Belakangan ini, khususnya di kalangan Reformed, seorang pendeta Reformed terkenal di Indonesia mengajarkan bahwa Allah mengizinkan dosa. Konsep ini menyebar ke mana-mana khususnya di kalangan gereja-gereja Injili maupun Reformed seolah-olah konsep ini Reformed karena konsep ini diajarkan oleh pendeta Reformed di Indonesia. Bahkan ada pendeta Reformed lain berkata bahwa Allah menetapkan dosa itu konsep Hiper-Calvinisme. Benarkah Allah mengizinkan dosa merupakan konsep Reformed? Benarkah Allah menetapkan dosa adalah konsep Hiper-Calvinisme?
Konsep Teologi Reformed Historis: Allah Menetapkan Dosa
Teologi Reformed historis jelas mengajarkan bahwa Allah menetapkan segala sesuatu (bukan hanya tentang keselamatan). Pengakuan Iman Westminster III.1 yang mengatakan dengan jelas, “Allah, melalui keputusan kehendak-Nya sendiri yang paling bijaksana dan kudus, secara bebas dan secara tidak berubah, telah menetapkan segala sesuatu yang akan terjadi sejak kekekalan. Akan tetapi ketetapan Allah adalah sedemikian rupa sehingga Allah bukan pencipta dosa, dan juga tidak terjadi pelanggaran terhadap kehendak ciptaan-ciptaan-Nya; dan kemerdekaan atau kemungkinan dari penyebab-penyebab kedua tidak dihilangkan, tetapi sebaliknya, diteguhkan.” Dari sini, kita belajar bahwa Allah menetapkan segala sesuatu yang akan terjadi dan melaksanakan ketetapan-Nya itu baik secara langsung maupun tidak langsung. “Secara langsung” berarti Allah melaksakan ketetapan-Nya tanpa menggunakan perantara. Misalnya ketika Allah menetapkan hal-hal baik atau keselamatan bagi umat pilihan-Nya, Ia menetapkan secara aktif mulai dari pemilihan Allah, penentuan-Nya, pemanggilan-Nya, pembenaran-Nya, hingga pemuliaan-Nya bagi umat-Nya. Sedangkan “secara tidak langsung” berarti Allah melaksanakan ketetapan-Nya dengan menggunakan perantara, salah satunya tanggung jawab manusia.
Bagaimana dengan dosa? Seorang teolog Reformed dan salah satu pendiri Westminster Theological Seminary, J. Gresham Machen mengajarkan bahwa hal-hal yang akan terjadi di dalam Pengakuan Iman Westminster tadi juga termasuk tindakan berdosa dari manusia berdosa (https://faculty.wts.edu/posts/did-god-ordain-sin/). Oleh karena itu, Allah yang telah menetapkan segala sesuatu yang akan terjadi sejak kekekalan juga termasuk menetapkan dosa dan tindakan berdosa dari manusia berdosa. Namun menurut Pengakuan Iman Westminster di atas, Allah yang menetapkan atau memastikan dosa itu melaksanakan ketetapan-Nya tidak secara langsung alias menggunakan penyebab kedua yaitu tanggung jawab manusia. R. C. Sproul berkata bahwa Allah yang menetapkan dosa adalah “Allah memutuskan untuk mengizinkan kita berdosa” (Kaum Pilihan Allah, 22). Ini berarti ketika Allah mengizinkan dosa, Ia mengizinkannya secara aktif.
Konsep Allah yang menetapkan untuk mengizinkan dosa ini juga menyadarkan kita bahwa Allah tidak pernah menciptakan dosa atau mendorong manusia yang tidak berdosa menjadi berdosa. Manusia jatuh ke dalam dosa karena dosanya sendiri bukan disebabkan oleh Allah, namun fakta kejatuhannya telah ditetapkan untuk diizinkan Allah. Salah satu bapak teologi Reformed, John Calvin mengajarkan, “Dengan demikian, manusia jatuh sesuai dengan ketetapan Allah, tetapi ia jatuh karena kesalahannya sendiri” (Institutes of the Christian Religion, 3.23.8). R. C. Sproul menyimpulkan, “Fakta bahwa Allah memutuskan untuk mengizinkan kita berdosa tidak membebaskan kita dari tanggung jawab kita atas dosa” (Kaum Pilihan Allah, 22). Salah satu contoh, ketika anak-anak Eli berdosa dan tidak mendengarkan perkataan Eli, ayahnya, Alkitab mencatat, “TUHAN hendak mematikan mereka.” (1Sam. 2:25; bdk. Hak. 14:4). Anak-anak Eli berdosa bukan karena ia disuruh Allah, tetapi karena keinginan hatinya sendiri, tetapi tindakan mereka jelas telah ditetapkan Allah untuk satu tujuan-Nya. Di Roma 1, Allah juga menyerahkan para pendosa kepada dosa yang lebih buruk (ay. 24, 26, 28). Ini semua membuktikan Allah tidak menghalangi keinginan dosa para pendosa itu dan ini merupakan sarana penghakiman Allah bagi mereka (Scott Christensen, What About Free Will, 115-116).
Namun Allah yang menetapkan dosa bukan Allah yang menciptakan atau menikmati dosa dibuktikan dengan tiga konsep, yaitu:
Pertama, Allah yang menetapkan dosa juga berdaulat mutlak mengubah maksud jahat seseorang menjadi sesuatu yang baik. Misalnya ketika saudara-saudara Yusuf menjual Yusuf, Yusuf menghibur saudara-saudaranya agar tidak susah karena Allah lah yang menyuruhnya ke Mesir untuk memelihara kehidupan bangsa Israel melalui tindakan jahat saudara-saudara Yusuf yang menjual Yusuf ke Mesir (Kej. 45:5, 8). Kedua, Allah yang menetapkan dosa juga mengekang dosa melalui instrumen-instrumen, yaitu melalui hukum-hukum di masyarakat (Rm. 13:1-4) dengan menghukum para pelaku kejahatan. Dia juga mengekang dosa manusia melalui instrumen internal yaitu hati nurani (Rm. 2:14-15). Melalui hati nurani, manusia merasa bersalah dan malu ketika mereka berdosa. Yang terpenting instrumen internal yang Allah pergunakan untuk mengekang dosa adalah Injil Kristus (Christensen, What About Free Will, 116-117). Ketiga, Allah yang menetapkan dosa adalah Allah yang mengatur dan mengontrol hasil keputusan berdosa manusia sesuai dengan tujuan-Nya yang mulia (Mzm. 78:29; 106:15; Kis. 14:16; 17:30) (Louis Berkhof, Teologi Sistematika 1, 190-91). Keempat, Allah yang menetapkan dosa adalah Allah yang berinisiatif mengutus Tuhan Yesus mati menebus dosa umat-Nya. Ini membuktikan bahwa Allah yang menetapkan dosa bukanlah Allah yang mendorong manusia berdosa, tetapi memberikan solusi mutlak atas dosa.
Menjawab Tuduhan Bahwa Allah Mengizinkan Dosa Merupakan Konsep Teologi Reformed dan Allah Menetapkan Dosa Merupakan Konsep Teologi Hiper-Calvinisme
Konsep Allah menetapkan dosa menurut teologi Reformed di atas mengajarkan:
Pertama, Allah mengizinkan dosa (secara pasif) bukan merupakan konsep teologi Reformed. Seperti yang telah dijelaskan di atas, John Calvin, Pengakuan Iman Westminster, Charles Hodge, William G. T. Shedd, Louis Berkhof, Herman Bavinck, Wayne Grudem, R. C. Sproul, dan Scott Christensen dengan jelas mengajarkan bahwa Allah menetapkan dosa. Meskipun R. C. Sproul menggunakan kata “mengizinkan”, maksud beliau adalah Allah mengizinkan dosa secara aktif, bukan secara pasif. Allah mengizinkan dosa secara aktif berarti Allah mengontrol penuh dosa bahkan Ia berdaulat mengontrol dosa manusia dalam batasan-batasan-Nya dan menebus umat-Nya yang berdosa.
