Salah satu penekanan dalam gerakan berpusat kembali pada Injil (Gospel-centeredness) adalah keberhargaan Allah. Maksudnya, Allah bukan hanya sebagai harta yang paling berharga, tetapi Dia adalah harta satu-satunya yang berharga. Begitu berharganya Allah sampai-sampai memiliki Dia saja sudah cukup bagi kita.
Jika seseorang sudah sampai pada pengakuan dan pengalaman seperti ini, Dia benar-benar memperlakukan Allah sebagai Allah. Dia sudah memberikan kemuliaan kepada Allah. John Piper dengan tepat mengemukakan: “God is most satisfied in us when we are most satisfied in Him” (Allah paling dimuliakan di dalam kita pada saat kita paling dipuaskan di dalam Dia).
Teks Alkitab yang cocok untuk menggambarkan konsep ini adalah Mazmur 73:25-26. Dalam teks ini Asaf berkata: “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Sorga adalah tempat yang sangat indah, tetapi bagi Asaf yang paling penting di dalamnya adalah Allah sendiri. Di bumi juga masih banyak hal yang indah dan menggembirakan, tetapi yang diinginkan Asaf hanyalah Allah. Bahkan ketika semua hal yang terpenting dalam dirinya hilang, bagian Asaf tetaplah Allah. Ibarat gunung batu, bagian ini tidak mungkin akan lenyap. Di akhir Mazmur 73, Asaf menutupnya dengan kalimat: “Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah (lit. “tetapi bagiku adalah baik untuk mendekat kepada Allah”); aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya” (ayat 28).
Pengalaman Asaf di atas mungkin berbeda dengan pengalaman banyak orang. Tidak sedikit orang yang mungkin bukan hanya bingung, tetapi memandang aneh pengalaman Asaf. Bagaimana mungkin ada orang yang sudah puas hanya dengan memiliki Allah saja?
Pertanyaan ini memang masuk akal. Asaf sendiri tidak langsung sampai pada titik spiritual tersebut. Perjalanan yang dilewati untuk mencapai ke sana tidak mudah. Dia sempat bingung (73:3-12) dan kecewa dengan Allah (73:13-15). Dia tidak mampu memahami Allah dan cara kerja-Nya (73:21-22).
Berikut ini adalah beberapa tips praktis dari Mazmur 73 untuk mendisiplin diri agar semakin memahami keberhargaan Allah. