Kebencian merupakan sebuah teka-teki yang sulit dipahami. Walaupun tidak ada kebaikan yang ditimbulkan dari sebuah kebencian, sebagian orang tetap memilih untuk menyimpan kebencian. Walaupun kebencian menghancurkan diri sendiri maupun orang lain, sebagian orang memilih untuk tidak menghindar.
Kebencian juga membuat seseorang “sangat peduli” dengan orang yang dia benci. Sang pembenci selalu memerhatikan apa yang dilakukan oleh orang yang dia benci. Dia membiarkan hatinya dikendalikan oleh orang yang dia ingin binasakan. Kebahagiaan orang lain menjadi kesedihannya, kesedihan orang lain menjadi kebahagiaannya. Sang pembenci tidak memiliki hidup yang mandiri. Dia telah mengerdilkan dirinya sendiri.
Anehnya, banyak orang tetap menyukai situasi ini. Menyimpan kebencian dianggap sebagai kebanggaan. Sebaliknya, memberikan pengampunan dipandang sebagai kelemahan.
Di sisi lain ada orang yang ingin membuang kebencian tetapi tidak mampu melakukan. Mereka merasa tidak memiliki alasan yang kuat untuk melakukannya. Mereka merasa tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya.
Mengapa sebagian orang sukar untuk mengampuni orang lain? Bagaimana melepaskan kebencian dalam diri kita? Mari belajar bersama-sama dari teks kita hari ini.
Teks ini sudah pernah kita bahas secara agak detail beberapa tahun yang lalu. Hari ini kita hanya akan menyoroti secara lebih umum dan dari sudut yang sedikit berbeda. Kita akan mempelajari tiga hal penting tentang pengampunan.
Pertama, pengampunan melampaui pemberian hukuman. Teks kita hari ini dimulai dengan frasa “Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus” (ayat 21a). Kata sambung “kemudian” menyiratkan bahwa pertanyaan Petrus di ayat 21b merupakan reaksi atau respons terhadap ucapan Yesus sebelumnya. Di bagian sebelumnya Yesus membahas tentang pemberian disiplin kepada jemaat yang tidak mau bertobat (18:15-20).
Petrus dengan jeli melihat persoalan lain di balik situasi tersebut. Memberikan hukuman adalah satu hal. Mengampuni adalah hal yang berlainan. Kesucian gereja memang perlu untuk dijaga melalui disiplin gereja. Demikian pula hati kita juga perlu dijaga dari segala potensi kebencian.
Memberikan hukuman atas orang lain seringkali tidak cukup untuk menghilangkan kebencian dalam hati kita. Keadilan kadangkala bukan jawaban atas kebencian, karena bagi hati yang dikuasai oleh kebencian tidak pernah ada rasa cukup atas keadilan. Dalam upaya mencari keadilan (bagi kita), kita justru kadangkala bisa mendatangkan ketidakadilan (bagi orang lain). Menjaga hati adalah kuncinya.
Kedua, pengampunan melampaui batasan kultural. Pertanyaan Petrus di ayat 21b sebenarnya menyiratkan sebuah kesalehan yang cukup baik. Menurut budaya pada waktu itu batasan pengampunan yang normal adalah tiga kali. Salah satu tulisan rabbinik mengajarkan bahwa kesalahan yang ke-4 tidak layak untuk diberikan pengampunan. Jadi, batasan yang ditetapkan oleh Petrus sudah dua kali lebih banyak daripada patokan populer waktu itu.
Apa yang dirisaukan oleh Petrus sebenarnya juga sangat masuk akal. Yang bersalah di sini adalah “saudara” (adelphos, 18:21; bdk. 18:15). Dalam konteks relasi yang dekat – seperti antar saudara seiman – potensi kesalahan yang terjadi tentu saja cukup besar. Seseorang bisa melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Lebih jauh, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita seringkali justru lebih sukar untuk diampuni. Kita merasa lebih mudah mengampuni orang yang asing atau orang yang jauh dari hidup kita.