Kedua, Allah menetapkan dosa bukan merupakan konsep teologi Hiper-Calvinisme. Jika ada yang mengatakan bahwa Allah menetapkan dosa adalah konsep Hiper-Calvinisme, maka orang itu juga menyebut John Calvin, Pengakuan Iman Westminster, dan para teolog Reformed di atas sebagai penganut Hiper-Calvinisme. Bukankah suatu keanehan jika John Calvin disebut penganut Hiper-Calvinisme? Istilah Hiper-Calvinisme jelas muncul sekitar 3 abad setelah Calvin meninggal, sehingga tidak mungkin istilah itu dilekatkan kepada Calvin. Lagipula, istilah Hiper-Calvinisme tidak pernah merujuk pada teologi yang mengajarkan Allah menetapkan dosa. John Piper menjelaskan bahwa Hiper-Calvinisme menolak penginjilan yang mengajak semua orang untuk datang kepada Kristus karena mereka percaya bahwa penginjilan hanya ditujukan kepada orang-orang pilihan-Nya (https://www.desiringgod.org/interviews/what-is-hyper-calvinism).
Membuktikan Bahwa Allah Mengizinkan Dosa Merupakan Konsep Teologi Arminian
Selain membantah Allah mengizinkan dosa bukan konsep teologi Reformed, saya juga berpendapat bahwa Allah mengizinkan dosa jelas-jelas merupakan konsep teologi Arminian yang ditentang oleh Reformed. Roger E. Olson, teolog Arminian menjelaskan bahwa Jacobus Arminius menegaskan doktrin yang sangat kuat akan kedaulatan Allah. Bahkan Arminius mengajarkan bahwa Allah adalah penyebab segala sesuatu, termasuk kejahatan diizinkan Allah. Artinya, “Allah memiliki kemampuan untuk menghentikan apa pun agar tidak terjadi, tetapi untuk menjaga kebebasan manusia, Dia mengizinkan dosa dan kejahatan tanpa menyetujuinya” (Roger E. Olson, Arminian Theology, 120). Bagi Arminius, Allah mengizinkan dosa dan bukan menetapkannya karena Ia menjaga kebebasan manusia. Dengan kata lain, intinya tetap bukan pada kedaulatan Allah mutlak, tetapi kebebasan manusia. Hal ini berarti Allah mengizinkan dosa (secara pasif) merupakan konsep teologi Arminian dari pendirinya, Jacobus Arminius
Relevansi
Apakah Allah menetapkan dosa vs Allah mengizinkan dosa hanya sebatas perdebatan teologi yang tidak penting? Jelas tidak. Paling tidak kita belajar dua hal dari penjelasan teologis di atas, yaitu:
Pertama, kita tidak perlu takut akan kejahatan. Allah yang telah menetapkan untuk mengizinkan kejahatan orang-orang yang telah menyalibkan Kristus tanpa meniadakan tanggung jawab mereka (Kis. 2:23; 4:27-28) adalah Allah yang telah menetapkan umat-Nya untuk bersentuhan dengan kejahatan, sehingga kita tidak perlu takut akan kejahatan yang menimpa kita baik sebagai ujian dari Allah (1Ptr. 4:12) maupun pencobaan dari setan. Artinya ketika kita mengalami kejahatan, kita percaya bahwa Allah menetapkannya untuk mencapai tujuan-Nya yang pasti baik yang mungkin tidak kita ketahui.
Kedua, kita percaya bahwa Allah pasti mengalahkan kejahatan pada waktu-Nya dan kita diperintahkan untuk mengalahkan kejahatan. Allah bukan hanya menetapkan kejahatan, tetapi telah mengalahkan kejahatan itu di dalam salib Kristus dan kebangkitan-Nya. Oleh karena itu, ketika kejahatan menimpa kita, percayalah bahwa Allah telah mengalahkannya di dalam salib dan kebangkitan-Nya (Kol. 2:15) dan Ia pasti akan mengalahkannya kelak ketika Ia datang kedua kalinya untuk membinasakan semua kejahatan, sehingga tidak ada kejahatan sama sekali. Selain itu, kita juga diperintahkan Allah dengan kuasa kemenangan Kristus untuk mengalahkan dan mengusir setan, dosa, dan kejahatan (Rm. 12:9, 21; Yak. 4:7) (John Piper, Dosa-dosa Spektakuler, 55-56).
Photo by Towfiqu barbhuiya on Unsplash