Pdt. Yakub Tri Handoko di dalam salah satu khotbahnya minggu lalu tanggal 14 Agustus 2022 menceritakan seorang bapak non-Kristen (sebut saja: X) yang membenci Kekristenan karena teman dari anak pak X (seorang Kristen) menunjuk patung sembahyang di rumah pak X dan berkata bahwa patung itu berhala dan harus dihancurkan. Sikap orang Kristen dalam memberitakan Injil jelas tidak dapat dibenarkan karena sikapnya yang memusuhi orang-orang non-Kristen. Di sisi lain, beberapa orang Kristen bahkan teolog berusaha mengompromikan iman Kristen dengan dalih “toleransi,” lalu finalitas Kristus tidak lagi diberitakan. Di tengah ketidakseimbangan ini, Paulus memberitakan Injil dengan menyinggung common ground (dasar bersama) yang dipercayai oleh orang-orang Atena sekaligus tetap memberitakan finalitas kebenaran.
Allah Sebagai Pencipta dan Pemelihara: Dasar Bersama dan Finalitas Kebenaran (ay. 26-27)
Paulus menjelaskan bahwa Allah bukan hanya menciptakan langit dan bumi, tetapi Ia menciptakan manusia dari Adam dan “menyerakkan” mereka ke seluruh bumi (ay. 26a). Hal ini mengingatkan kita pada penciptaan manusia dari Adam di Kejadian 1 dan 2, kemudian Allah menyerakkan manusia ke seluruh bumi melalui Menara Babel di Kejadian 11. Paulus mengajarkan bahwa Allah bukan hanya menciptakan semua manusia dari berbagai bangsa dan bahasa, tetapi juga tentang relasi manusia dengan Allah secara universal. Siapa pun manusia di dalam satu komunitas dapat berelasi dengan Allah. Filsafat Stoik juga mengajarkan bahwa manusia merupakan satu komunitas, namun Paulus mengajarkan bahwa manusia itu satu komunitas sekaligus terdiri dari berbagai bangsa dan bahasa (William J. Larkin, Acts).
Bahkan sebelum Ia menciptakan manusia, Paulus berkata di ayat 26b, “Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka,” Ini berarti Allah juga telah menetapkan kapan dan di mana manusia yang akan Ia ciptakan itu hidup dan tinggal (Barclay M. Newman dan Eugene A. Nida, A Handbook on the Acts of the Apostles, 341). Hal ini membuktikan Allah yang menciptakan dunia dan manusia juga memeliharanya. Menariknya konsep ini bertentangan dengan konsep filsafat Yunani. Filsafat Epikuros percaya bahwa dewa itu begitu jauh dari manusia dan tidak mempedulikan urusan manusia. Filsafat Stoa percaya adanya dewa tertinggi, tetapi meresap ke dalam dunia (panteisme), sehingga dunia ditentukan oleh takdir dan manusia harus menjalankan tugas mereka (tanpa berurusan dengan dewa) (John R. W. Stott, The Message of Acts, 280).
Lalu, apa tujuan Allah menciptakan dan memelihara dunia ini? Di ayat 27, Paulus menjelaskan, “Allah melakukan itu supaya mereka mencari Dia. Mudah-mudahan mereka bertemu dengan Dia pada waktu mereka mencari-cari-Nya. Tetapi sebenarnya Allah tidak jauh dari kita masing-masing.” (BIS) Filsafat Stoa akan menyetujui konsep Paulus karena penganut filsafat ini percaya bahwa prinsip keilahian dapat ditemukan di alam semesta dan kodrat manusia dan manusia harus berusaha untuk memahaminya semaksimal mungkin melalui penggunaan akal budi yang merupakan bagian dari keilahian tersebut (John B. Polhill, Acts, 374). Tampaknya tidak ada yang berbeda antara filsafat Stoa dan konsep Paulus, namun sebenarnya ada perbedaan yang signifikan. Paulus mengajarkan bahwa manusia dapat mencari Allah karena Allah terlebih dahulu bukan hanya menanamkan prinsip-Nya di dalam alam dan diri manusia, tetapi menciptakan dan memelihara dunia (termasuk manusia). Lagipula, di ayat selanjutnya (ay. 30), Paulus menegaskan bahwa meskipun manusia dapat mencari Allah, itu tidak dapat mereka lakukan dengan upaya mereka sendiri karena dosa telah mengakibatkan mereka justru menjauh dari Allah. Intinya, John Stott berkata bahwa bukan Allah yang jauh dari kita, tetapi kita yang menjauh dari-Nya (Stott, The Message of Acts, 286).
