Belum lama ini banyak orang dikagetkan dengan pernikahan presiden Prancis terpilih, Emmanuel Macron. Ia menikahi Brigitte Marie-Claude yang berusia 24 tahun lebih tua dari dirinya. Pro dan kontra pun bermunculan.
Di luar kasus di atas, saya sendiri sering mendapati sebagian orang Kristen bergumul dengan persoalan ini. Mereka ingin mendapatkan petunjuk Alkitab yang jelas. Apakah dibenarkan apabila seorang laki-laki menikahi perempuan yang lebih tua?
Sebagian orang Kristen memberikan jawaban tegas: tidak boleh! Beragam alasan pun diajukan sebagai dukungan. Untuk memudahkan, semua alasan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian: biologis, sosial, dan theologis.
Dari sisi biologis, perempuan diyakini lebih cepat nampak tua daripada laki-laki. Usia yang lebih tua hanya akan memperburuk keadaan ini. Di samping itu, ada dugaan populer bahwa hasrat seksual perempuan menurun secara drastis sesudah memasuki masa menopause, sedangkan hasrat laki-laki tetap menggebu sampai usia yang lebih panjang.
Sanggahan lain adalah dari pertimbangan secara sosial. Menikahi perempuan yang lebih tua dianggap tidak lazim, bahkan dipandang tabu, di hampir semua budaya yang masih menganut nilai-nilai tradisional. Tentunya bukan tanpa alasan apabila banyak orang berpikiran demikian. Lagipula, isteri yang lebih tua seringkali lebih mendominasi suaminya. Ini tidak sesuai dengan prinsip Alkitab tentang suami sebagai kepala.
Argumen secara theologis juga tidak luput dari sorotan. Yang paling sering digunakan sebagai senjata pamungkas adalah kisah penciptaan. Adam diciptakan lebih dahulu daripada Hawa, karena itu seorang isteri seharusnya lebih muda daripada suaminya. Menikahi perempuan yang lebih tua merupakan pelanggaran terhadap doktrin penciptaan.
Secara sekilas deretan pemikiran di atas terlihat sangat mengesankan. Sulit untuk mengatakan sebaliknya. Walaupun demikian, kajian yang lebih mendalam menyediakan sebuah pandangan yang mungkin berbeda. Saya akan memulai dari perspektif theologis terlebih dahulu. Ini adalah pondasi bagi yang lainnya.
Pembacaan Alkitab yang seksama menunjukkan bahwa tidak ada larangan untuk menikahi perempuan yang lebih tua. Perbedaan waktu penciptaan antara Adam dan Hawa tidak boleh dijadikan patokan dalam segala sesuatu. Kita perlu berhati-hati untuk membedakan aspek diskriptif (sekadar menggambarkan) dan preskriptif (mengikat) dari kisah penciptaan.
Dalam hal ini bukan berarti perbedaan waktu penciptaan Adam dan Hawa tidak penting. Perbedaan ini mengandung nilai penting tertentu. Paulus sendiri pernah menyinggung dan menggunakan perbedaan ini sebagai bagian dari argumennya. Pada saat menandaskan posisi suami sebagai kepala isteri, ia menunjukkan bahwa Hawa diciptakan dari dan untuk Adam (1 Korintus 11:7-9). Ini jelas mengasumsikan perbedaan waktu penciptaan. Lebih eksplisit lagi adalah pandangan Paulus tentang posisi perempuan dalam gereja. Dia melarang para perempuan untuk mengajar maupun memerintah atas laki-laki “karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa” (1 Timotius 2:13).
Persoalannya, Alkitab tidak memberikan petunjuk lain tentang nilai penting dari perbedaan waktu penciptaan Adam dan Hawa. Di tengah ketidakjelasan ini, kita seyogyanya tidak terlalu dogmatis (meyakini sesuatu yang belum tentu memiliki dasar Alkitabiah yang benar dan kuat). Bersikap terlalu dogmatis dalam kasus-kasus seperti ini akan membuat kita menuntut lebih banyak daripada yang digariskan oleh Alkitab. Dengan demikian kita justru menabrak nasihat Paulus: “Jangan melampaui yang ada tertulis” (1 Korintus 4:6b).
Sebagai contoh, jika seseorang menuntut suami harus lebih tua daripada isteri berdasarkan kisah penciptaan, orang itu tampaknya juga harus menentang perkawinan kembali dengan alasan apapun, sebab Adam hanya memiliki satu isteri selama hidupnya. Ini tentu saja akan bertabrakan dengan ajaran Paulus yang memperbolehkan perkawinan kembali jikalau salah satu pasangan meninggal dunia (1 Korintus 7:39). Orang itu juga harus menentang praktik pacaran, karena Adam tidak pernah berpacaran dengan Hawa. Allah langsung memberikan Hawa di hadapan Adam (Kejadian 2:23). Demi konsistensi, orang itu sebaiknya juga melarang laki-laki mana pun untuk menikahi perempuan yang bukan diciptakan secara langsung dari tulang rusuk dan daging laki-laki itu (Kejadian 2:23). Pemikiran ini tentu saja masih bisa diteruskan tanpa batas, misalnya pernikahan harus diawali dengan pertemuan sesudah laki-laki tertidur pulas (Kejadian 2:21-22) atau pertemuan itu harus terjadi di Taman Eden atau, minimal, di sebuah taman. Intinya, apa yang tidak terlalu jelas janganlah dipaksakan.
