Suatu hari ada seorang dosen teologi yang mengajarkan bahwa “beranakcuculah dan bertambah banyaklah” di ayat ini bukanlah perintah, melainkan nubuat yang akan terjadi setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Ia beranggapan bahwa seandainya manusia tidak jatuh ke dalam dosa, mereka tidak akan memiliki keturunan. Untuk mendukung pendapatnya, ia membandingkan ketelanjangan manusia sebelum (Kej 2:25) dan sesudah kejatuhan (3:7, 8, 10, 11). Sebelum kejatuhan ke dalam dosa manusia memang telanjang, tetapi mereka tidak merasa malu. Artinya, ketelanjangan mereka bersifat kudus, karena ditutupi oleh kemuliaan Allah.
Argumentasi lain yang dikemukakan berasal dari Kejadian 3:16. Dalam teks ini dijelaskan bahwa melahirkan anak dengan penuh kesakitan merupakan hukuman dosa bagi Hawa. Selain itu, birahi wanita kepada suaminya juga merupakan akibat dari dosa. Hukuman ini tampaknya menyiratkan bahwa kemampuan berhubungan seksual dan memiliki keturunan adalah akibat dari dosa.
Apakah pandangan di atas bisa diterima? Bagaimana kita seharusnya memahami frase “beranakcuculah dan bertambah banyaklah” di Kejadian 1:28? Apakah ini benar-benar sebuah perintah, nubuat, atau yang lainnya?
Kejadian 1:28
Ayat ini sebenarnya memang bukan sebuah perintah, namun ayat ini juga bukan sebuah nubuat. Ayat ini lebih tepat dipahami sebagai berkat, karena ayat ini dimulai dengan kata Ibrani wayebarek, yang berarti “Ia [Allah] memberkati” (band. Kej 1:22 “berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah...”). Berkat dalam bentuk keturunan yang banyak merupakan hal yang umum dalam kitab Kejadian. Allah berkali-kali berjanji kepada para patriakh bahwa mereka akan memiliki keturunan yang banyak, misalnya Nuh (9:1), Abraham (12:2; 15:5; 17:2), Ismael (17:20), Yakub (28:3; 35:11), Yusuf (49:25). Sebaliknya, kemandulan pada jaman dahulu dikaitkan dengan hukuman Allah (Kej 20:18; Kel 23:26; Ul 7:14; 28:18), walaupun kemandulan itu sendiri tidak selalu sebagai hukuman Allah, misalnya kemandulan Sara (11:30; 17:17; 18:11-12), Ribka (25:21), Rakhel (29:31). Dari data seperti ini sulit dipahami mengapa kemampuan beranakcucu di Kejadian 1:28 justru dikaitkan dengan hal yang negatif, yaitu kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Lebih jauh, Kejadian 2:18 mencatat bahwa Allah memandang kesendirian Adam sebagai sesuatu yang tidak baik. Ia selanjutnya menciptakan Hawa supaya mereka menjadi satu tubuh (2:24). Jelas, pemberian Hawa ini merupakan sesuatu yang baik (band. 1:31). Lebih jauh, istilah “satu tubuh” dalam masa Perjanjian Baru dipahami sebagai rujukan pada perkawinan (Mat 19:5; Mar 10:7-8; Ef 5:31) atau persetubuhan (1Kor 6:16). Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal Allah memang merencanakan agar Adam dan Hawa bersatu secara seksual dan melahirkan keturunan.
Kejadian 2:25 dan 3:7, 8, 10, 11
Apakah perubahan respon terhadap ketelanjangan mereka, dari tidak malu (2:25) menjadi malu (3:7), membuktikan bahwa dosalah yang membuat mereka tahu kalau mereka telanjang (3:7)? Apakah ini menjadi petunjuk bahwa seandainya manusia tidak berdosa, mereka tidak akan mendapatkan keturunan, karena mereka seperti dua anak kecil yang telanjang tetapi tidak merasa malu?
