Bayangkan Anda sedang diberi voucher liburan gratis untuk 10 orang. Anda berhak memilih sendiri siapa saja yang akan diajak dalam liburan tersebut. Kira-kira siapa saja yang akan kita ajak untuk menikmati momen indah ini? Hanya sedikit yang akan mengajak orang lain yang tidak dikenal atau berbeda dengan kita. (Hampir) tidak ada yang akan menyertakan musuh dalam daftar teman liburan.
Secara naluriah semua manusia memang cenderung bersikap memilih dalam pergaulan. Kita hanya mau berkumpul dengan orang-orang yang memiliki banyak kesamaan atau kecocokan dengan kita. Kita enggan berkumpul dengan orang-orang yang terlalu berbeda dengan kita.
Natal mengajarkan kepada kita untuk berani menginjakkan kaki ke dalam komunitas lain yang berbeda dengan kita. Allah bukan hanya menjadi manusia dan tinggal di dunia. Kristus datang untuk mencari orang berdosa. Dia memanggil orang berdosa untuk menikmati persekutuan dengan Dia.
Teks kita hari ini mengisahkan pemanggilan Matius menjadi murid Kristus. Melalui kisah ini kita akan belajar tentang panggilan Kristus yang beranugerah kepada orang berdosa. Dia datang ke dalam dunia untuk orang-orang berdosa.
Panggilan diberikan ketika kita masih berdosa (ayat 9)
Pertemuan Yesus dengan Matius di kisah ini tidak terjadi pada saat Matius berada di bait Allah atau rumah ibadat Yahudi untuk mendengarkan khotbah Yesus. Matius pasif. Yesus yang mendatangi dia.
Yesus mendatangi Matius di rumah cukai (LAI:TB). Istilah “rumah cukai” (telōnion) di sini sangat mungkin merujuk pada kantor cukai yang berbentuk tenda. Jika dugaan para penafsir Alkitab benar bahwa pajak di sini lebih mengarah pada bea cukai, lokasi tenda ini kemungkinan berada pada posisi yang sangat strategis di perbatasan, entah di persimpangan jalan besar atau di pelabuhan (salah satu titik di tepi danau).Di sanalah Yesus mendatangi Matius.
Kita tidak dapat mengetahui berapa kali Matius sudah berjumpa dengan Yesus sebelum peristiwa ini. Dia mungkin sudah sering mendengar kabar tentang Yesus, baik ajaran maupun mujizat-Nya. Dia mungkin sebelumnya pernah bertemu secara langsung. Yang jelas, dalam pertemuan di 9:9 Matius masih tinggal dalam kehidupan lamanya. Dia masih sebagai pemungut cukai.
Dalam masyarakat Yahudi para pemungut cukai termasuk orang-orang yang dipandang sebelah mata. Mereka dianggap sebagai antek pemerintah asing yang menyengsarakan bangsa mereka sendiri. Mereka juga dicap sebagai orang yang tidak jujur dan tamak yang suka menarik pajak lebih tinggi daripada seharusnya. Lebih jauh, pergaulan mereka yang sangat akrab dengan orang-orang asing seringkali menempatkan mereka sebagai pelanggar adat-istiadat Yahudi, terutama hukum halal – haram.
Di tengah kondisi seperti itu Yesus datang dan memanggil Matius. Panggilan ini diberikan terlepas dari kondisinya yang masih carut-marut. Allah memang tidak membutuhkan orang sempurna. Orang yang mengakui dosa-dosanya jauh lebih menjanjikan dalam pelayanan daripada orang yang merasa dirinya sempurna.
Panggilan pelayanan ini sama dengan panggilan keselamatan. Kristus mengasihi kita ketika kita masih lemah dan berdosa (Rm. 5:5-8). Dia tidak menunggu kita pulang. Dia mengejar dan menjemput kita. Kasih-Nya lebih dalam daripada kejatuhan kita. Keinginan-Nya untuk mendapatkan kita jauh lebih besar daripada kegigihan kita dalam memusuhi Dia.
Panggilan diberikan beserta dengan persekutuan (ayat 10-11)
Memanggil Matius untuk mengikuti Dia adalah satu hal. Makan bersama Matius dan teman-temannya adalah hal yang sangat berbeda. Seandainya Yesus hanya menarik Matius dari pekerjaan dan pergaulannya dengan orang-orang asing, Yesus mungkin malah dihargai dan dicintai oleh orang-orang Yahudi. Dia telah mengubahkan seorang yang berdosa.
Makan bersama orang berdosa adalah perkara yang sama sekali berbeda. Di mata masyarakat pada waktu itu, makan bersama melibatkan keterikatan yang jauh lebih erat dibandingkan perspektif kita sekarang. Makan bersama seringkali berarti bergaul bersama; berbagi nilai hidup, sikap dan kebiasaan. Hanya orang-orang yang dekat yang akan makan bersama, kecuali pada acara-acara tertentu (pernikahan, dsb).
