Oleh :
Denny Teguh Sutandio (mahasiswa STT-SAAT Malang)
Shakaiteki hikikomori (menarik diri secara sosial) merupakan salah satu budaya di Jepang di mana banyak orang Jepang mengasingkan diri dari orang-orang di luar. Budaya ini melanda mereka yang berusia 20-64 tahun. Jumlahnya (2019) mencapai 613.000 orang. Berbeda dengan 613.000 orang Jepang, kebanyakan orang Indonesia suka ngumpul bersama teman, tetapi ketemuannya kebanyakan diisi dengan main game bareng, mengecek media sosial (medsos), dll. Tentu tidak salah dengan game dan medsos, tetapi penyalahgunaannya yang salah, yaitu budaya anti sosial alias an-sos: lebih asyik di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Budaya ini menunjukkan budaya individualisme yang sedang marak dewasa ini. Di gereja, ada juga budaya ansos. Biasanya beberapa jemaat datang beribadah langsung duduk dan sebelum doa berkat, mereka langsung pulang. Benarkah sikap demikian? Alkitab di dalam Kejadian 2:18 berkata, “TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
PENDAHULUAN KITAB KEJADIAN 1 DAN 2
Sebelum masuk ke dalam ayat ini, mari kita memahaminya mulai dari Kejadian 1. Kejadian 1 merupakan gambaran besar Allah menciptakan alam semesta dan Kejadian 2 merupakan gambaran detail penciptaan tersebut. Di dalam Kejadian 1, berulang kali Allah menyebut ciptaan-Nya itu “baik” (ay. 4, 10, 12, 18, 21, 25) dan baru pada ayat 31, setelah menciptakan manusia, Ia berkata bahwa ciptaan-Nya “sungguh amat baik.” “Sungguh amat baik” ini dijelaskan secara lebih detail di Kejadian 2. Di Kejadian 2:7, Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup kepadanya, sehingga manusia menjadi makhluk yang hidup. Di ayat 15-17, Alkitab mencatat: Allah menempatkan Adam di Taman Eden dengan perintah untuk mengusahakan dan memelihara taman tersebut dan Ia berfirman kepadanya untuk makan semua buah dalam pohon di Eden, kecuali pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Setelah Allah berfirman kepada Adam demikian, maka di ayat 18, Allah berfirman: tidak baik manusia seorang diri saja.
1. Manusia Itu Terbatas
Kalau di Kejadian 1:4, 10, 12, 18, 21, 25 Allah mengatakan ciptaan-ciptaan-Nya sebelum manusia itu baik, maka di Kejadian 2:18 Allah berfirman “tidak baik.” Apakah ini berkontradiksi? Tentu tidak. Di Kejadian 2:18, ketika Ia berfirman tidak baik, maksudnya ciptaan-Nya ini tidak baik berkaitan dengan tugas yang telah Allah percayakan di ayat 15 di mana Allah berfirman kepada Adam untuk mengusahakan dan memelihara Taman Eden. Dengan kata lain, Adam dikatakan tidak baik kalau sendirian ini menunjukkan Adam tidak dapat sendirian memenuhi tujuan Allah baginya.