Sebelum membahas Kejadian 2:25 secara lebih mendalam, kita terlebih dahulu perlu mewaspadai kesalahan berlogika tentang ayat ini yang terlalu sempit dan subjektif. Apakah “tidak malu” di sini harus berarti tidak memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seks seperti sepasang anak kecil? Bukankah sepasang suami-istri juga tidak saling malu ketika mereka telanjang, tetapi bukan berarti mereka tidak memiliki hasrat seksual?
Untuk menjawab isu dalam bagian ini secara tuntas kita harus memahami arti kata “malu” (bosh) di 2:25. Dalam Pentateukh kata ini hanya muncul dua kali, yaitu di ayat ini dan Keluaran 32:1. Di Keluaran 32:1 kata ini berarti “tertunda”. Karena pemunculan bosh di Keluaran 32:1 tidak berkaitan dengan isu yang sedang kita bahas, kita perlu melihat pemunculan kata bosh di tempat lain. Di tempat lain, kata bosh seringkali menggambarkan keadaan yang hina dan rendah atau perasaan bersalah (Ay 6:20; Yes 42:17; Yer 14:3; 22:22; Yeh 16:22, 37, 39; 23:29; Hos 2:3; Amos 2:16; Mik 1:8). Berdasarkan hal ini, bosh di 2:25 tidak boleh dipahami sebagai perasaan malu seperti yang biasa kita bayangkan, tetapi lebih kepada perasaan malu yang berhubungan dengan keadaan seseorang yang rendah, hina atau bersalah. Dengan kata lain, bosh di sini lebih mengarah pada keadaan dipermalukan, bukan perasaan malu atau sungkan.
Makna di atas juga didukung oleh penggunaan kata “telanjang” di pasal 2 dan 3. Yang perlu kita ketahui adalah perbedaan kata Ibrani yang dipakai untuk kata “telanjang” di pasal 2 dan 3. Pasal 2:25 memakai kata ‘arom, sedangkan pasal 3 menggunakan kata ‘erom. Dua kata yang berarti telanjang ini merupakan kata yang sangat jarang muncul di Pentateukh. Kata ‘arom (dalam arti telanjang) hanya muncul di 2:25, sedangkan ‘erom hanya muncul di pasal 3 dan Ulangan 28:48. Dalam Ulangan 28:48 kata ‘erom juga dihubungkan dengan hukuman yang akan diberikan kepada bangsa Israel apabila mereka tidak menaati TUHAN (lihat ayat 47). Musa tentu saja memiliki alasan tertentu mengapa ia mengubah kata ‘arom di 2:25 menjadi ‘erom di 3:7, 8, 10, 11. Ia ingin membandingkan situasi manusia sebelum dan setelah kejatuhan. Akibat dosa bukan membuat manusia tahu bahwa mereka telanjang (‘arom), tetapi bahwa mereka telanjang (‘erom), dalam arti mereka berada di bawah hukuman Allah (Ul 28:48).
Pendapat di atas sesuai dengan 3:7 “maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu bahwa mereka telanjang”. Apakah sebelumnya mereka tidak tahu kalau mereka telanjang? Bukankah 2:25 menyiratkan ide bahwa mereka sudah tahu ketelanjangan mereka, tetapi mereka tidak malu? Jadi, ketelanjangan di pasal 3 merupakan sesuatu yang baru, berbeda dengan ketelanjangan di pasal 2, sesuai dengan perbedaan kata Ibrani yang dipakai.
Hal selanjutnya yang perlu didiskusikan adalah objek rasa malu di pasal 2 dan 3. Apakah manusia malu kepada sesamanya atau kepada Allah? Konteks pasal 2-3 dan Pentateukh secara keseluruhan tampaknya mendukung pandangan bahwa mereka malu kepada Allah. Artinya, mereka sadar kalau mereka telanjang di hadapan Allah (berada di bawah hukuman Allah).
