Di kantor atau gereja, bapak/ibu sudah berkata dan bertindak benar, tetapi justru bapak/ibu dimusuhi oleh teman sepelayanan atau sekantor. Bahkan kita dianggap pembuat onar oleh teman kita. Apa reaksi kita terhadap hal tersebut? Mari kita belajar dari Amos 7:7-17.
Hukuman Allah yang Tidak Dapat Diganggu Gugat (ay. 7-9)
Orang-orang Israel di zaman Amos melakukan banyak dosa yang menjijikkan baik dalam hal ibadah maupun kehidupan sehari-hari dan Allah menghukum mereka. Sebagai hukuman terhadap dosa mereka, Allah membukakan mata Amos untk melihat berbagai penglihatan tentang hukuman tersebut. Di dalam penglihatan ketiga, Amos melihat tembok yang tegak lurus dan di tangan-Nya ada tali sipat yang akan diletakkan di antara umat Israel (ay. 7-8). Tali sipat adalah alat pembangun yang terdiri dari seutas tali dengan beban di ujungnya yang digunakan untuk menentukan apakah suatu kerangka bangunan sudah tegak lurus atau belum (Elizabeth Achtemeier, Minor Prophets I, 221). Sama seperti seorang pembangun menggunakan tali sipat untuk menentukan apakah kerangka atau struktur bangunan sudah lurus atau belum, Allah juga menggunakan perintah dan kehendak-Nya dalam hal keadilan di masyarakat dan ibadah sejati untuk mengukur apakah umat Israel sdh hidup lurus atau belum dan ternyata Allah menjumpai umat Israel yang dahulu hidup lurus menjadi bengkok. Oleh karena itu, umat Israel akan segera dihancurkan.
Oleh karena itu, Tuhan berfirman melalui Amos kepada umat Israel di ayat 8c, “Aku tidak akan memaafkannya lagi” atau dapat diterjemahkan, “Mengingat dosa umat-Ku yang luar biasa jahat, maka Aku tidak akan mengampuni mereka lagi dan pasti segera menghukum mereka.” Kalimat ini adalah kalimat pasti. Kepastian ini ditunjukkan dengan segala bentuk hukuman-Nya yang spesifik, yaitu: tempat ibadah Israel akan sepi pengunjung/jemaat karena orang-orang di dalamnya dibuang ke pengasingan dan akan segera dihancurkan dan keturunan raja Yerobeam II akan terbunuh oleh pedang (ay. 9) di mana hal ini digenapi sekitar tahun 746 SM di mana putra Yerobeam II yaitu Zakharia terbunuh (2Raj. 15:10; lih. 14:29) (Achtemeier, Minor Prophets I, 221).
Allah yang menilai umat Israel juga menilai kita. Penilaian-Nya adalah penilaian yang berpusat pada hati. Oleh karena itu, sebagaimana Ia tidak terpesona dengan segala ritual ibadah umat Allah (4:4-5) tanpa disertai hati dan sikap hidup yang memuliakan-Nya, Ia pun juga tidak terpesona dengan ritual ibadah kita hari-hari ini tanpa ada perubahan hati, pola pikir, dan sikap hidup kita. Ketika kita masih suka mementingkan ritual ketimbang perubahan hidup, maka Allah akan menghukum kita dengan cara-cara yang tak pernah terpikirkan oleh kita.
Hukuman Allah Ditolak Oleh Pemimpin Agama (ay. 10-13)
Perkataan nubuat nabi Amos di ayat 7-9 dianggap ingin menggulingkan pemerintahan raja Yerobeam melalui pemberontakan (Achtemeier, Minor Prophets I, 221). Oleh karena itu, perkataan nubuat nabi Amos ditanggapi dengan sengit oleh imam Amazia, imam yang melayani di tempat suci kerajaan di Betel. Imam Amazia lebih membela raja dan umat Israel dan masa bodoh dengan hukuman Allah melalui nubuat nabi Amos. Di ayat 10-11, imam Amazia lapor ke raja Yerobeam bahwa nabi Amos bernubuat melawan raja Yerobeam dan orang Israel akan dibuang ke pengasingan. Ada beberapa permasalahan dari omongan Amazia: Pertama, Amazia percaya perkataan Amos bukan dari Allah. Elizabeth Achtemeier menyoroti perkataan imam Amazia bahwa ketika Amazia melaporkan perkataan nabi Amos kepada raja Yerobeam, dia mengutip: Amos berkata, bukan Tuhan berkata. Ini berarti Amazia mengaku bahwa perkataan Amos bukan dari Allah (Ibid., 222). Kedua, kutipan Amazia dari Amos juga tidak cocok. Amos berkata di ayat 9 bahwa keluarga Yerobeam yang terbunuh dengan pedang, tetapi Amazia menafsirkan ulang nubuat Amos dengan berkata bahwa raja Yerobeam yang terbunuh (ay. 11). Mengapa Amazia memelintir nubuat Amos? Mungkin karena ia lebih taat dan setia kepada raja daripada kepada Allah.
