Orang-orang yang kurang memahami Teologi Reformed biasanya menganggap doktrin pemilihan sejak kekal (biasa disebut predestinasi) tidak dapat disandingkan dengan misi. Yang satu akan menegasikan yang lain. Pandangan umum yang beredar di antara mereka adalah doktrin pemilihan akan melemahkan semangat pekabaran injil. Mereka berpendapat bahwa jika orang-orang tertentu sudah dipilih untuk diselamatkan sejak kekekalan, maka penginjilan tidak diperlukan lagi. Semua pasti akan selamat.
Konsep semacam ini mengandung beberapa kesalahan. Pertama, beberapa pekabar injil yang gigih dan berpengaruh dalam sejarah misi dunia justru terdorong oleh doktrin predestinasi. Salah satu yang terkenal adalah Hudson Taylor di Tiongkok. Kedua, Teologi Reformed menekankan bahwa Allah tidak hanya menetapkan hasil (keselamatan), melainkan juga cara dan prosesnya (melalui pemberitaan injil), sebagaimana diajarkan oleh Paulus di Roma 10:14-17. Ketiga, serangan terhadap Teologi Reformed lebih mengarah pada ekses yang mungkin muncul daripada kebenaran konsep tersebut. Kita perlu mengingat bahwa pudarnya semangat misi secara umum juga terjadi pada gereja-gereja yang menolak predestinasi. Keempat, para rasul justru semakin didorong melakukan penginjilan melalui doktrin pemilihan. Dalam teks kita hari ini – yaitu Kisah Para Rasul 18:9-10 – Tuhan sendiri justru menguatkan Paulus melalui doktrin pemilihan.
Ketakutan Paulus
Kisah ini menceritakan awal pelayanan Paulus di kota Korintus (18:1-8). Ia menemukan rekan yang tepat, baik dalam pekerjaan maupun pelayanan, yaitu Priskila dan Akwila (18:1-3). Beberapa orang penting di kalangan orang Yahudi di Korintus pun merespon firman Allah secara positif (18:4-8).
Menariknya, di tengah keberhasilan tersebut, Tuhan menampakkan diri kepada Paulus melalui sebuah penglihatan untuk memberikan semangat kepadanya. Dorongan ilahi ini terkesan sedikit janggal. Bukankah pelayanannya sedang menuai buah? Bukankah berbagai kesulitan dan penganiayaan yang ia hadapi di kota Korintus baru terjadi sesudah ia mendapatkan penglihatan itu (18:11-12)? Apakah Paulus pada waktu itu belum mengalami ketakutan, tetapi Tuhan menyiapkan dia untuk itu? Ataukah Paulus memang benar-benar sedang takut? Kita tidak diberi petunjuk eksplisit di dalam teks tentang hal ini.
Dalam salah satu versi Bahasa Inggris terlihat jelas bahwa Paulus memang sedang mengalami ketakutan (NASB “Do not be afraid any longer”). Pertimbangan konteks memberikan dukungan kuat terhadap terjemahan ini. Jika dorongan ilahi dari Tuhan hanya sebagai antisipasi terhadap apa yang akan terjadi, maka hal itu dilakukan terlalu awal, karena penganiayaan di Korintus muncul sesudah Paulus tinggal selama 1,5 tahun (18:11-12). Di tempat lain Paulus pernah mengalami ketakutan dan Allah juga langsung berintervensi memberikan semangat (23:11; 27:24).
Jika Paulus – seorang yang pemberani - memang sedang takut, kita dapat mempelajari dua prinsip yang penting di sini: (1) sekuat dan seberani apa pun seseorang, pada momen-momen tertentu ia pasti pernah mengalami ketakutan; (2) keberanian sejati hanya bersumber dari Allah. Contoh lain yang dapat menjadi ilustrasi bagi dua prinsip ini adalah Simon Petrus. Pada waktu ia dilarang memberitakan injil oleh para pemimpin Yahudi, dengan lantang ia menolak hal itu (4:19-20). Menariknya, sesudah dilepaskan ia berkumpul bersama jemaat yang lain dan berdoa kepada Allah supaya diberi keberanian dalam memberitakan injil (4:29, 31).
Apa yang menjadi sumber ketakutan Paulus di sini? Walaupun tidak ada petunjuk eksplisit, kita tetap bisa mengetahui jawabannya. Berdasarkan pertimbangan konteks, ketakutan Paulus tampaknya disebabkan oleh kesulitan dan tantangan yang selalu menyertai pelayanannya. Tekanan dan penganiayaan kerap menimpa Paulus, baik di Filipi (16:16-24), Tesalonika (17:5-7) maupun Berea (17:13-14). Pelayanannya di Athena juga hanya membuahkan sedikit petobat (17:18, 32-34). Mungkinkah Paulus sedang berpikir bahwa hal yang sama dapat terjadi di Korintus?
Dari surat 1 Korintus kita juga dapat menduga apa yang menyebabkan ketakutan Paulus. Dalam suratnya ini Paulus menceritakan ulang situasi pelayanannya di Korintus pada masa-masa awal kedatangan. Ketakutannya ternyata juga berasal dari dalam. Ia merasa lemah dan gentar (2:3). Berita injil dianggap kebodohan oleh dunia (1:18, 22-23). Secara retorika, dia mungkin tidak sebagus pembicara-pembicara lain (2:4). Tekanan ini akan semakin terasa apabila kita mempertimbangkan keadaan kota Korintus yang sangat sarat dengan berbagai dosa (bdk. Kis 17:16). Semua faktor ini sempat menumbuhkan kekuatiran dan kegentaran dalam hati Paulus.
Di tengah ketakutan ini, Tuhan terus mendorong Paulus untuk tetap memberitakan injil dan jangan diam. Ungkapan “Teruslah memberitakan firman dan jangan diam” (18:9b) bersifat mengulang dan menekankan. Sempat terbersit di pikiran Paulus untuk menahan diri dalam memberitakan injil (mungkin untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya situasi buruk), namun Allah terus menguatkan dia. Injil harus tetap diberitakan.
Bukan kita semua pernah berada dalam situasi yang sama? Apa yang kita lakukan tidak seberapa menuai keberhasilan. Kesulitan datang bertubi-tubi. Tantangan yang ada tampak lebih besar daripada kekuatan kita. Apakah ada harapan bagi kita?
Penghiburan dari Allah
Penderitaan selalu muncul, tetapi Allah tidak pernah berdiam diri. Ia peduli. Ia tahu saat yang paling tepat untuk campur tangan. Itulah yang dilakukannya terhadap Paulus. Ia adalah penghibur sejati dalam pekabaran injil.
Allah tidak hanya mengeluarkan perintah. Ia pun memberikan dorongan. Dorongan ini juga bukan tanpa alasan.
Bagaimana cara Allah menghibur Paulus? Apa saja yang Ia katakan kepada Paulus? Ada tiga hal yang Ia gunakan untuk memberikan penghiburan.
Pertama, penyertaan-Nya (ayat 10a). Dalam teks Yunani, ungkapan “Aku menyertai engkau” mengandung penekanan. Kata “Aku” muncul dua kali (egō eimi).
Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan para pekabar injil. Ia menyelamatkan dan mempersiapkan Paulus sebagai pemberita injil (9:3-5, 15-16). Ia mengarahkan perjalanan misi Paulus (16:7). Sekarang Ia mempertegas kembali penyertaan-Nya (18:9-10).
Penyertaan Tuhan Yesus bukan hal yang asing bagi orang-orang Kristen. Kedatangan ke dalam dunia membuktikan bahwa Allah beserta dengan kita. Ia akan dinamakan Imanuel (Mat 1:23). Tiap kali dua atau tiga orang percaya berkumpul dalam nama-Nya, Ia berjanji untuk hadir di tengah mereka (Mat 18:20). Di akhir pelayanan-Nya di dunia, Tuhan Yesus memberikan perintah untuk memberitakan injil sekaligus sebuah janji yang indah: “Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20).
Kedua, pemeliharaan-Nya (ayat 10b). LAI:TB menerjemahkan bagian ini dengan “tidak ada seorang pun yang akan menjamah dan menganiaya engkau”. Dalam teks Yunani dua kata kerja “menjamah” dan “menganiaya” tidak bersifat sejajar. Secara hurufiah bagian ini berbunyi: “seorang pun tidak akan meletakkan tangan di atasmu untuk mencelakakan engkau”. Jadi, Tuhan tidak berjanji untuk meniadakan kesulitan dalam pelayanan Paulus di Korintus. Paulus tetap diseret ke pengadilan. Namun, Tuhan berjanji untuk memberikan perlindungan kepadanya. Ia tidak mengalami penganiayaan secara fisik. Orang-orang Yahudi di Korintus gagal memasukkan Paulus ke dalam penjara.
