Dalam edisi yang lalu kita sudah belajar bahwa peristiwa penyucian bait Allah oleh Tuhan Yesus tidak dapat dijadikan pembenaran untuk tindakan kita yang kasar terhadap orang lain. Tindakan Yesus bersifat simbolis dan dalam kapasitas-Nya sebagai mesias yang akan datang untuk merestorasi ibadah umat Allah. Edisi kali ini akan menyoroti ucapan-ucapan Yesus yang terkesan kasar, terutama kepada orang-orang Farisi.
Apakah ucapan semacam ‘keturunan ular beludak’ merupakan kata-kata kasar (umpatan)? Pengetahuan Alkitab yang seksama dan pemahaman tentang situasi sosial abad ke-1 di Palestina akan menolong kita untuk melihat bahwa catatan-catatan Alkitab seperti itu tidak sekasar yang kita selama ini pikirkan.
Saah satu teks yang mungkin dapat menyediakan pencerahan terhadap hal ini adalah ucapan Tuhan Yesus kepada perempuan Kanaan (Mat 15:21-28). Pemakaian ungkapan ‘anjing’ di sini jelas bukanlah sebuah umpatan. Yesus tidak sedang memarahi perempuan ini. Kegigihannya bahkan pada akhirnya dipuji oleh Yesus sendiri. Konteks menunjukkan bahwa ‘anjing’ hanyalah sebuah ungkapan umum bagi orang Yahudi untuk menyebut orang-orang dari etnis lain (bdk. 15:24). Perikop sebelumnya pun membicarakan tentang kenajisan dan ketahiran (Mat 15:1-20).
Contoh di atas memang berbeda dengan teks-teks lain yang memuat seruan keras terhadap orang-orang Farisi (Mat 23). Bagaimanapun, semuanya tetap memiliki kesamaan, yaitu penggunaan nama binatang hanyalah metafora untuk mengomunikasikan ide tertentu, bukan sebuah umpatan tanpa arti yang merendahkan martabat manusia. Keturunan ular beludak menyiratkan kondisi internal orang-orang Farisi: secara hakekat (keturunan) mereka adalah licik dan jahat (ular beludak). Hal ini mirip dengan metafora serigala bagi nabi-nabi palsu (Mat 7:15).
Pendekatan sosial-ilmiah (social-scientific critism) yang berkembang pesat sejak tahun akhir 1980-an mampu mengungkapkan cara berpikir dan karakteristik sosial masyarakat Palestina (secara khusus) atau Mediteranian (secara umum). Mereka adalah tipikal masyarakat yang sangat ekstrovet dan apa adanya. Bagi mereka, keterusterangan adalah hal yang normal. Mengungkapkan ekspresi jiwa melalui kata-kata verbal yang eksplisit bukan ketidaksopanan.
Hal ini jelas agak berbeda dengan budaya kita. Masyarakat Indonesia terdiri dari beragam etnis dengan budaya mereka yang unik. Tidak semua suku mengedepankan keterusterangan dan pemakaian kata-kata verbal yang eksplisit. Apa yang dianggap ‘biasa’ atau ‘sopan’ di suatu suku belum tentu dipersepsi secara sama di suku lain. Kita perlu belajar untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain. Kebenaran memang harus diberitakan dengan jelas dan tegas, tetapi tidak boleh dengan sikap dan perkataan yang tidak sopan atau kasar. Teguran secara lemah-lembut adalah pilihan terbaik. Bahkan di dalam suratnya yang sarat dengan teguran keras, Paulus tetap mengajarkan agar teguran dan nasihat dibungkus dengan kelemah-lembutan (Gal 6:1). Walaupun ‘lemah-lembut’ tidak berarti ‘tanpa marah,’ tetapi pengunaan umpatan jelas tidak temasuk kategori lemah-lembut.