Setiap orang Kristen juga telah ditentukan Allah untuk memenuhi satu tujuan yang telah Ia siapkan. Setiap orang percaya yang telah ditebus Kristus adalah milik-Nya (Ef. 2:10), maka Ia berhak mengatur seluruh jalan hidup kita dan mengarahkannya kepada tujuan yang dikehendaki-Nya. Tujuan Allah bagi kita beraneka ragam, tetapi fokusnya hanya satu yaitu menjadi saksi Kristus (1Ptr. 2:9). Ada yang dipanggil Allah untuk menjadi saksi Kristus di dalam pelayanan gerejawi, pekerjaan, kuliah, sekolah, maupun masyarakat. Untuk melaksanakan tujuan Allah, Allah berkata bahwa tidak baik kita seorang diri saja. Artinya sejak awal, Allah sendiri yang menilai bahwa manusia tidak baik seorang diri (Victor P. Hamilton, The Book of Genesis 1-17, hlm. 175). Allah yang menilai, bukan Adam. Ini berarti Allah yang berinisiatif melihat kekurangan dalam diri manusia jika dia seorang diri menggenapkan tujuan Allah. Mengapa Allah berfirman manusia tidak baik seorang diri dalam memenuhi tujuan Allah? Karena Allah ingin kita sadar bahwa kita terbatas (John E. Hartley, Genesis, hlm. 61). Dunia di sekitar kita mengajar kita bahwa kita adalah manusia yang tak terbatas karena ada suatu kekuatan di dalam diri manusia yang tak terbatas yang lagi tidur yang harus dibangunkan. Alkitab dengan tegas mengatakan bahwa kita terbatas. Keterbatasan kita salah satunya ditunjukkan dengan pengakuan bahwa kita tidak tahu beberapa hal. Ketika kita tidak tahu sesuatu, beranikah kita berkata, “Saya tidak tahu tentang hal itu”? Dalam melaksanakan tujuan Allah, kita tidak tahu semua hal. Seorang pemusik mungkin hanya mengetahui cara main musik, tetapi kurang tahu cara memimpin ibadah.
2. Manusia yang Terbatas Perlu Penolong
Keterbatasan kita membuktikan bahwa kita memiliki kekurangan dalam diri kita dan kekurangan itu perlu diisi oleh sesama orang percaya untuk bersama-sama melaksanakan tujuan Allah. Oleh karena itu, di kalimat selanjutnya, Allah berfirman, “Aku akan menjadikan penolong baginya.” Kata “penolong” dalam bahasa Ibraninya ‘Ä“zer dan di PL, kata ini dipakai paling sering merujuk pada Allah (Mzm. 10:14; 28:7; 30:11; 33:20; 37:40; 46:6; 54:6; 70:6; 79:9; 86:17; 89:20; 109:26; 115:9-11; 118:7, 13; 119:86, 173, 175; 121:2; 124:8; 146:5; Yes. 41:10, 13-14, dll). Ketika kata ini dikaitkan pada Allah, maka kata ini berarti Allah melakukan bagi mereka apa yang tidak mungkin mereka lakukan untuk diri mereka sendiri. Ketika kata ini dikaitkan pada konteks Kejadian 2:18, maka orang yang menjadi penolong Adam menyediakan apa yang kurang pada Adam (John E. Hartley, Genesis, hlm. 61). Allah sendiri yang berfirman: Adam perlu orang lain untuk menjadi penolongnya dan Ia memberikan solusinya (Hamilton, The Book of Genesis 1-17, hlm. 175). Solusinya adalah Ia memberikan orang lain sebagai penolong Adam yang melengkapi kekurangan Adam dalam memenuhi tujuan Allah baginya.
Kita yang tidak mengetahui semua hal perlu sesama saudara seiman lain untuk melengkapi kekurangan kita di dalam menggenapkan tujuan Allah bagi kita. Mengakui bahwa kita tidak mengetahui semua hal perlu dibarengi dengan sikap mengakui bahwa kita perlu orang lain untuk menolong kita dalam menggenapkan tujuan Allah. Secara umum, mengakui bahwa kita perlu orang lain bukan hal mudah. Mengapa? Karena kita masih gengsi di mana kita merasa sudah banyak tahu dan kita tidak perlu orang lain. Secara khusus, di dalam menggenapkan tujuan Allah di satu bidang tertentu, Tuhan ingin kita memerlukan orang lain untuk melengkapi keterbatasan kita. Mengapa? Karena “Allah membuat manusia menemukan kedalaman makna hidup dengan hidup bersama dalam keluarga.” (John E. Hartley). Kata kunci: “hidup bersama” (togetherness). Artinya kita memerlukan orang lain untuk melengkapi kita bersama, sehingga kita dapat bersatu melayani Tuhan. Misalnya, liturgos perlu pemusik untuk mengiringi lagu yang dipimpinnya dan pemusik juga perlu liturgos untuk memimpin jemaat memuji Tuhan.
