Belajar dari Pelayanan Paulus di Atena Bagian 2 (Kisah Para Rasul 17:22-25)

Posted on 14/08/2022 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/08/Belajar-dari-Pelayanan-Paulus-di-Atena-Bagian-2-Kisah-Para-Rasul-17-22-25.jpg Belajar dari Pelayanan Paulus di Atena Bagian 2 (Kisah Para Rasul 17:22-25)

Salah satu tantangan terberat dalam pemberitaan Injil adalah menghargai orang lain. Kita tergoda untuk merasa diri lebih tahu kebenaran dan lebih baik daripada orang lain. Kita tergoda untuk melihat orang lain dari sudut pandang kita. Akibatnya, pendekatan kita terkesan asing, bahkan mungkin ofensif, di mata pendengar.

Entah berapa banyak orang non-Kristen yang tersandung dengan cara-cara penginjilan yang tidak bijaksana. Sangat ironis kalau kabar baik diberitakan dengan cara yang tidak baik. Sangat memprihatinkan apalagi kasih karunia keselamatan diberitakan dengan cara-cara yang mencerminkan kesombongan dan penghakiman. Berita Injil sudah ofensif bagi orang berdosa, karena itu pemberitanya tidak perlu menambah “serangan lagi” dengan pendekatan yang ofensif.

Situasi ini sudah lama dicermati oleh para penggiat misi. Itulah sebabnya dalam dunia misi sejak dulu diajarkan perlunya “kontekstualisasi,” yaitu adaptasi Injil sesuai dengan budaya setempat. Yang disesuaikan tentu saja bukan substansi Injil (ke-Tuhanan, penyaliban, dan kebangkitan Yesus Kristus), melainkan perspektif dan kemasannya. Kita melihat dari kacamata orang lain. Kita menyampaikan dengan bahasa dan ungkapan setempat. Allah saja rela menjadi sama dengan manusia demi keselamatan mereka; masakan kita tidak mau melakukan hal yang sama demi sesama manusia?

Itulah yang diajarkan oleh Paulus dalam khotbahnya kepada penduduk Atena di Areopagus. Dia tidak langsung berbicara tentang  kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (bdk. 17:30-31). Dia tidak banyak mengutip teks-teks Perjanjian Lama atau menyebutkan nama para nabi, karena penduduk Atena tidak mengenal kitab suci bangsa Yahudi. Dia tidak menyinggung tentang pengharapan mesianis, karena topik itu kurang begitu relevan bagi orang-orang non-Yahudi.

Bagaimana Paulus menyampaikan Injil kepada penduduk Atena? Apa yang kita bisa pelajari?

 

Mengungkapkan apresiasi (ayat 22)

Berbicara di depan para pemikir Yunani - Romawi di Areopagus merupakan momen yang luar biasa. Paulus tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dari struktur pemaparannya terlihat bahwa Paulus cukup memahami retorika kuno. Dia tidak mengandalkan, tetapi bukan berarti dia tidak menggunakan. Menggunakan dan mengandalkan adalah dua hal yang berlainan.

Paulus memulai khotbahnya dengan apresiasi. Dia menyebut penduduk Atena “sangat beribadah kepada dewa-dewa” (deisidaimonesterous). Kata ini bisa mengandung makna negatif “takhayul” (KJV) maupun positif “saleh/religius” (mayoritas versi). Mempertimbangkan bahwa bagian ini adalah introduksi dari khotbahnya, Paulus sangat mungkin menggunakan kata deisidaimōn ke arah yang lebih positif. Dia sedang mengapresiasi hasrat religius mereka.

Tidak ada yang salah dengan dorongan keagamaan dalam diri manusia. Manusia memang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk spiritual. Hembusan nafas ilahi ke dalam hidung manusia (Kej. 2:7) menyiratkan keintiman sekaligus ketergantungan manusia pada Pencipta. Sebagai makhluk spiritual manusia memiliki kapasitas untuk menyadari keberadaan Allah, baik melalui ciptaan (Rm. 1:19-20), hukum moral (Rm. 2:14-15). Penyembahan berhala yang begitu merajalela dalam segala bentuknya menunjukkan betapa besarnya kekosongan jiwa manusia yang hanya bisa diisi oleh Allah saja.

