Semua manusia pasti memiliki keinginan. Allah menciptakan kita sebagai makhluk yang berpribadi. Kita memiliki pikiran, perasaan, dan kehendak. Jadi, memiliki keinginan, pada dirinya sendiri, tidak keliru, bahkan tidak terelakkan.
Yang sering menjadi masalah adalah objek dan motivasi keinginan. Apa yang kita ingini? Mengapa kita mengingini itu? Seberapa besar kita menginginkannya? Jika yang kita ingini adalah keliru dan kita begitu menginginkannya, kita sedang membawa diri kita ke dalam bahaya. Hati mengalahkan akal budi. Hawa nafsu menabrak segala sesuatu.
Konsekuensi seperti ini muncul karena banyak orang bukan hanya membiarkan, tetapi juga juga menyuburkan, berbagai macam keinginan. Mereka bukan hanya tidak mewaspadai setiap keinginan, tetapi justru melayani keinginan-keinginan itu. “Ikuti apa kata hatimu” menjadi motto hidup yang sangat populer. Mereka lupa bahwa hati kita sudah tercemar oleh dosa. Hati yang tercemar seringkali memunculkan keinginan dan tindakan yang tidak benar (Mat. 15:19). Tugas kita bukan memenuhi apa saja yang hati kita inginkan, melainkan menguji apakah yang hati kita inginkan memang benar. Hati perlu dijaga dengan seksama karena “dari situlah terpancar kehidupan? (Ams. 4:23).
Itulah yang terjadi dengan beberapa jemaat di antara penerima surat Yakobus. Mereka menghadapi persoalan serius yang berkaitan erat dengan hati (baca: hawa nafsu). Ibarat seorang dokter spesialis yang cakap, Yakobus mendiagnosa persoalan sampai ke akarnya. Pertikaian serius yang terjadi antar jemaat (4:1-3) bukan hanya sebuah persoalan sosial. Sumber masalah bukan sekadar kompetisi gaya hidup. Akarnya terletak pada hati (ayat 1 “hawa nafsu yang saling berjuang di dalam tubuhmu”; ayat 3 “untuk memuaskan hawa nafsumu”).
Seberapa seriuskah kesalahan mereka di mata Tuhan? Kekuatan apa yang seharusnya mendorong mereka untuk kembali kepada Allah?
Keseriusan persoalan hawa nafsu (ayat 4)
Tidak semua hal yang ada di dunia adalah duniawi. Demikian pula tidak semua hal yang ada di dalam gereja adalah rohani. Walaupun demikian, kita tetap perlu mewaspadai apa yang ada di dalam dunia. Dunia sudah jatuh ke dalam dosa, hati kita berada pada posisi yang sama. Kita benar-benar berada dalam bahaya.
Sayangnya, tidak sedikit orang Kristen yang terjebak pada pemenuhan hawa nafsu duniawi. Apa yang dianggap “hebat” oleh dunia, itulah yang dikejar oleh orang-orang Kristen. Tidak mengherankan jika hasil berbagai survei di lapangan menunjukkan perilaku orang-orang Kristen tidak lebih baik daripada orang-orang dunia.
Untuk menggambarkan betapa seriusnya gaya hidup yang mengejar kepuasan-kepuasan duniawi, Yakobus menggunakan dua metafora yang sangat kuat.
Pertama adalah perzinahan rohani (ayat 4a). LAI:TB menerjemahkan sebutan moichalides dengan “orang-orang yang tidak setia.” Dari sisi arti, terjemahan ini tidak keliru. Kata moichalides memang bisa digunakan untuk ketidaksetiaan secara umum (Mat. 12:39; 16:4; Mrk. 8:38). Dari sisi makna (baca: kesan), terjemahan “orang-orang yang tidak setia” memang kurang kuat. Moichalides juga beberapa kali muncul dalam arti ketidaksetiaan secara marital atau seksual. Terjemahan yang kuat untuk kata ini adalah “para pezinah” (Rm. 7:3; 2Pet. 2:14). Tidak heran, hampir semua versi Inggris mengambil terjemahan ini. Lebih akurat. Lebih kuat.
Perzinahan rohani seringkali digunakan dalam Perjanjian Lama untuk menggambarkan ketidaksetiaan umat TUHAN. Mereka memilih untuk menyembah ilah-ilah lain (Kel. 34:15-16; Im. 20:5, 6, 10; Kel. 31:16). Hampir semua nabi menyoal tentang hal ini. Yang paling terkenal tentu saja adalah Hosea (Hos. 1:2; 3:1). Bagaikan seorang suami, TUHAN mengharapkan kesetiaan dari bangsa Israel. Sayangnya, yang didapat justru ketidaksetiaan.