Hukuman Allah justru ditolak oleh pemimpin agama. Ketika Allah menghukum jemaat gereja (sebut saja: X) di zaman ini, sering kali pendeta gerejanya (sebut saja: A) bukannya mengarahkan X untuk menerima hukuman-Nya dan segera bertobat, tetapi juga membela X dengan berkata, “Allah itu Maha Pengampun.” Mengapa ada hamba Tuhan seperti ini? Mungkin saja, Pdt. A sering dibantu oleh jemaat ketika beliau lagi kesusahan. Kemudian, X datang ke Pdt. A dan berkata bahwa keluarganya atau ada pendeta lain yang menyuruhnya bertobat dari dosa-dosanya, maka Pdt. A akan berkata ke X, “Sudah, jangan dengerin omongan keluargamu atau pendeta lain. Mereka kebanyakan teori. Dan lagi mereka tidak mengerti permasalahanmu. Sudah, tenang aja, Tuhan mengampuni dosamu.”
Bukan hanya itu, Amazia pun mengusir Amos ke Yehuda dan bernubuat di sana (ay. 12-13). Mengapa? Alasannya disebutkan di ayat 13b bahwa Betel adalah “tempat kudus raja, inilah bait suci kerajaan.” Sebagai seorang imam kerajaan, Amazia ingin menciptakan perdamaian di dalam kerajaan Israel Utara, sehingga ia mengusir Amos yang dianggap membuat onar agar kerajaan Israel Utara tetap damai, meskipun sudah berdosa kepada Allah (R. Martin-Achard dan S. Paul Re’emi, God’s People in Crisis: Amos and Lamentations, 56). “Dosa mengakibatkan hamba Tuhan yang memberitakan kebenaran dan menegur dosa dianggap pembuat onar, sedangkan hamba Tuhan yang memberitakan kenyamanan dan menoleransi dosa dianggap utusan Allah.”
Ditolak? Siapa Takut! (ay. 14-17)
Meskipun ditolak oleh imam Amazia, nabi Amos menanggapi penolakan tersebut dengan dua hal: Pertama, Amos mengakui identitas aslinya dan panggilannya (ay. 14-15). Di ayat 14, Amos mengaku bahwa ia bukan nabi artinya ia bukan nabi yang berkhotbah demi uang, ia juga “tidak termasuk golongan nabi” atau “anak nabi” (ESV) artinya Amos bukan termasuk anggota dari sekolah, lingkaran, atau persekutuan kenabian (1Raj. 20:35; 2Raj. 2:3; 4:1, 38; 5:22; 6:1; 9:1) (Tchavdar S. Hadjiev, Joel and Amos: An Introduction and Commentary, 247-248). Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa profesi aslinya adalah peternak atau penggembala domba yang menyiapkan makanan untuk dombanya dengan memotong buah ara. Profesinya tidak berpengaruh di Betel, tempat Amos melayani. Ini berarti Amos bukan hanya tidak berotoritas secara keagamaan, namun profesinya pun tidak berpengaruh. Meskipun demikian, Amos dipaksa dan diperintahkan TUHAN untuk bernubuat tentang penghukuman-Nya kepada umat Israel (ay. 15). Ini berarti otoritas Amos bukan dari sekolah atau kumpulan/anggota kenabian resmi, tapi dari Allah (Achtemeier, Minor Prophets I, 223). Oleh karena itu, ketika imam Amazia menolak nubuat Amos, Amazia bukan melawan Amos, tetapi melawan Allah (Ibid.).
Panggilan Amos begitu kuat, sehingga ia tidak takut menghadapi tantangan dari pemimpin agama kerajaan yaitu Amazia. Panggilannya bukan didasarkan pada penerimaan orang lain atau kehebatan diri, tetapi pada Allah. Paulus yang dipanggil Allah juga tetap setia, meskipun harus menghadapi berbagai penderitaan. Bahkan ia memberi kekuatan kepada Timotius untuk tetap memberitakan kebenaran dalam segala situasi (2Tim. 4:2). Setiap orang percaya dipanggil Allah untuk memberitakan kebenaran dengan cara yang bijaksana. Tugas kita adalah menaati panggilan-Nya sekaligus bergantung kepada Allah. Ini berarti dalam menjalankan panggilan Allah, mata rohani kita terus tertuju pada Allah.
Kedua, Amos menyampaikan hukuman Allah kepada imam Amazia (ay. 16-17). Hukuman-Nya sangat signifikan bagi Amazia: istri Amazia menjadi pelacur dan ini merupakan sumber aib dan kecemaran yang akan mengakibatkan hilangnya status imamatnya (Im. 21:7) (Hadjiev, Joel and Amos, 249) dana Amazia sendiri mati di tanah yang najis yang menyembah berhala (Am. 5:25-27) di mana ini jelas berkontradiksi dengan panggilan imamatnya (Ibid. dan Achtemeier, Minor Prophets I, 223). Hukuman terakhir yaitu Israel benar-benar dibuang dan ini menunjukkan bahwa meskipun Amazia tidak percaya dengan nubuat Amos, Allah menunjukkan bahwa hukuman-Nya bersifat pasti. Hukuman-hukuman ini menunjukkan kepada Amazia: Amazia merasa sombong dan menganggap Amos dan nubuatannya bukan berasal dari Allah, namun sebenarnya Amazia lah yang bukan berasal dari Allah karena ia lebih setia kepada raja daripada kepada Allah.
Amos vs Amazia mengajar kita untuk tetap setia melakukan panggilan Allah seberapa sulit tantangannya dan percayalah bahwa Ia akan menguatkan kita. Amin. Soli Deo Gloria.
Photo by Johannes Plenio on Unsplash