Apa yang terpikirkan di benak kita pada saat mendengar kata “Natal”? Jawabannya tentu saja sangat beragam. Semuanya bernada positif: damai sejahtera, sukacita, kebahagiaan, liburan, harga promo, hadiah, dsb.
Yang mungkin tidak terbersit di pikiran kita adalah kata “pertentangan”. Kata yang terdengar negatif ini sekilas mungkin cukup mengagetkan jika dikaitkan dengan Natal. Bagaimana mungkin kedatangan Raja Damai justru membawa pertentangan? Natal seharusnya menghadirkan damai antara Allah dan manusia dan antar sesama manusia! Kata “pertentangan” tampaknya akan menjadi kata terakhir yang kita lekatkan dengan Natal.
Kesan sekilas ini mungkin perlu dikaji ulang. Sejak awal Natal memang membawa pemisahan (kalau tidak bisa disebut “pertentangan”). Respons orang terhadap kelahiran Yesus sejak awal memang beragam. Ada yang menyikapi dengan kemarahan (seperti Raja Herodes). Ada yang kurang peduli (seperti golongan Farisi dan ahli Taurat). Ada yang menyambut dengan sukacita (seperti orang-orang majus dan para gembala). Orang-orang terkotak-kotak sesuai dengan respons mereka terhadap kelahiran Yesus.
Dalam teks kita hari ini Yesus menerangkan bahwa kedatangan-Nya ke dunia memang untuk membawa pertentangan, bukan kedamaian. Pertentangan antar manusia, bahkan sampai menyentuh tingkat pertentangan antar anggota keluarga. Jadi, Natal memang membawa damai antara Allah dan manusia, tetapi bukan selalu damai antar manusia. Keragaman respons terhadap kelahiran Yesus akan membawa perbedaan yang signifikan.
Teks hari ini memang tidak lazim dikhotbahkan dalam momen Advent. Natal adalah momen sukacita, tetapi teks kita hari ini justru membicarakan hal-hal sebaliknya. Apa saja yang dihadirkan oleh Kristus ke dunia melalui kelahiran-Nya?
Natal mendatangkan penghakiman (ayat 49)
Jika kita melihat teks Yunani dari bagian ini kita akan mendapati beberapa penekanan pada kata “api”. Kata ini muncul di bagian paling awal di ayat 49. Kata “melempar” (ballō, LAI:TB) menyiratkan gerakan yang keras dan membutuhkan kekuatan (kontra KJV “I send fire” atau NIV “I bring fire”). Ditambah dengan frasa “betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala!” (ayat 49b), keseriusan dari apa yang hendak disampaikan menjadi jauh lebih kentara.
Apa yang disimbolkan oleh “api” di sini? Pertanyaan ini layak untuk diajukan, karena api bisa merujuk pada beragam hal, tergantung pada konteks pemunculannya. Di ayat ini api tampaknya mengarah pada penghakiman atau penghukuman.
Ada beberapa alasan yang kuat untuk dugaan ini. Teks hari ini ibarat daging di tengah burger yang diapit oleh dua roti yang sama-sama berbicara tentang penghakiman/penghukuman: ayat 45-48 tentang hukuman untuk para hamba yang menaati tuannya, sedangkan ayat 54-56 tentang teguran terhadap kegagalan orang-orang Farisi dalam memahami tanda zaman. Struktur semacam ini mendorong kita untuk menafsirkan ayat 49-53 dalam konteks penghakiman/penghukuman.
Alasan lain berhubungan dengan pemunculan kata “api” dalam Injil Lukas. Beberapa kali simbol api muncul di kitab ini. Sebagian besar penggunaannya memang dihubungkan dengan penghukuman: pohon yang tidak berbuah akan dipotong dan dibakar (3:9), jerami yang sudah dipisahkan dari gandum akan dibakar (3:17), murid-murid ingin mendatangkan api dari langit atas penduduk Samaria yang menolak Yesus (9:54), api dan belerang sebagai alat hukuman atas Sodom dan Gomora (17:29). Dari pola yang ada, tidak berlebihan jika kita menafsirkan api di 12:49 sebagai rujukan pada penghukuman.
Kedatangan Kristus memang untuk melemparkan api itu ke dunia. Bukan api pemurnian, melainkan penghukuman. Yang dimaksudkan di sini tentu saja bukan kedatangan Yesus itu sendiri, tetapi respons orang terhadap kedatangan tersebut. Kedatangan-Nya membuat manusia harus mengambil sikap: menerima atau menolak. Menolak berarti mendatangkan hukuman ilahi atas diri sendiri. Manusia bebas untuk mengambil suatu pilihan, tetapi mereka tidak bebas dari konsekuensi yang muncul akibat pilihan tadi.
Natal mendatangkan kematian (ayat 50)
Ayat ini juga mengandung sebuah simbol yang lain, yaitu baptisan. Seperti api, baptisan juga bisa berarti banyak hal tergantung pada konteksnya. Simbol ini bisa berarti penyucian, kematian, dan sebagainya.
Alasan-alasan berikut ini mengarahkan kita untuk menafsirkan baptisan sebagai rujukan simbolis pada kematian Yesus. Matius dan Lukas memahami baptisan yang akan dijalani Yesus dalam kaitan dengan cawan yang Dia harus minum (Matthew 20:22-23; Mark 10:38-39). Ini jelas merujuk pada kematian Yesus.
Di samping itu, ide tentang kesusahan di ayat 50 mengingatkan kita pada pergumulan emosional yang dialami oleh Yesus di Getsemani. Dalam kemanusiaan-Nya Yesus tampak begitu lemah sehingga perlu dikuatkan oleh seorang malaikat. Ketakutan membuat keringat-Nya jatuh seperti darah (22:43-44).
Dukungan lain diperoleh dari kata “berlangsung” (LAI:TB, telesthē). Berbagai versi memilih terjemahan “terlaksana” (accomplished). Terjemahan yang lebih baik diberikan oleh NIV (“selesai”). Kata dasar teleō dalam ayat ini juga muncul dalam kisah penyaliban Yesus ketika Dia berkata: “Sudah selesai” (tetelestai, Yoh. 19:30).
Jika benar baptisan merujuk pada kematian Yesus di kayu salib, frasa “betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung!” menyiratkan sesuatu yang menarik. Kesusahan yang dialami Yesus bukan pergumulan sesaat di Getsemani tetapi kesusahan setiap hari yang harus dijalani. Ini bukan perasaan sedih yang biasa. Kata “kesusahan” (synechō) sering merujuk pada tekanan yang luar biasa (8:45; 19:43; 22:63). Dalam konteks 12:50 kata ini menyiratkan tekanan emosional yang besar yang dialami oleh Yesus (NASB/NIV/ESV “distress”; KJV “straitened”; RSV “constrained”).
Yesus tahu dengan pasti bahwa kedatangan-Nya ke dalam dunia akan berakhir di atas kayu salib. Bangsanya sendiri akan menyalibkan Dia. Setiap hari yang dijalani berarti semakin dekat dengan saat kematian. Betapa susahnya hati Yesus! Seorang yang mahakudus harus tinggal di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa dan berinteraksi dengan manusia yang berdosa. Jika Lot saja “terus-menerus menderita oleh cara hidup orang-orang yang tak mengenal hukum dan yang hanya mengikuti hawa nafsu mereka saja” (2Pet. 2:7), apalagi Yesus yang mahakudus. Itulah harga yang harus Dia tanggung setiap hari.
Natal mendatangkan pertentangan (ayat 51-53)
Seperti yang sudah disinggung di depan, kelahiran Yesus disambut dengan respons yang beragam. Keragaman inilah yang akan memisahkan banyak orang. Pemisahan ini bahkan akan terjadi dalam sebuah keluarga: antara orang tua dan anak, mertua dan menantu.
Kata “pertentangan” (diamerismos) hanya muncul sekali dalam Alkitab. Berdasarkan pemunculannya di sumber-sumber lain di luar Alkitab, kata ini bukan sekadar merujuk pada perdebatan, ketidaksetujuan atau perbantahan yang sengit. Makna yang tersirat adalah perpecahan atau perselisian yang sangat kasar.
Tidak tertutup kemungkinan pertentangan ini sampai pada tahap pembunuhan (bdk. Mat. 10:21). Konsekuensi ini sangat masuk akal dalam tradisi Yahudi. Bagi masyarakat kuno yang digerakkan oleh kehormatan dan aib, meninggalkan iman yang lama berarti noda bagi keluarga. Mereka tidak jarang lebih memilih kehilangan anggota keluarga sebagai sebuah wujud pembelaan terhadap kehormatan. Itulah yang kerap kali terjadi, terutama di daerah-daerah yang sangat fanatik dengan agama mereka.
Dari semua penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa pertentangan bukan berasal dari Yesus, tetapi berkaitan dengan Dia. Mereka yang menolak Dia tidak segan-segan untuk menganiaya anggota keluarga mereka yang percaya kepada-Nya. Kedamaian antara Allah dan manusia yang dibawa oleh Yesus tidak selalu berarti kedamaian antar manusia. Perdamaian (rekonlisiasi) dengan Allah dapat berarti pemisahan (separasi) dari manusia (Darrell Bock). Bahkan pemisahan dari anggota keluarga.
Berita Natal bukan hanya memberikan undangan tetapi sekaligus tantangan. Undangan untuk menerima Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhan. Tantangan untuk membayar harga bagi pengiringan kita kepada-Nya. Pemuridan bukan murahan. Ada harga yang harus dibayar. Keselamatan memang gratisan, tetapi pemuridan tetap harus bayar. Biarlah di momen Natal ini hati kita digairahkan oleh kasih-Nya. Biarlah jiwa kita berkobar-kobar bagi Dia. Soli Deo Gloria.