Gambaran yang sama digunakan oleh Yakobus untuk orang-orang Kristen yang mengejar kepuasan duniawi. Mereka adalah orang-orang yang mendua hati (1:6-8). Mereka bukan hanya bimbang, tetapi memang mengikatkan diri pada yang lain. Persoalan mereka bukan akal budi (keraguan), tetapi lebih ke arah hati (ketidaksetiaan).
Gereja adalah mempelai Kristus (Yoh. 3:29; 2Kor. 11:2; Why. 21:9). Yang paling diinginkan oleh gereja seharusnya adalah Kristus. Yang paling berharga bagi mereka seharusnya Dia. Namun, tidak sedikit orang Kristen yang tidak memahami dan meyakini kecukupan dan keberhargaan Kristus bagi mereka.
Yang lebih parah adalah menggunakan Kristus untuk menggapai keinginan-keinginan duniawi. Itu yang terjadi pada penerima surat Yakobus. Apakah mereka berdoa? Tentu saja! Persoalannya, apa yang didoakan hanya untuk memuaskan hawa nafsu (4:1-3). Doa telah menjadi dosa ketika digunakan untuk memuaskan hawa nafsu belaka (ayat 3 “sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu”).
Metafora kedua adalah permusuhan rohani (ayat 4b). Ketidaksetiaan adalah satu hal. Permusuhan adalah hal yang berbeda. Perzinahan sudah sangat buruk, tetapi permusuhan jauh lebih buruk. Porsi pembahasan dan pengulangan ide ini di ayat 4 menyiratkan bahwa Yakobus lebih menyoroti metafora ini daripada metafora yang pertama.
Ide tentang permusuhan sudah disinggung sebelumnya di 4:1-2. Ada permusuhan antar keinginan dalam diri seseorang (peperangan internal). Dalam relasi dengan sesama beberapa jemaat saling iri dan melukai (peperangan horizontal). Mereka saling berkompetisi memenuhi hasrat duniawi. Masing-masing tidak mau kalah dalam mencapai kepuasan duniawi.
Permusuhan horizontal ini ternyata juga menjadi peperangan vertikal. Persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah. Konsep persahabatan kuno jauh lebih erat daripada zaman sekarang. Bersahabat pada zaman dulu berarti merengkuh nilai-nilai bersama dan memberikan loyalitas pada lingkaran pertemanan. Tidak jarang pertemanan menjadi persandaran kehidupan. Orang mendapatkan identitas, kebanggaan, dan keamanan melalui pertemanan. Keinginan terhadap hal-hal di dunia akan menjadi permusuhan terhadap Allah ketika hal-hal yang diinginkan tersebut dijadikan sandaran kehidupan, landasan kebanggaan, dan sumber kebahagiaan. Dengan kata lain, objek keinginan tersebut telah dijadikan berhala. Kebenaran ini perlu ditanggapi secara serius.
Permusuhan ini tentu saja bukan dimulai dari pihak Allah. Ayat 4b mengatakan “Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.” Kata “menjadikan diri” (kathistēmi) memiliki beragam arti. Di 3:6 kata ini muncul dengan arti “mengambil tempat.” Jadi, siapa saja yang mengejar kepuasan duniawi, dia telah menempatkan diri sebagai musuh Allah. Dia bukan hanya pezinah, tetapi seteru Allah. Yang selingkuh justru bertindak angkuh.
Kadang kita lupa bahwa pilihan kita hanya dua: Allah atau berhala. Memilih dua-duanya sama saja dengan memilih berhala. Dengan cara yang sama, menjatuhkan pilihan pada berhala berarti menabuh genderang perang terhadap Allah. Kita dengan sengaja telah memulai peperangan.
Keseriusan kasih Allah (ayat 5-6)
Bagian sebelumnya menunjukkan bahwa akar persoalan terletak pada hati. Beberapa jemaat memang lebih memilih dunia daripada Allah. Lalu apa solusi dari persoalan ini? Semua persoalan hati hanya bisa diatasi dengan kasih dan intervensi ilahi. Itulah yang diajarkan oleh Yakobus di ayat 5-6.
Allah sangat mengasihi umat-Nya. Di tengah teguran yang keras tetap ada kasih sayang yang kuat. Cinta ilahi diungkapkan melalui dua cara.