Dalam kasus perjamuan makan di rumah Matius (lit. “di rumah itu”), persoalannya menjadi lebih rumit. Teman-teman Matius pasti banyak yang bukan dari kalangan Yahudi. Mereka tidak memelihara hukum kosher (makanan halal). Apa yang dimakan, proses masak dan bagaimana makanan itu disajikan pasti banyak menabrak adat-istiadat Yahudi. Mendapati seorang rabbi berada di tengah kerumunan seperti itu pasti sangat mengagetkan. Yesus seharusnya tidak makan bersama orang-orang berdosa itu.
Kenyataannya, Yesus tetap makan bersama mereka. Dia berbagi sukacita dengan mereka. Dia bergaul dengan mereka. Dia menawarkan persekutuan.
Sikap ini berbeda dengan sikap banyak gereja terhadap orang berdosa. Di satu sisi sebagian gereja mau mencemplungkan diri di antara orang berdosa tanpa berusaha mengubah mereka. Gereja cuma ada dan menerima apa adanya. Tidak ada upaya untuk menghadirkan sesuatu yang berbeda.
Di sisi lain sebagian gereja menarik diri dari orang-orang berdosa. Mereka hanya berfokus pada jemaat sendiri. Investasi terbesar mereka hanya diletakkan pada orang-orang yang sudah percaya. Gereja hanya menunggu orang dunia datang. Penjangkauan yang dilakukan hanya menarik orang untuk masuk ke dalam (gereja), bukan mengutus anggota jemaat keluar (dunia).
Strategi ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Yesus. Dia tidak menunggu, apalagi menghindar. Dia mendatangi, memanggil, dan menawarkan persekutuan. Dia bukan hanya menerima mereka apa adanya, tetapi juga mengubahkan mereka. Penerimaan-Nya disertai dengan teguran-Nya.
Panggilan diberikan berdasarkan belas-kasihan (ayat 12-13)
Apa yang mendorong Yesus untuk mengambil inisiatif memanggil Matius dan bergaul bersama para pemungut cukai dan orang-orang berdosa? Mengapa Dia mampu melangkahi semua batasan budaya untuk mendapatkan mereka? Jawabannya sederhana: belas-kasihan. Inilah yang membedakan Yesus dan orang-orang Farisi.
Sikap ini, sayangnya, sukar ditemukan. Ada banyak musuh belas-kasihan. Musuh utama belas-kasihan adalah arogansi spiritual. Merasa diri lebih paham kitab suci. Menganggap diri lebih benar di hadapan Allah.
Mereka perlu diajar bahwa sikap itu bertabrakan dengan kitab suci. Ada yang salah dengan pemahaman mereka terhadap firman Allah. Yesus berkata kepada orang Farisi: “pergilah dan pelajarilah arti firman ini” (ayat 13a). Ungkapan ini merupakan sebuah ajakan untuk menggali sesuatu secara lebih mendalam. Seseorang biasanya menggunakan kalimat-kalimat semacam ini untuk mendorong orang lain untuk melihat atau meneliti sesuatu secara lebih seksama. Mungkin ada sesuatu yang terlewatkan. Mungkin ada sesuatu yang perlu diluruskan.
Orang-orang Farisi melewatkan sesuatu yang sangat penting: ibadah bukan sekadar tentang liturgi, tetapi kondisi hati. Apa yang diletakkan di atas altar (persembahan) sama pentingnya dengan apa yang disimpan di dalam (sikap hati). Persembahan harus disertai dengan belas-kasihan. Apa yang kita lakukan di hadapan Allah (dalam ibadah personal dan komunal) harus selaras dengan apa yang kita lakukan di hadapan sesama (dalam interaksi sosial).
Ironisnya, orang-orang yang berusaha mengejar kesalehan seringkali mudah terjebak pada kesombongan. Semakin dekat dengan Tuhan malah semakin jauh dari sesama. Semakin mengejar kekudusan malah semakin mengabaikan orang berdosa.
Kesalehan sejati dimulai dari hati, bukan sekadar disiplin rohani. Allah lebih menyoroti kondisi hati daripada semua ritual rohani. Kekudusan dimulai dari kesadaran tentang keberdosaan. Tanpa terus-menerus mengingat semua dosa diri sendiri, seseorang akan merasa paling saleh sendiri. Intinya, kesalehan bukanlah sebuah pencapaian, melainkan pemberian. Dari Allah untuk kita, bukan dari kita untuk Allah.
Jika kekudusan dan kesempurnaan adalah pemberian, tidak ada ruang untuk kebanggaan. Yang membedakan kita dari orang berdosa bukanlah apa yang kita lakukan bagi Tuhan (persembahan), tetapi apa yang Kristus lakukan bagi kita (penebusan). Hanya ketika kesombongan spiritual disingkirkan, kita akan mampu menunjukkan belas-kasihan. Soli Deo Gloria.