Walaupun ada banyak kekeliruan dalam penyembahan berhala, Paulus tidak langsung menyerang ke sana. Dia memilih untuk memberikan apresiasi. Apresiasi bukan kompromi. Bagian selanjutnya menunjukkan bahwa Paulus tetap memberitakan finalitas Kristus dalam keselamatan (17:30-31). Yang diapresiasi adalah hasrat penduduk Atena terhadap hal-hal religius, terlepas dari bagaimana cara mereka memenuhi hasrat tersebut.

 

Mencari jalan masuk (ayat 23)

Langkah selanjutnya dalam pemberitaan Injil adalah mencari jalan masuk bagi Injil. Cara termudah untuk melakukan ini adalah mencari kesamaan yang bisa dijadikan awal perbincangan. Kesamaan ini bisa berupa persoalan bersama atau topik tertentu yang menjadi ketertarikan bersama. Apapun seharusnya bisa dijadikan jalan masuk bagi Injil. Jika kita mengalami kesulitan untuk menjadikan segala sesuatu dalam hidup kita sebagai jalan masuk bagi Injil, mungkin Injil memang sungguh-sungguh merembesi segala sesuatu dalam hidup kita.

Mencari jalan masuk berupa kesamaan ini seringkali diabaikan dalam pemberitaan Injil. Sebagian orang cenderung lebih mahir melihat perbedaan dan menemukan kesalahan. Ini jelas kontraproduktif dalam penginjilan. Perbedaan selalu ada dan kentara. Kita tidak perlu terlatih untuk mendeteksinya. Kita tidak perlu repot-repot untuk menemukannya. Yang justru perlu dipertimbangkan adalah kesamaan yang bisa dijadikan sebagai jalan masuk bagi penginjilan. Paulus menemukan butir kebersamaan ini, yaitu sebuah mezbah dengan tulisan “kepada allah yang tidak dikenal.”

Penduduk Atena memilih untuk memercayai banyak dewa. Dalam konteks keagamaan yang politeistik seperti ini selalu ada kerancuan tentang jumlah total para dewa. Jika semua dewa perlu dilayani supaya tidak memurkai, para penyembahnya perlu mencari antisipasi atau solusi dari persoalan ini. Salah satu yang dipikirkan adalah menyediakan mezbah kepada “allah yang tidak dikenal.” Jika ada satu atau beberapa dewa yang terlewatkan, mereka sudah terwakilkan dalam mezbah ini.

Paulus tentu saja mengetahui banyak kekeliruan dalam politeisme. Dia bisa saja mengutip begitu banyak ayat kitab suci yang menentang penyembahan berhala. Menariknya, dia tidak mau konfrontasi semacam itu di awal khotbahnya. Dia justru menjadikan mezbah kepada allah yang tidak dikenal sebagai jembatan penginjilan. Paulus mengatakan bahwa Allah yang tidak dikenal oleh penduduk Atena tersebut adalah Allah yang menyatakan diri di dalam Kristus Yesus.

Pernyataan di ayat 23 ini tidak boleh ditafsirkan seolah-olah Paulus mengidentikkan dewa yang tidak dikenal dengan Allah yang benar. Paulus hanya menyinggung itu sebagai sebuah jalan masuk. Bukankah memang ada banyak nama allah yang tidak diketahui oleh penduduk Atena? Bukankah Allah yang benar yang menyatakan diri di dalam Kristus Yesus juga termasuk salah satunya?

Apa yang dilakukan oleh Paulus bukan sebuah kompromi teologis. Kalimat Paulus tetap mengandung kritikan halus terhadap kepercayaan Atena. Dengan cermat Paulus menggunakan kata ganti penghubung berjenis kelamin neuter: “Apa yang (hó) kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah (touto) yang kuberitakan kepada kamu”. Di mata Paulus yang disembah oleh penduduk Atena adalah allah yang tidak berpribadi.