Pertama, Allah sangat menginginkan umat-Nya (ayat 5). Ayat ini merupakan salah satu teks yang paling rumit dalam surat ini (Teks Perjanjian Lama mana yang sedang dikutip? Apakah kutipan ini berhenti di ayat 5 atau sampai ayat 6? Apakah “roh” yang dimaksud di ayat 5 adalah roh manusia atau Roh Kudus? Apakah kecemburuan di sini positif, netral, atau negatif? Siapa subjek yang memiliki kecemburuan ini?). Ada beragam penafsiran yang sudah ditawarkan.
Terlepas dari penafsiran manapun yang dipegang, arti umum dari ayat ini cukup jelas: Allah sangat menginginkan umat-Nya. Seandainya pneuma dalam hati merujuk pada roh manusia, hal itu merujuk balik pada Kejadian 2:7. Allah menghembuskan nafas-Nya ke dalam hidung manusia sebagai simbol bahwa kehidupan manusia bersumber dan bergantung kepada Dia. Manusia hanya bisa mengalami kepenuhan diri di dalam Allah. Seandainya pneuma merujuk pada Roh Kudus, hal itu mengarahkan kita pada ide kepemilikan. Roh Kudus adalah meterai dan jaminan sampai kita memperoleh seluruhnya kelak (Ef. 1:13-14).
Allah berkali-kali mengungkapkan bahwa Dia sangat menginginkan umat-Nya. Dia tidak malu untuk mengakui itu. Dia bahkan berkali-kali mengungkapkan kecemburuan-Nya (misalnya Kel. 20:5; 34:14; Ul. 4:24; 5:9; 6:15; 29:20). Dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan umat-Nya kembali pada pelukan kasih-Nya.
Kedua, Allah memberikan kasih karunia yang lebih besar (ayat 6). LAI:TB menerjemahkan frasa meizona de didōsin charin dengan “tetapi kasih karunia, yang diberikan-Nya kepada kita, lebih besar daripada itu.” Selain terkesan terlalu panjang, terjemahan ini juga bisa menimbulkan kesan yang berbeda. Secara hurufiah frasa Yunani tadi berarti “tetapi Ia memberikan kasih karunia yang lebih besar” (lihat mayoritas versi Inggris). Terjemahan ini memberi kesan bahwa apa yang disampaikan di ayat 5 juga adalah kasih karunia, walaupun apa yang ada di ayat 6a merujuk pada kasih karunia yang lebih besar.
Perbandingan yang dimaksud di sini adalah kecemburuan Allah (ayat 5) dengan kasih-Nya kepada orang yang rendah (ayat 6b). Kecemburuan Allah memang sesuatu yang positif. Namun, wujud kecemburuan Allah kadangkala tidak menyenangkan. Allah yang pencemburu adalah seperti api yang menghabuskan (Ul. 4:24). Dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan umat-Nya, termasuk Dia akan menundukkan mereka yang congkak (4:6b). Walaupun tidak menyenangkan, ini tetap merupakan anugerah dari Tuhan.
Anugerah yang lebih besar adalah kasih-Nya kepada orang yang rendah (ayat 6b). Yang dimaksud dengan tapeinois (lit. “orang-orang yang rendah”) adalah orang-orang yang mau tunduk pada Allah (4:7), menyesali semua dosa (4:8), dan menyadari kemalangan mereka (4:8). Kepada mereka Allah memberikan kasih karunia (4:6b).
Pilihan untuk bersahabat dengan dunia dan (dengan demikian) menjadikan diri sendiri sebagai musuh Allah merupakan tindakan yang tidak logis dan tanpa perasaan. Allah memberikan anugerah demi anugerah kepada kita, bagaimana mungkin kita justru memilih hal-hal duniawi yang akan mencelakakan dan mengecewakan kita? Allah begitu menginginkan kita, bagaimana mungkin kita justru tidak menginginkan Dia?
Pemberian Allah yang terbesar, yaitu diri-Nya sendiri, sudah diberikan. Ini adalah anugerah terbesar. Allah memberikan diri-Nya supaya kita bisa memiliki Dia. Inilah pemuasan kerinduan terbesar dalam jiwa. Ada kekosongan jiwa yang begitu besar dalam jiwa manusia yang hanya bisa diisi oleh Allah saja. Dalam anugerah-Nya Allah telah memenuhkan kehampaan hati kita dengan diri-Nya supaya Dia menjadi satu-satunya dalam hidup kita. Soli Deo Gloria.
Photo by Evie S. on Unsplash