Bolehkah Orang Kristen Berpenampilan Seperti Sinterklas?

Posted on 16/12/2018 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/bolehkah-orang-kristen-berpenampilan-seperti-sinterklas.jpg Bolehkah Orang Kristen Berpenampilan Seperti Sinterklas?

Setiap kali perayaan Natal, figur Sinterklas (Santa Claus) selalu memeriahkan suasana. Budaya ini jelas tidak ada di dalam Alkitab. Figur ini bahkan tidak ada dalam dunia nyata. Dia adalah tokoh fiktif dalam sebuah tradisi yang dipinjam dari budaya Barat.

Sinterklas digambarkan sebagai seorang sosok tua yang sangat baik. Setiap Natal dia akan memberikan kado istimewa bagi anak-anak yang baik. Kehadiran sangat dinantikan oleh anak-anak. Para orang tua memanfaatkan tradisi ini untuk mengendalikan kenakalan anak-anak mereka; paling tidak selama Bulan Desember.

Apakah orang-orang Kristen diperbolehkan memeriahkan momen-momen Natal dengan menghadirkan figur Sinterklas? Sejauh mana ornamen yang bersentuhan dengan figur ini diperbolehkan?

Hal pertama yang perlu diwaspadai adalah kesalahan konsep teologis yang fatal dalam tradisi ini. Di balik suasana meriah yang selalu dihadirkan oleh Sinterklas, kisah yang meliputi figur ini sangat berbahaya secara teologis. Dia digambarkan sebagai figur yang mirip dengan Allah. Dia mahatahu, karena itu dia bisa mengenal perilaku setiap anak, kapanpun dan dimanapun mereka berada. Dia juga mahahadir. Jika tidak, bagaimana dia bisa meletakkan kado Natal di seluruh rumah pada malam Natal?

Kesalahan teologis lain yang serius adalah konsep retribusi. Sinterklas hanya akan memberikan kado kepada anak-anak yang tidak nakal. Dengan kata lain, kado tersebut bukanlah ungkapan sayang, melainkan apresiasi terhadap perbuatan anak-anak. Jika Sinterklas dipahami sebagai figur ilahi dan jika pemberiannya dipahami secara retributif, hal itu akan merusak pikiran anak-anak tentang anugerah. Pemberian Allah tidak selalu ditentukan oleh perbuatan baik manusia. Bahkan keselamatan justru diberikan secara cuma-cuma kepada manusia yang berdosa.

Secara filosofis, menggunakan figur fiktif untuk mengendalikan kenakalan anak juga tidak dapat dibenarkan. Sikap ini bertabrakan dengan Teori Kebenaran Koresponden. Artinya, sebuah kebenaran harus selaras dengan kenyataan, tidak peduli seberapa besar manfaat praktis dari kebenaran itu. Kebenaran seperti ini lebih berharga daripada ketidakbenaran yang mungkin bisa menghasilkan gaya hidup yang benar, seperti dalam kasus Sinterklas.

Mempertimbang semua penjelasan ini, apakah semua ornamen Natal yang berhubungan dengan Sinterklas perlu dibuang dalam perayaan Natal kita? Belum tentu juga. Cara kita memahami, memaknai, dan menggunakan Sinterklas sangat berbeda dengan cara orang-orang Barat memperlakukan figur fiktif ini. Bagi kita, Sinterklas hanyalah sekadar ornamen Natal. Kehadirannya dapat disamakan dengan pohon Natal beserta dengan semua hiasan di atasnya. Hanya sebuah simbol tanpa makna. Tidak adil apabila orang-orang Kristen di budaya Timur yang mengenakan pakaian atau atribut Sinterklas dihakimi berdasarkan pemahaman Barat.

Bagaimanapun juga, Etika Kristen bukan hanya masalah benar-salah, tetapi membangun atau menyandung orang lain. Jikalau ornamen-ornamen Sinterklas membuat orang lain tersandung, untuk apa kita memaksakan diri menggunakannya? Toh manfaatnya juga tidak besar.

Jadi, dalam kasus ini kita tidak boleh terlalu dogmatis. Biarlah mereka yang menolak ornamen Sinterklas tidak menolak saudara-saudara mereka yang mengenakannya. Biarlah yang mengenakannya tidak menganggap saudara-saudara mereka sebagai orang yang aneh. Ini bukan persoalan esensial yang layak untuk diperdebatkan dan dipertentangkan secara kasar. Pada akhirnya, hendaklah setiap pihak sama-sama bersikap kritis terhadap konsep-konsep teologis yang melenceng dalam tradisi ini. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community