Bagian ini masih berkaitan erat dengan bagian sebelumnya. Kata Yunani di balik “kewajiban agamamu” di 6:1 adalah sama persis dengan “hidup keagamaanmu” di 5:20, yaitu dikaiosynē. Jadi, pasal 5:17-48 dan 6:1-18 sama-sama berbicara tentang kebenaran.
Walaupun sama-sama menyoroti kebenaran, tetapi penekanannya agak berbeda. Pada bagian sebelumnya Tuhan Yesus lebih melihat kebenaran dari sisi moral (jangan berzinah, jangan bersumpah, jangan memusuhi orang lain, dsb), sedangkan di bagian ini Ia lebih ke arah ritual (memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa). Perbedaan inilah yang mendorong penerjemah LAI:TB untuk memilih “hidup keagamaan” di 5:20 dan “kewajiban agama” di 6:1.
Keterkaitan antara dua macam kebenaran tersebut perlu untuk digarisbawahi. Sebagian orang Kristen cenderung hanya mementingkan salah satu. Ada yang terlihat begitu saleh di gereja tetapi menjadi batu sandungan di keluarga, sekolah, maupun tempat kerja. Ada pula yang berperilaku baik, namun tidak bergairah terhadap hal-hal gerejawi. Orang-orang Kristen yang benar pasti menjaga keseimbangan antara kebenaran moral dan ritual. Dengan kata lain, kebenaran (dikaiosynē) seharusnya menjadi sebuah gaya hidup. Di manapun dan kapanpun, kita akan hidup secara konsisten, yaitu di dalam kebenaran.
Bersedekah yang keliru (ayat 1-2)
Pemberian sedekah merupakan salah satu kewajiban agama yang sudah mengakar dalam masyarakat Yahudi. Semua orang yang tidak tergolong “miskin” memberikan sedekah. Itulah sebabnya, 6:1-4 tidak membahas tentang “Apakah sedekah perlu diberikan?,” melainkan “Bagaimana memberi sedekah yang baik?”
Ketaatan terhadap hal ini bukan hanya bersentuhan dengan aspek relijius, melainkan juga aspek moral dan sosial. Pemberi sedekah tergolong orang yang taat dalam beribadah (relijius) dan baik hati (moral). Apa yang dilakukan oleh mereka sangat bermanfaat bagi orang-orang miskin (sosial).
Dalam konteks masyarakat Yahudi yang sudah tidak asing lagi dengan kemiskinan (bdk. Yoh 12:8a “karena orang-orang miskin selalu ada padamu”), nilai penting sedekah tidak dapat diremehkan. Pemberi sedekah ibarat penyambung kehidupan bagi orang-orang miskin. Di tengah situasi semacam ini, dua macam bahaya bisa muncul. Dari pihak penerima sedekah, mereka bisa saja tergoda untuk menggantungkan hidup pada pemberi sedekah (menghargai mereka secara berlebihan). Dari pihak pemberi sedekah, mereka sangat mudah tergoda pada kesombongan (menunjukkan diri sebagai orang yang baik hati dan merasa dibutuhkan). Hal inilah yang diantisipasi dan dikiritisi di 6:1-2.
Tuhan Yesus melarang para pengikutnya untuk memamerkan sedekah di depan umum (ayat 1). Larangan ini tampaknya merupakan kritikan terhadap orang-orang munafik pada waktu itu (orang-orang Farisi dan ahli Taurat). Dalam gambaran yang sangat dramatis (entah bersifat hurufiah atau figuratif), Tuhan Yesus melarang kita untuk “mencanangkan” sedekah (ayat 2, salpisēs). Menurut kamus, “mencanangkan” berarti membunyikan canang (gong kecil) sebagai tanda ada pengumuman, pernyataan, atau pertunjukan di depan publik. Berbagai versi Alkitab Inggris menerjemahkan: “membunyikan terompet.” Kata kerja salpizō di Alkitab memang berarti “meniup terompet/sangkakala” (1 Kor 15:52; Why 8:6, 7, 8, 10, 12, 13; 9:1, 13; 10:7; 11:15). Perbedaan terjemahan antara LAI:TB dan versi Inggris didorong oleh perbedaan budaya. Pada zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia, pengumuman atau pertunjukan publik biasa didahului dengan pemukulan gong, bukan peniupan terompet.
Yang dipersoalkan oleh Tuhan Yesus di 6:1-2 bukanlah tempatnya. Beberapa tindakan sedekah memang tidak terelakkan harus dilakukan di depan publik. Inti persoalan bukan tempat, melainkan hati. Motivasi orang. Itulah yang sedang disorot di sini. Kata “supaya dilihat mereka” (ayat 1) maupun “supaya mereka dipuji orang” (ayat 2) menyiratkan bahwa pokok masalah berada di sana. Untuk memenuhi motivasi buruk ini, sebagian orang sengaja memperlihatkan kebaikan mereka. Dalam budaya Yahudi, tidak ada tempat lain yang paling cocok untuk maksud terselubung ini daripada rumah-rumah ibadat (synagōge) dan lorong-lorong (rhymē, lit. “jalan-jalan sempit”). Memberikan sedekah di dua tempat ini pasti dilihat oleh banyak orang. Synagoge adalah tempat ibadah dan pusat kehidupan sosial bangsa Yahudi. Lorong-lorong selalu dipenuhi oleh para pengemis, pedagang, dan pejalan kaki. Dua tempat ini ibarat panggung yang megah bagi para pencari reputasi.