Kejadian 3 menghubungkan ketelanjangan mereka dengan ketakutan terhadap Allah. Pasal 3:10 “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” Dari sini kita bisa melihat bahwa tindakan manusia untuk menutupi tubuh mereka dengan daun ara dan bersembunyi merupakan satu kesatuan. Dari siapa mereka bersembunyi? Bukan dari sesamanya, tetapi dari Allah. Dengan demikian, tindakan menutupi dengan daun ara juga berhubungan dengan Allah.
Hal itu semakin diperjelas dengan respon Allah selanjutnya di ayat 21. Ia mengganti penutup dari daun ara tersebut dengan pakaian dari kulit binatang. Dalam konteks Pentateukh secara keseluruhan, ide pengorbanan binatang untuk menutupi dosa ini selanjutnya menjadi semakin jelas dalam bentuk kurban bakaran penghapusan dosa. Dari hubungan ini kita bisa menarik konklusi bahwa pemberian pakaian dari kulit binatang menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah.
Penjelasan lain yang mendukung perasaan malu di pasal 2 dan 3 ditujukan kepada Allah adalah hubungan antara ibadah kepada Allah dengan ketelanjangan. Keluaran 20:22 melarang orang Israel menaiki tangga mezbah supaya aurat mereka tidak terlihat. Keluaran 28:42-43 juga menjelaskan detil pakaian (celana) para imam supaya mereka tidak melanggar kekudusan Allah. Dari data ini terlihat bahwa ketelanjangan merupakan situasi yang menghalangi perjumpamaan dengan Allah. Sebagaimana Adam dan Hawa berusaha menutupi ketelanjangan dengan daun ara dan menyembunyikan diri dari Allah, demikian pula bangsa Israel selanjutnya harus menghadap Allah dengan pakaian yang memadai supaya ketelanjangan mereka tidak terlihat.
Dari berbagai penjelasan di atas kita melihat bahwa rasa malu di Kejadian 2 maupun 3 merupakan perasaan malu manusia kepada Allah, bukan kepada sesamanya. Satu-satunya keberatan terhadap pendapat ini berasal dari tata bahasa Ibrani dari kata “tidak malu”. Berdasarkan kaidah bahasa Ibrani, stem Hitphael yang dipakai di sini biasanya menunjukkan tindakan yang resiprokal (saling satu sama lain). Karena itu, “tidak malu” di 2:25 lebih baik diterjemahkan “tidak [saling] malu [terhadap sesama mereka]”. Bagaimanapun, stem Hitphael tidak selalu mengandung arti resiprokal. Hanya konteks yang menjadi pedoman apakah suatu kata kerja dengan stem Hitphael memiliki arti resiprokal atau tidak. Sesuai dengan yang sudah kita bahas, konteks Kejadian 2 dan 3 tampaknya lebih mendorong kita pada kesimpulan bahwa malu di pasal 2 dan 3 menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah, bukan antara manusia dengan sesamanya.
Kejadian 3:16
Ayat ini menjelaskan salah satu hukuman dosa yang diderita Hawa, yaitu ia akan birahi kepada suami. Apakah ayat ini merupakan bukti bahwa dorongan seksual baru muncul setelah kejatuhan ke dalam dosa (dengan demikian mendukung pandangan bahwa Kejadian 1:28 merupakan sebuah nubuat)?
Ternyata, penyelidikan yang cermat terhadap arti kata Ibrani di balik terjemahan “birahi” atau “desire” (versi Inggris) membawa kita pada pengertian yang sama sekali berbeda. Kata Ibrani yang dipakai di situ adalah teshuqa. Kata ini hanya muncul tiga kali dalam Perjanjian Lama, yaitu di Kejadian 3:16, 4:7 dan Kidung Agung 7:10. Karena pemakaian yang sangat jarang inilah, para penafsir berbeda pendapat tentang arti kata teshuqa di Kejadian 3:16.