Kedekatan emosional seringkali mengandung tuntutan-tuntutan yang tidak disadari oleh banyak orang. Kita menuntut orang yang dekat dengan kita untuk lebih bisa memahami kita, memberikan dukungan dan bantuan kepada kita, bahkan berkurban bagi kita. Ketika orang tersebut gagal melakukannya kita menjadi kecewa. Ketika dia justru melakukan sebaliknya, kita sukar untuk tidak membenci dia. Dari kekecewaan yang berulang-ulang muncullah kebencian.
Jawaban Yesus di ayat 22 mengajarkan bahwa orang-orang percaya seyogyanya tidak membiarkan tindakannya ditentukan oleh patokan budaya. Pengampunan harus diberikan tujuh puluh kali tujuh (hebdomēkontakis hepta). Frasa ini bisa berarti 70 x 7 atau 77 kali. Arti manapun yang diambil maknya tetap sama: pengampunan seharusnya tanpa batas.
Bagi orang-orang Yahudi yang terbiasa dengan kitab suci jawaban ini pasti mengingatkan mereka pada perkataan Lamekh, salah satu keturunan Kain, di Kejadian 4:24. Setelah membunuh seorang pemuda yang melukai dia, Lamekh menyombongkan dan membenarkan diri atas pembunuhan tersebut dengan kalimat: “jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat.” Frasa hebdomēkontakis hepta juga muncul di sana, tetapi diterapkan pada pembalasan dendam.
Keterkaitan antara Kejadian 4:24 dengan Matius 18:22 mengajarkan kepada kita sebuah kontras yang sangat jelas. Kebencian adalah produk dosa, pengampunan adalah produk kasih karunia. Yang hatinya dikuasai oleh dosa pasti menginginkan pembalasan yang jauh melampaui yang seharusnya. Yang hatinya dikuasai oleh kasih karunia pasti rindu memberikan pengampunan yang melampaui batasan budaya.
Ketiga, dosa kita melampaui kesalahan orang kepada kita. Melalui perumpamaan yang dia berikan Yesus ingin menunjukkan betapa besarnya dosa kita kepada Allah. Sepuluh ribu talenta adalah jumlah yang sangat fantastik! Satu talenta merupakan ukuran berat yang tertinggi. Bobotnya kira-kira antara 26-38 kg. Bahannya bisa emas, perak, atau perunggu. Dalam perumpamaan ini tidak disebutkan secara spesifik apakah talenta tersebut berupa emas, perak, atau perunggu. Poin yang ingin disampaikan mungkin jumlah yang sangat banyak sampai tidak terhitung (10 ribu = beribu-ribu, bdk. 1Kor. 4:15; 14:19).
Jika kita ingin mencari nilainya secara lebih detail, satu talenta setara dengan 6000 dinar. Satu dinar adalah upah harian seorang pekerja pada waktu itu. Dalam setahun seorang pekerja memperoleh upah sekitar 300 dinar. Bagi seorang buruh, hutang 1 talenta baru dia bisa lunasi selama 20 tahun, itupun jika dia tidak menggunakan upahnya untuk keperluan yang lain. Hutang 10 ribu talenta akan dilunasi selama 200.000 tahun!
Hamba yang berhutang 10 ribu talenta di perumpamaan tampaknya bukan seorang buruh. Para penafsir menduga dia adalah pejabat teras yang dipercayakan uang sebanyak itu untuk dikelola atau seorang pemenang lelang pajak yang menjanjikan jumlah tertentu kepada raja. Manapun yang benar, maknanya tetap tidak berubah. Hutangnya sangat banyak dan dia tidak mungkin mampu membayarnya. Dia harus dicopot dari jabatannya dan menerima hukuman. Jika demikian yang terjadi, bagaimana dia mampu membayar jumlah yang sangat fantastik seperti itu?
Di tengah keputusasaan inilah belas kasihan raja dinyatakan. Dia bukan hanya membebaskan hamba itu dari hukuman, tetapi juga dari semua hutang. Hamba tersebut sekarang menjadi orang bebas.