Yang menarik dari kisah ini adalah bagaimana Tuhan mengontrol Galio, gubernur Akhaya. Kecuekannya memang turut mendorong munculnya pertentangan terhadap Paulus (18:12, 17). Walaupun demikian, pada saat yang sama, Tuhan dapat menggunakan kecuekan itu untuk menggagalkan upaya licik orang-orang Yahudi (18:13-16).
Walaupun dalam kasus ini Tuhan berjanji memberikan perlindungan secara fisik kepada Paulus, kita tidak boleh mengaplikasikan janji ini pada segala situasi dan pada semua orang Kristen. Bahkan dalam kisah ini pun Tuhan membiarkan Sostenes mengalami penganiayaan secara fisik (18:17). Di akhir hidupnya, Paulus pun mati sebagai martyr.
Tuhan selalu memberikan perlindungan. Ini berlaku untuk semua orang percaya di semua tempat dan di segala abad. Yang berbeda adalah bentuk dari perlindungan tersebut. Kepada sebagian orang Allah memberikan kelepasan dari bahaya. Kepada yang lain ia mengaruniakan kekuatan dan penghiburan untuk menjalani kesulitan.
Ketiga, pemilihan-Nya (ayat 10c). Perkataan Tuhan Yesus di akhir ayat ini pasti mengagetkan mereka yang menolak doktrin predestinasi. Tuhan berkata: “sebab banyak umat-Ku di kota ini”. Pada waktu penglihatan itu diberikan, jumlah orang Kristen di Korintus jelas baru beberapa gelintir orang saja (18:1-8). Tuhan tidak sedang menginformasikan statistik orang Kristen di Korintus pada waktu itu. Perkataan ini merupakan penguatan bagi Paulus bahwa masih banyak orang-orang pilihan Allah di Korintus yang belum mendengarkan injil dan diselamatkan. Paulus harus tetap bertahan agar mereka mendengarkan injil, sehingga rencana kekal Allah bagi mereka dapat direalisasikan. Paulus harus bersabar demi orang-orang pilihan.
Apa yang disampaikan Tuhan di sini akan terlihat lebih menarik apabila kita membandingkannya dengan ucapan Tuhan pada awal pertobatan dan pelayanan Paulus. Pada waktu itu ia ingin tinggal di Yerusalem untuk memberitakan injil kepada orang-orang Yahudi. Ia berpikir bahwa pertobatannya yang radikal pasti menjadi kesaksian yang bermanfaat
bagi pemberitaan injil kepada penduduk Yerusalem (22:19-20). Apa yang terjadi? Tuhan menampakkan diri kepadanya dan memerintahkan dia untuk segera meninggalkan Yerusalem dan pergi ke tempat-tempat lain. Tuhan berfirman: “Lekaslah, segeralah tinggalkan Yerusalem, sebab mereka tidak akan menerima kesaksianmu tentang Aku” (22:18) dan “Pergilah, sebab Aku akan mengutus engkau jauh dari sini kepada bangsa-bangsa lain” (22:21).
Jadi, Allah tahu siapa orang-orang pilihan-Nya. Dia mengarahkan hamba-hamba-Nya untuk menjangkau orang-orang pilihan itu. Allah tidak hanya menetapkan siapa yang akan diselamatkan. Ia juga menentukan siapa yang harus pergi membawa injil kepada mereka. Allah mengatur hasil akhir sekaligus prosesnya (Rom 10:14-17). Di akhir pelayanannya, Paulus sendiri merangkum responnya terhadap penderitaan dan penganiayaan dalam sebuah kalimat yang begitu indah: “Karena itu aku sabar menanggung semuanya itu bagi orang-orang pilihan Allah, supaya mereka juga mendapat keselamatan dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan yang kekal” (2 Tim 2:10). Doktrin pemilihan kekal Allah justru menjadi alasan yang sangat kuat dan pasti untuk setia memberitakan injil, tidak peduli betapa sukar situasi yang harus kita jalani.
Soli Deo Gloria.