Pemberian sedekah yang didorong oleh motivasi yang keliru layak dikategorikan sebagai kemunafikan (ayat 2). Mereka yang melakukannya adalah orang-orang munafik (hoi hypokritoi). Kata Yunani hypokritēs seringkali juga digunakan untuk para aktor theater Yunani yang selalu menggunaan topeng di panggung. Peran yang dimainkan seringkali berbeda dengan kepribadian asli mereka. Dalam konteks seni drama kuno, hal itu jelas bisa diterima, bahkan dipuji. Semua orang tidak akan tertipu dengan permainan mereka. Situasi sangat berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Ada upaya untuk mengelabui mata orang. Mereka terlihat seolah-olah sangat memperhatikan nasib orang-orang miskin, padahal yang diperhatikan adalah diri mereka sendiri. Mereka mencoba mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Tujuan utama bukan menolong orang-orang miskin, melainkan menolong diri sendiri supaya terlihat saleh. Mereka mendambakan pujian dari banyak orang (Yoh 5:44; 12:43).
Jika mereka menginginkan pujian dari manusia, hanya sebatas itulah yang akan mereka terima. Kata “sudah mendapat” (ayat 2, apechousin) merupakan istilah teknis dalam perdagangan untuk bukti pelunasan pembayaran. Tidak ada lagi uang atau harta yang perlu dibayarkan. Lunas dalam arti yang sesungguhnya. Allah tidak akan memberi apapun kepada mereka, sebab semuanya sudah lunas terbayar.
Bersedekah yang benar (ayat 3-4)
Sebagai kontras terhadap apa yang dilakukan oleh para ahli Taurat dan golongan Farisi yang munafik, Tuhan Yesus mengajarkan dua hal penting. Yang pertama, pemberian bukan untuk mencari pujian dari orang lain. Sedekah harus dilakukan secara tersembunyi. Kita tidak usah memperlihatkan kepada orang lain.
Sekilas perintah ini sedikit membingungkan. Bukankah sebelumnya kita diperintahkan untuk “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (5:16)? Mengapa sekarang justru dilarang?
Pembacaan yang teliti akan menunjukkan bahwa 5:16 dan 6:1-4 tidak bertentangan sama sekali. Motivasi di balik 5:16 adalah kemuliaan Bapa (“dan memuliakan Bapa yang di sorga”), sedangkan di 6:1-4 adalah pujian untuk diri sendiri. Di samping itu konteks 5:16 adalah penganiayaan di dunia yang hambar dan gelap (5:10-15), di mana orang-orang Kristen seringkali tergoda untuk menutupi identitas dan takut menderita bagi kebenaran. Konteks 6:1-4 bukan penganiayaan. Godaan yang ada bukan ketakutan, melainkan pujian dari orang lain. Intinya, kita perlu menyembunyikan apa yang natur berdosa kita hendak publikasikan, dan publikasikan apa yang natur berdosa kita hendak sembunyikan.
Yang kedua, pemberian bukan untuk mencari kepuasan diri. Di ayat 3 Tuhan Yesus tidak hanya memperingatkan agar jangan ada orang lain yang tahu, melainkan juga agar jangan tangan kiri kita mengetahui apa yang diperbuat oleh tangan kanan kita. Kali ini bukan respons orang lain yang Ia sedang pikirkan, melainkan respons dari diri kita sendiri. Seorang yang memuji dirinya sendiri sama bersalahnya dengan orang yang menginginkan pujian dari orang lain. Kita mungkin tidak mau orang lain melihat perbuatan baik kita, tetapi jika kita merasa diri benar dan saleh dalam melakukan hal itu, kita tetap dianggap bersalah. Apabila kita merasa senang pada saat kebaikan kita yang tersembunyi diketahui oleh orang lain, kita pada dasarnya sudah melakukan kesalahan yang sama.
Jika kita melakukan semua kebaikan secara tulus (hanya untuk kepentingan orang lain dan kemuliaan Allah), hal itu justru memberi upah kepada kita. Bapa di sorga mengawasi setiap tindakan kita, bahkan yang dilakukan di tempat tersembunyi sekalipun. Dalam kedaulatan-Nya Ia memberikan respons setimpal terhadap tindakan kita.
Ini adalah sebuah paradoks ilahi. Orang yang menginginkan sesuatu dari perbuatan baiknya justru tidak akan mendapat apa-apa. Sebaliknya, orang yang tidak mengharapkan apa-apa dari kebaikannya justru akan mendapat pahala.
Kita tidak boleh melakukan kebaikan kepada orang lain dengan harapan akan mendapat kebaikan dari Allah. Itu bukan perbuatan yang sungguh-sungguh baik, melainkan egoisme yang terselubung. Itu adalah keagamaan yang manipulatif. Kita memperalat orang lain dan Allah demi kepentingan diri sendiri. Teologi Kemakmuran adalah contoh paling gamblang dari kesalahan ini.
Di pihak lain, kita juga tidak boleh anti terhadap berkat. Allah memang seringkali memberikan berkat atas perbuatan baik kita, tanpa bermaksud menjadikan berkat itu sebagai mtoivasi atau tujuan. Itu hanyalah sebuah pola rohani umum yang diajarkan di dalam Alkitab.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita perlu menjaga hati kita dengan baik. Sebisa mungkin, setiap pemberian tidak usah diketahui oleh orang lain. Gunakanlah inisial tertentu (tidak terlalu mudah tertebak dan juga tidak terlalu umum) pada saat memberikan persembahan. Jika identitas kita terpaksa diketahui oleh orang lain, berdoalah agar hati kita tetap terjaga dari kesombongan. Bagi kita yang jarang berkorban secara materi atau memberi terlalu sedikit, marilah kita tingkatkan pemberian kita, baik secara kualitas maupun kuantitas. Soli Deo Gloria.