman Nikea-Konstantinopel.
Ketiga adalah keterkaitan teologis. Seiring dengan perkembangan, tantangan terhadap doktrin-doktrin dasar di atas juga mengalami perubahan. Aspek-aspek lain yang berhubungan dengan doktrin-doktrin itu mulai dipersoalkan. Sebagai contoh, keabsahan historis Alkitab. Jika Kristus yang dikisahkan dalam Alkitab ternyata hanyalah tokoh mitos yang tidak pernah ada dalam sejarah, berita Injil menjadi dipertaruhkan. Seorang tokoh yang tidak pernah ada tidak mungkin mengalami kematian dan kebangkitan, apalagi dijadikan Tuhan. Masih banyak aspek-aspek lain yang akan berpengaruh terhadap pemahaman kita tentang doktrin-doktrin dasar. Jadi, aspek-aspek ini juga perlu dikaji untuk menjadi fondasi kesatuan gereja. Soli Deo Gloria.
Photo by Seema Miah on Unsplash