Belas Kasihan Menang Atas Penghakiman (Yakobus 2:12-13)

Posted on 16/05/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/05/Belas-Kasihan-Menang-Atas-Penghakiman-Yakobus-2-12-13.jpg Belas Kasihan Menang Atas Penghakiman (Yakobus 2:12-13)

Tahukah kita bahwa kata “keadilan” sebenarnya menakutkan? Hal ini benar bukan hanya bagi para pelaku kejahatan. Keadilan memang menakutkan bagi semua orang jika tidak disertai dengan belas kasihan.

Itulah sebabnya dalam proses pengadilan sikap seorang terdakwa turut memengaruhi keputusan pengadilan. Misalnya, sebuah pelanggaran yang berat akan dijatuhi hukuman sedikit lebih ringan apabila terdakwa menunjukkan sikap kooperatif, penyesalan, atau sikap lain yang positif. Sikap ini memang tidak meniadakan hukuman, namun bisa menjadi faktor yang meringankan. Dari sini terlihat bahwa keadilan harus ada, tetapi keadilan bukanlah segala-galanya.

Teks hari ini akan mengajarkan kepada kita betapa pentingnya menilai atau menghakimi orang lain dengan penuh belas kasihan. Ada alasan yang sangat kuat mengapa kita perlu menyandingkan keadilan dan belas kasihan. Ada konsekuensi yang sangat berat apabila kita gagal melakukannya.

 

Perintah: mengarahkan pandangan pada penghakiman ilahi (ayat 12)

Terjemahan ayat 12 di LAI:TB bisa memberikan kesan bahwa ayat ini kurang berkaitan dengan bagian sebelumnya. Dalam teks Yunani sebenarnya ada kata keterangan “karena itu” (houtōs). Kata ini bahkan muncul dua kali (lit. “karena itu berbicaralah dan karena itu bertindaklah”).

Pemunculan houtōs menyiratkan bahwa Yakobus masih membicarakan tentang penghakiman yang memandang muka di ayat 1-11. Beberapa orang Yahudi Kristen di antara penerima surat ini mungkin dipercaya untuk menjalankan penghakiman atas perkara-perkara tertentu di rumah ibadat Yahudi (ayat 2 “perkumpulan” = synagogē). Dari sisi pengetahuan tentang Hukum Taurat atau perintah Allah, mereka bukan orang yang sembarangan. Sayangnya, mereka tidak menjalankan penghakiman dengan semestinya. Mereka berpihak kepada orang-orang kaya dan menekan orang-orang miskin.

Yakobus menasihati mereka untuk memerhatikan perkataan dan tindakan mereka. Mengapa dia perlu menyinggung tentang apa yang diucapkan (perkataan) dan apa yang dilakukan (tindakan)? Karena dua aspek inilah yang mereka tunjukkan pada saat memandang muka (2:2-3). Mereka menghina orang miskin dengan perkataan dan tindakan.

Kejahatan orang-orang ini tampaknya bukan hanya memandang muka. Mereka sangat mungkin juga merasa diri lebih saleh daripada orang-orang yang mereka sedang hakimi (2:9-11). Itulah sebabnya Yakobus perlu mengingatkan bahwa tindakan memandang muka membuktikan mereka melakukan sebuah pelanggaran (2:9), dan dengan demikian  melanggar seluruh perintah Allah (2:10-11). Mereka tidak lebih baik daripada orang lain yang sedang diusut perkaranya di pengadilan. Perbedaan hanya pada jenis kesalahan belaka.

Orang-orang seperti ini perlu mengarahkan pandangan pada penghakiman ilahi. Penghakiman Allah didasarkan pada hukum yang memerdekakan orang (ayat 12b). Hukum ini adalah hukum yang sempurna (1:25). Disebut sempurna dan memerdekakan karena dilandaskan pada kasih (2:5, 8).

Ketaatan kepada perintah-perintah Allah tidak lagi memberikan beban atau tekanan, melainkan kebebasan. Kesalehan bukan syarat keselamatan maupun perkenanan Allah. Kristus yang mulia sudah menjadi Tuhan (2:1) yang menjamin keselamatan kita dan perkenanan Allah atas hidup kita. Melalui Nama Kristus yang mulia kita sudah menjadi milik Allah (2:7). Kita adalah anak-anak Allah, Bapa segala terang dan kebaikan (1:17-18). Sebagai respons terhadap kasih Allah, kita mengasihi Dia dan mewujudkan kasih itu melalui ketaatan. Inilah ketaatan yang memerdekakan!

Dengan mengingat penghakiman Allah yang penuh dengan belas kasihan, kita juga dimampukan untuk menunjukkan penghakiman yang berbelaskasihan. Hal ini seharusnya tidak sukar untuk dilakukan. Kita hanya membagi apa yang kita sudah alami (bdk. Mat. 18:23-35). Lagipula, kita seharusnya mudah berbelaskasihan kepada mereka yang melakukan kesalahan karena kita sendiri juga penuh dengan kesalahan. Jika melakukan sebuah kesalahan sama dengan melanggar seluruh perintah (2:10), apakah kita masih pantas merasa diri lebih baik daripada mereka yang melakukan banyak pelanggaran? Tentu saja tidak. Kita sama-sama bersalah. Yang berbeda hanya jumlah dan jenisnya saja. Pada dasarnya semua orang menjadi pelanggar semua perintah. Jika kita menambahkan fakta bahwa “kita semua bersalah dalam banyak hal” (3:2a), kita benar-benar tidak memiliki ruang untuk merasa diri lebih benar daripada orang lain.