Mengapa kita perlu bersama? Charles Spurgeon mengingatkan kita, “Beberapa orang Kristen mencoba masuk sorga sendirian, dalam kesendirian. Tetapi orang percaya tidak dapat dibandingkan dengan beruang atau singa atau binatang lain yang berkeliaran sendirian. Mereka yang menjadi milik Kristus adalah domba dalam hal ini, yang mereka sukai untuk berkumpul. Domba masuk dalam kawanan domba, demikian juga umat Allah.” Spurgeon berkata bahwa kita perlu bersama karena kita adalah domba Allah. Alkitab mengajar kita bahwa orang percaya adalah domba-domba yang digembalakan Kristus (Mat. 10:16; 25:33; Yoh. 10:11; 1Ptr. 2:25). Ciri khas domba adalah gerombolan, bukan sendirian. Mereka justru suka bersama. Apakah kita juga suka bersama dgn saudara seiman lain?
3. Manusia yang Terbatas Perlu Penolong yang Sepadan Dengannya
Sebagai orang percaya, kebersamaan itu penting. Mengapa penting? Karena kebersamaan merupakan salah satu cara Allah untuk mendewasakan orang percaya. Oleh karena itu, Allah memberikan penolong kepada Adam “yang sepadan dengan dia.” Kata Ibraninya adalah kenegdô yang secara harfiah berarti “like opposite him” (Gordon J. Wenham, Genesis 1-15, hlm. 68). Kata ini berarti penolong yang Allah berikan kepada Adam adalah seseorang yang sangat berbeda dari Adam dan berkontribusi bagi hidup Adam (Hartley, Genesis, hlm. 61). Penolong yang sepadan itu berarti:
- Penolong yang Allah berikan kepada kita sama dalam jenis dan statusnya dgn kita.
Artinya penolong itu sama-sama manusia dgn kita dan statusnya sama dengan kita yaitu sama-sama anaka-anak Allah yang ditebus Kristus. Hal ini berarti tidak ada perbedaan status di antara anak-anak Allah. Meskipun hamba Tuhan memiliki peran dan tugas yang berbeda dengan jemaat, namun hamba Tuhan tidak lebih tinggi dari jemaat. Sesama hamba Tuhan pun statusnya sama. Oleh karena itu, jangan saling memandang rendah baik hamba Tuhan kepada majelis, majelis kepada jemaat, hamba Tuhan kepada jemaat.
- Penolong yang Allah berikan kepada kita berbeda dengan kita.
Meskipun statusnya sama, penolong yang Allah berikan kepada kita pasti berbeda dgn kita, entah itu berbeda dalam suku, latar belakang pendidikan, latar belakang keluarga, teologi, status sosial, status ekonomi, dan karakter. Mengapa di dalam kebersamaan dan pelayanan, penting adanya perbedaan? Karena melalui perbedaan, hati kita diuji apakah kita murni mengasihi Allah dan sesama saudara seiman atau tidak. Ketika kita tersinggung dengan perkataan saudara seiman kita yang berbeda karakter dengan kita, beranikah kita tetap mendoakannya ketika dia sakit?
- Penolong yang Allah berikan kepada kita berbeda dengan kita dan melengkapi kita.
Keperbedaan kita dengan saudara seiman dan sepelayanan mengasah kita bukan hanya untuk memahami mereka, tetapi juga menolong kita meminta mereka untuk berkontribusi di dalam pelayanan bersama demi menggenapkan tujuan Allah. Ini tugas yang sulit karena kita lebih cenderung meminta saudara seiman yang sama karakter dengan kita. Meskipun demikian, ini harus kita lakukan karena kebersamaan di dalam keluarga Kristen dan pelayanan berbicara tentang kesatuan, bukan keseragaman. Di dalam kesatuan, kita saling melengkapi (Pkh. 4:9-10).
Allah menetapkan tujuan bagi kita di dalam kerajaan-Nya dan Ia menghendaki kita untuk bersama-sama melayani-Nya bersama saudara seiman lain yang sama statusnya dengan kita, namun berbeda dengan kita untuk memperluas kerajaan-Nya sambil mendewasakan kita agar makin serupa Kristus.
Amin. Soli Deo Gloria.