Marilah kita lihat persoalan di atas dari sisi yang agak berbeda. Seandainya kisah penciptaan memang mengharuskan seorang suami berusia lebih tua daripada isterinya, berapa jarak usia yang harus ditentukan berdasarkan kisah penciptaan? Jikalau seseorang memahami istilah “hari” di Kejadian 1-2 sebagai “24 jam”, maka seorang laki-laki hanya boleh lebih tua beberapa jam saja dari isterinya. Jika perbedaan usianya melebihi sehari, hal itu tidak Alkitabiah. Bukankah penafsiran semacam ini hanya akan menghasilkan kekacauan belaka?
Jikalau seseorang meyakini istilah “hari” sebagai durasi tertentu (zaman atau periode), ia tetap tidak bisa menentukan panjang dari durasi itu. Kata “hari” dalam arti “periode tertentu” dalam Alkitab bisa mencakup waktu setahun, belasan tahun, bahkan puluhan tahun. Mereka yang menuntut seorang suami harus berusia lebih tua daripada isterinya sebaiknya secara serius memastikan jarak usia Adam dan Hawa. Jikalau waktu penciptaan Adam dan Hawa dipandang sangat penting dan mengikat, bukankah seharusnya jarak usia keduanya juga sangat penting dan mengikat?
Alkitab bukan hanya tidak mengharuskan suami lebih tua daripada isterinya. Alkitab bahkan memberi petunjuk tersirat bahwa dalam kasus-kasus tertentu suami boleh lebih muda daripada isterinya. Poin ini didasarkan pada peraturan Alkitab tentang pernikahan levirat (Ulangan 25:5). Menurut hukum levirat, apabila seorang suami meninggal dunia tanpa memiliki keturunan, maka adik laki-lakinya diwajibkan menikahi isteri kakaknya itu. Ada kemungkinan, adik ipar ini lebih muda daripada janda itu.
Dugaan ini tidak berlebihan. Ada satu kisah Alkitab yang mendukung. Kisah ini bahkan sudah terjadi sebelum hukum levirat secara resmi diperintahkan melalui Musa (Kejadian 38). Yehuda memiliki tiga anak laki-laki: Er, Onan, dan Syela. Tidak lama sesudah menikahi Tamar, Er meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Sesuai peraturan waktu itu, Onan menggantikan posisi kakaknya. Ternyata Onan hanya mau menikmati tubuh Tamar tetapi tidak mau melanjutkan keturunan kakaknya, sehingga ia dibunuh oleh TUHAN. Sesudah peristiwa ini Yehuda menunda memberikan Syela kepada Tamar dengan alasan bahwa Syela masih terlalu muda (ayat 11). Yehuda hanya menunda, bukan melarang atau memandang pernikahan levirat sebagai praktik yang salah. Dia hanya kuatir Syela akan mengalami nasib yang sama dengan Er dan Onan. Sesudah Syela dewasa, Yehuda tidak kunjung menepati janjinya kepada Tamar. Tamar lantas menyamar sebagai pelacur dan memperdayai Yehuda demi mendapatkan keturunan bagi Er, suaminya yang pertama. Menariknya, pada waktu penyamaran ini terbongkar, Yehuda justru menyadari bahwa dirinya yang bersalah karena tidak memberikan Syela kepada Tamar (ayat 26).
Tuhan Yesus pernah diperhadapkan pada persoalan pernikahan levirat. Orang-orang Saduki yang tidak mempercayai kebangkitan orang mati mencoba menjebak Dia melalui pertanyaan hipotetikal (pengandaian) tentang tujuh saudara yang mati secara bergantian dalam sebuah pernikahan levirat (Matius 22:23-33). Jika pengandaian ini sungguh-sungguh terjadi, kemungkinan besar salah satu atau beberapa adik laki-laki itu berusia lebih muda daripada isteri kakaknya. Anggap saja perbedaan usia suami dan isteri adalah 10 tahun (bandingkan Kejadian 17:17) dan perbedaan usia setiap saudara laki-laki adalah 2 tahun, maka anak laki-laki ke-6 dan ke-7 berusia lebih muda daripada janda tersebut. Tuhan Yesus ternyata tidak mempersoalkan pernikahan levirat maupun perbedaan usia seperti itu. Dia justru menegur kesalahan orang-orang Saduki yang tidak memahami kitab suci maupun kuasa Allah (ayat 29).
Semua penjelasan di atas bukan dimaksudkan sebagai dukungan bahwa menikahi perempuan yang lebih tua adalah lebih Alkitabiah. Sama sekali tidak! Yang tertulis di atas adalah kasus-kasus khusus. Tidak ada alasan untuk menerapkan itu pada semua keadaan. Pemaparan di atas hanya bermanfaat untuk membawa sebuah pesan: jangan terlalu dogmatis untuk hal-hal yang tidak terlalu jelas diajarkan dalam Alkitab. Jangan melampaui apa yang tertulis.
Apabila Alkitab tidak menyediakan petunjuk eksplisit tentang suatu perkara, kita seyogyanya menggunakan akal budi Kristiani untuk mempertimbangkan semua faktor yang terkait. Melalui pembaruan akal budi yang terus-menerus dan dikerjakan oleh Roh Kudus kita dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna (Roma 12:2)