Pernyataan Paulus ini mengandung kritikan halus yang lain. Menurut Paulus, penduduk Atena menyembah tanpa pengetahuan. Sangat berhasrat kepada Allah tetapi tanpa pengetahuan yang tepat. Kesalahan yang sama dikatakan oleh Paulus tentang bangsa Yahudi (Rm. 10:2 “mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar”).

 

Menggunakan logika teologis (ayat 24-25)

Penduduk Atena bukan hanya religius, tetapi juga intelektual. Mereka terbiasa dengan berbagai filsafat dan konsep keagamaan. Dalam konteks kuno dua area ini – filsafat dan agama – bahkan jauh lebih berkaitan daripada yang dipikirkan oleh banyak orang sekarang. Apa yang dikatakan oleh Paulus dalam khotbanya tidak semuanya baru di telinga penduduk Atena.

Salah satunya adalah konsep tentang Allah sebagai Pencipta semesta. Tradisi Yahudi (misalnya Kejadian 1, Philo, Josephus) maupun Yunani kuno (misalnya Plato, Epictetus) sama-sama meneguhkan kebenaran ini. Allah adalah Pencipta langit dan bumi serta segala isinya. Paulus mengulang kebenaran ini beberapa kali di 17:24-25 dengan ungkapan yang berlainan: Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi…karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang.

Paulus tidak hanya berhenti pada kebenaran ini. Dia menyoroti konsekuensi logis dari kebenaran teologis ini. Jika Allah adalah Pencipta langit dan bumi, maka Dia tidak mungkin berdiam di tempat apapun yang dibuat oleh manusia (17:24). Konsekuensi logis ini juga bukan konsep baru dalam tradisi Yahudi maupun Yunani. Pada waktu menahbiskan bait Allah, Salomo berkata: “Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini” (1Raj. 8:27). Dalam filsafat Stoa diajarkan bahwa manusia tidak seharusnya mendirikan kuil-kuil bagi para dewa (pemikiran Zeno yang dikutip oleh Plutarch). Pemikiran yang sama muncul dalam tulisan Lucian dari Samosata.

Konsekuensi logis berikutnya adalah kebebasan Allah yang mutlak. Jika Allah adalah pencipta langit dan bumi, maka Dia tidak mungkin membutuhkan pelayanan manusia, seolah-olah Dia membutuhkan sesuatu (17:25). Konsep ini juga diajarkan baik dalam tradisi Yahudi (Josephus) maupun Yunani (Euripides). Jika Allah membutuhkan sesuatu di luar diri-Nya, itu berarti Allah tidak sempurna. Dia terikat dengan sesuatu di luar diri-Nya. Jika benar demikian, lalu bagaimana keadaan-Nya sebelum ada segala sesuatu yang Dia ciptakan?

Walaupun apa yang disampaikan oleh Paulus di ayat 24-25 berakar pada Perjanjian Lama, Paulus menyampaikannya sesuai dengan konsep berpikir Yunani. Dia memulai dari apa yang mereka sudah percayai. Dia memaksimalkan pendekatan rasional karena sesuai dengan kultur intelektual mereka. Dari sana Paulus lantas mengambil beberapa konsekuensi logis yang sukar untuk dibantahkan. Konsekuensi-konsekuensi ini nantinya akan menjadi pijakan yang kuat bagi Injil. Melalui kesempurnaan karya penebusan Kristus manusia tidak perlu melakukan sesuatu bagi Allah untuk diselamatkan, karena Allah sudah melakukan segalanya bagi manusia. Manusia membutuhkan Allah, bukan sebaliknya. Kristus adalah bait Allah yang sesungguhnya dan melalui-Nya Allah berkenan berdiam di dalam diri kita. Bangunan hanyalah sarana kenyamanan bagi ibadah komunal. Yang terpenting adalah kehadiran Allah secara personal. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community