Sebagaimana Paulus mengutip filsafat Yunani sebagai dasar bersama bagi orang-orang Atena dan dasar bersama itu sebagai media menyampaikan Injil, kita pun seharusnya berusaha mencari dasar bersama dengan orang-orang non-Kristen yang kita injili sambil tetap memberitakan Injil. Mengapa? Karena dengan kita berusaha mencari dasar bersama, kita di titik pertama berusaha menghormati kepercayaan orang lain yang berbeda dengan kita, namun tetap memberitakan kepercayaan kita yang berbeda total dengan kepercayaan orang lain tersebut.
Allah Sebagai Sumber Kehidupan: Dasar Bersama dan Finalitas Kebenaran (ay. 28-29)
Selain itu, Paulus juga mengajarkan konsep Allah sebagai sumber kehidupan dengan cara yang berbeda dengan filsafat Yunani yang dipercayai oleh orang-orang Atena. Di ayat 28, ia berkata, “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.” “Di dalam Dia kita hidup ,kita bergerak, kita ada” merupakan pernyataan orang-orang Yunani kuno dengan konsep panteistik di mana Allah meresap ke dalam alam semesta. Paulus mengutip pernyataan ini dan menafsirkan ulang dengan kerangka konsep Allah sejati yaitu Allah yang memberikan kehidupan, sehingga manusia dapat hidup, bergerak, dan ada (ay. 25) (Polhill, Acts, 375).
Kemudian, Paulus juga mengutip syair dari penyair Stoa, Aratus dari Soli yang hidup pada paruh pertama abad ketiga BCE dan Aratus mungkin telah mengutip sebuah himne untuk dewa Zeus dari penyair Cleanthes, “kita adalah keturunan-Nya.” Namun tentu saja para penyair Yunani memaksudkan “Nya” di sini merujuk pada Zeus. Paulus mengutip syair ini dan menafsirkan ulang dengan kerangka konsep Allah sejati yang ia kenal di mana manusia adalah ciptaan Allah (Polhill, Acts, 375).
Di sini, Paulus ingin mengajak orang-orang Atena untuk memahami bahwa Allah yang tidak mereka kenal itu sebenarnya dikenal Paulus dan Allah itu adalah Allah yang sejati yang merupakan sumber segala kehidupan khususnya bagi orang-orang Atena yang tidak mengenal Allah sejati tersebut. Ini berarti meskipun mereka tidak atau belum mengenal Allah sejati, Allah sejati tetap memberikan kehidupan kepada mereka. Allah ini jelas melampaui konsep orang-orang Atena yang menganggap Allah itu “tunduk” kepada manusia.
Karena Allah adalah sumber segala kehidupan dan manusia adalah ciptaan-Nya, maka konsekuensi logisnya dijelaskan Paulus di ayat 29, “kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia.” Kalau di ayat 24-25, ia mengkritik kuil dan mezbah orang-orang Atena, maka di ayat ini, ia mengkritik penyembahan berhala di mana penyembahan berhala adalah penghinaan terhadap Allah. Mengapa? Berhala adalah gambar yang manusia buat sebagai sarana menyembah Allah. Padahal manusia sendiri adalah gambar Allah yang diciptakan-Nya untuk menyembah-Nya. Ketika manusia yang adalah gambar Allah yang seharusnya menyembah-Nya malahan menciptakan gambar lain yaitu berhala sebagai sarana untuk menyembah Allah, maka berhala itu merupakan penghinaan terhadap-Nya (Polhill, Acts, 376). Ini mirip seperti seorang pencipta robot menciptakan robot agar robot menaati si penciptanya, kemudian robot tersebut bukannya menaati perintah si pencipta robot, tetapi robot tersebut menciptakan robot lain yang mirip si pencipta robot dan menaati robot lain tersebut, maka tindakan si robot itu jelas menghina si pencipta robot karena si robot menganggap si penciptanya tidak layak ditaati.
Konsep Allah sejati yang Paulus beritakan bukan hanya melampaui konsep Allah yang tidak dikenal oleh orang-orang Atena, tetapi juga bertentangan dengan konsep orang-orang Atena. Inilah finalitas Kristus yang Paulus beritakan. Meskipun ia menyinggung dasar bersama, ia tetap memberitakan finalitas Allah sejati dengan tujuan agar orang-orang Atena menyadari bahwa filsafat yang selama ini mereka percayai sebenarnya dalam satu sisi atas anugerah-Nya menuntun mereka kepada Allah sejati melalui pemberitaan Paulus dan tidak menyembah berhala atau ilah-ilah palsu. Finalitas ini menuntun orang-orang Atena mengambil sikap. Penginjilan sejati juga harus memberitakan finalitas Kristus dan berita ini mendorong orang-orang yang mendengarkannya mengambil sikap. Amin.