 

Konsekuensi jika tidak menunjukkan belas kasihan (ayat 13)

Ketika seseorang melupakan penghakiman ilahi yang penuh dengan belas kasihan, dia pasti terjebak pada kesombongan spiritual. Dia merasa diri lebih benar daripada orang lain. Merasa diri lebih benar bukan hanya salah, tetapi juga menimbulkan masalah. Dia menjadi pribadi yang tidak berbelaskasihan. Dia hanya menuntut keadilan ditegakkan atas orang lain. Tidak ada ruang untuk pengampunan dan pengertian.

Jika ini yang dilakukan, orang itu pasti akan menghadapi sebuah masalah besar: dia akan menerima penghakiman yang tidak berbelaskasihan (ayat 13a). Kegagalan untuk menunjukkan belas kasihan menunjukkan bahwa seseorang belum benar-benar mengenal Allah yang benar yang penuh dengan belas kasihan (Kel. 34:5-6; Ul. 4:31). Dia juga tidak menaati perintah Tuhan Yesus supaya kita menunjukkan belas kasihan kepada semua orang (Mat. 5:7; 6:14; 12:7; 18:29, 34; 25:45-46). Jika ini yang dilakukan oleh orang yang mengaku diri Kristen, bukankah kita patut memertanyakan kesejatian iman mereka? Jangan-jangan iman mereka adalah iman yang mati, karena tidak disertai dengan ketaatan. Iman seperti inilah yang nanti akan disorot oleh Yakobus di bagian selanjutnya (2:14-17).

Jadi, peringatan di ayat 13a tidak boleh ditafsirkan seolah-olah belas kasihan Allah ditentukan oleh belas kasihan manusia. Sama sekali tidak! Ayat 13a hanya menegaskan bahwa orang yang tidak berbelaskasihan berarti belum memiliki iman yang benar. Sikap merasa diri paling benar dan suka menyalahkan merupakan perlawanan terhadap nilai-nilai Injil. Bagaimana seseorang bisa melihat kasih karunia dalam Injil secara utuh apabila dia merasa diri sudah cukup baik? Keseriusan kasih karunia Allah hanya bisa dipahami dan dialami oleh mereka yang menyadari keseriusan dosa-dosa mereka.

Yakobus menutup peringatan di atas dengan kalimat “Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman” (ayat 13b). Terjemahan LAI:TB ini kurang begitu sempurna. Dalam teks Yunani tidak ada kata sambung apapun, sehingga bagian ini memang secara gramatikal tidak terhubung dengan ayat 13a walaupun secara konseptual hubungannya sangat kentara. Itulah sebabnya banyak penafsir menduga bahwa ayat 13b merupakan sebuah papatah kuno.

Terjemahan LAI:TB juga bisa mengaburkan penekanan di ayat 13b. Dalam teks Yunani kata “memang” bukan berbentuk futuris (kontra NIV juga). Hampir semua versi Inggris lain dengan tepat memahami ayat 13b sebagai sebuah fakta atau kebenaran yang berlaku secara umum. Tata bahasa seperti ini semakin menguatkan dugaan bahwa ayat 13b merupakan sebuah pepatah kuno. Penerima surat Yakobus mungkin sudah mengenal dan meyakini kebenaran dari pepatah ini.

Kebenaran dalam pepatah ini berasal dari sifat Allah sendiri. Walaupun Dia adalah Allah yang adil dan sekaligus berbelaskasihan, belas kasihan-Nya selalu diletakkan di depan. Poin ini tergambar dengan jelas pada saat Musa melihat kemuliaan TUHAN setelah bangsa Israel dihukum karena menyembah anak lembu emas. Ketika TUHAN lewat dengan segala kegemilangan-Nya, yang Dia serukan pertama adalah kebaikan-Nya (Kel. 34:6), baru sesudah itu keadilan-Nya (Kel. 34:7). Ketika Allah menjadi manusia, Kristus menunjukkan kemuliaan-Nya yang digambarkan dengan perkataan “penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh. 1:14). Dengan semua hal ini, tidak heran Allah tidak selalu membalas setimpal dengan kesalahan kita (Mzm. 103:10).

Puncak dari belas kasihan Allah adalah salib. Akibat dosa tetap harus ada yang menanggung. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan keadilan-Nya. Namun, yang menanggung adalah Anak-Nya sendiri. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan kasih dan kebaikan.

Pernahkah kita membayangkan seandainya Allah hanya bertindak seturut dengan keadilan-Nya saja? Apa yang akan terjadi apabila keadilan-Nya selalu mendominasi belas kasihan-Nya? Keadaan kita pasti menjadi jauh lebih buruk daripada sekarang.

Masihkah kita merasa diri benar dan menuntut Allah melaksanakan keadilan-Nya sepenuh-penuhnya? Sadarkah kita jika Allah mengabulkan doa itu, kita sendiri juga tidak akan luput dari hukuman-Nya? Biarlah melalui khotbah hari ini kita belajar untuk menyadari betapa seriusnya dosa kita dan betapa seriusnya kasih Allah yang mau menerima kita. Biarlah kita belajar membagi kasih itu kepada mereka yang bersalah kepada kita. Soli Deo Gloria.

Photo by Keira Burton from Pexels
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community