Hampir semua penerjemah kuno Alkitab, termasuk mereka yang menerjemahkan Septuaginta (LXX) pada abad ke-3 sampai ke-1 SM, menerjemahkan kata ini dengan “berpaling”. Philo, seorang penafsir Yahudi yang terkenal pada abad ke-1 M, juga memilih terjemahan ini. Selanjutnya, terjemahan ini juga diikuti oleh bapa-bapa gereja. Seandainya terjemahan ini diterima, maka hukuman Hawa adalah keberpalingan dari Allah kepada suaminya. Sebagai akibatnya, suaminya akan berkuasa atas dia.
Sebagian sarjana modern menolak terjemahan di atas. Mereka menganggap para penerjemah kuno, terutama penerjemah Septuaginta, telah salah menangkap kata Ibrani dalam bagian ini. Kata teshuqa di sini mungkin dianggap sebagai teshuba, sehingga diterjemahkan “berpaling”. Kesalahan ini selanjutnya diikuti oleh generasi-generasi sesudah mereka.
Mereka yang menolak arti “berpaling” memilih untuk memahami kata teshuqa di Kejadian 3:16 dalam terang Kejadian 4:7. Dalam Kejadian 4:7, teshuqa merujuk pada keinginan dosa untuk menguasai Kain (LAI:TB “ia sangat menggoda engkau”). Semua Alkitab versi Inggris menerjemahkan dengan “its desire is for you” (keinginannya adalah kepadamu”). Dari konteks pemakaian kata teshuqa di pasal 4:7 kita bisa menarik kesimpulan bahwa teshuqa di pasal 3:16 bukan merujuk pada keinginan secara seksual, melainkan keinginan wanita untuk menguasai pria. Dengan demikian, frase “engkau akan mengingini (bukan “birahi terhadap”) suamimu dan suamimu akan menguasai engkau” di Kejadian 3:16 menggambarkan perjuangan pria dan wanita untuk menguasai pasangannya masing-masing.
Arti di atas lebih sesuai dengan konteks Kejadian 2 dan 3. Sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa, hubungan antara pria dan wanita adalah hubungan kesejajaran. Mereka dirancang untuk menjadi pasangan yang sepadan (2:18). Mereka juga memiliki kesatuan yang begitu intim (2:23-24). Setelah dosa menguasai hidup manusia, mereka tidak lagi memiliki kesatuan intim dalam semangat kesejajaran. Mereka telah menjadi egois dan ingin menguasai seorang terhadap yang lain.
Dari semua pemaparan di atas kita melihat bahwa terjemahan apapun yang kita ambil, entah itu “berpaling” atau “mengingini [untuk menguasai]”, Kejadian 3:16 sama sekali tidak mengajarkan bahwa keinginan seksual baru muncul setelah kejatuhan ke dalam dosa. Dorongan seksual sudah ada sebelum kejatuhan ke dalam dosa, karena hal itu merupakan salah satu cara Allah untuk menggenapi rencana-Nya di Kejadian 2:28, yaitu supaya manusia memenuhi bumi dan memeliharanya.
Lalu darimana ide tentang keinginan seksual bisa begitu rupa mendominasi pemikiran sebagian besar orang Kristen modern? Ide ini bermula dari Pagnino, seorang biarawan Katholik yang menerjemahkan Alkitab Perjanjian Lama pada abad ke-16 M. Pagnino yang sangat dipengaruhi oleh ajaran para rabi Yahudi kemungkinan besar telah memasukkan ajaran tentang “Sepuluh Kutuk atas Hawa” di Talmud ke dalam terjemahan Alkitab yang dia buat. Sejak saat itu, hampir semua Alkitab versi Inggris mengikuti terjemahan ini, kecuali versi Wycliffe dan Douay yang didasarkan pada versi Latin Vulgata.