Sayangnya, si hamba ternyata tidak menyadari betapa besar pengampunan yang sudah dia terima. Dia tetap memaksa temannya untuk membayar hutang kepadanya yang hanya 100 dinar saja. Ketika temannya tidak mampu membayar, dia menjebloskannya ke dalam penjara. Dia tidak peduli dengan permintaan waktu tambahan yang diharapkan oleh temannya itu. Siapa saja yang mendengarkan berita ini pasti akan geram. 100 dinar jelas tidak bisa dibandingkan dengan 60 juta dinar!
Kita kadangkala melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh hamba yang dihapuskan hutangnya itu. Kita sukar mengampuni kesalahan orang lain kepada kita. Mengapa kita gagal mengampuni? Jawabannya cukup sederhana: kita memiliki fokus yang salah. Sama seperti Petrus, kita cenderung menghitung-hitung jumlah kesalahan orang lain. Kita merasa diri sudah baik jika memberikan pengampunan beberapa kali. Kita lupa menghitung dosa-dosa kita yang dihapuskan oleh Kristus di atas kayu salib. Dosa-dosa kita jauh melampaui semua kesalahan orang kepada kita!
Mengampuni lebih tentang diri kita di hadapan Allah, bukan tentang orang lain di depan kita. Mengampuni orang lain dimulai dari kesadaran tentang keberdosaan diri di hadapan Allah Yang Maha Suci. Orang yang kurang memahami kebesaran kasih karunia akan mengalami kesulitan untuk mengampuni sesamanya.
Tidak mau mengampuni sesama bukan kesalahan yang sepele. Hamba yang tidak tahu bersyukur dalam perumpamaan akhirnya dijebloskan ke dalam penjara oleh si raja. Ada hukuman untuk orang yang menyimpan kebencian.
Mengapa membenci adalah kesalahan yang serius di hadapan Allah? Membenci membuktikan bahwa seseorang belum mengalami (atau memahami) pengampunan yang besar dari Tuhan. Semakin kita merasa sakit akibat dikhianati, seharusnya semakin membuat kita memahami betapa besarnya pengurbanan Kristus yang rela dikhianati demi kita. Kristus benar-benar paham rasa sakit yang hebat gara-gara dikecewakan oleh seorang sahabat.
Membenci juga membuktikan bahwa seseorang tidak sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan. Orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Kristus akan mempercayakan rasa sakitnya yang utuh kepada Kristus. Dia meyakini bahwa Tuhan peduli. Dia percaya bahwa Tuhan pasti akan bertindak sesuai dengan keadilan-Nya. Dia tahu bahwa penghakiman Tuhan adalah yang terbaik untuk semua pihak.
Saya tidak mengatakan bahwa semua orang percaya yang masih bergumul dengan kebencian berarti belum diselamatkan. Pengampunan adalah salah satu buah pertobatan. Tingkat kematangan buah ini pada diri setiap orang berlainan. Bagi mereka yang pernah mengalami pengkhianatan atau kekecewaan yang traumatis, mengampuni jelas menjadi tugas yang lebih berat dibandingkan dengan orang lain yang tidak bermasalah di area itu. Jadi, kita sebaiknya tidak menilai kesejatian keselamatan seseorang hanya dari satu buah, melainkan dari buah-buah pertobatan lainnya juga. Yang penting di sini adalah sikap hati. Apakah seseorang mengakui kelemahannya dan mau bersandar pada Allah untuk mengatasinya?
Sebagai penutup, kita perlu menyinggung sedikit tentang bentuk pengampunan. Mengampuni bukan melupakan. Kesalahan yang menyakitkan tidak mungkin bisa dilupakan. Mengampuni bukan mengabaikan. Rasa sakit yang besar tidak mungkin terus-menerus diacuhkan. Mengampuni bukan sekadar membiarkan. Mengampuni berarti mengasihi dan memberkati (5:44). Soli Deo Gloria.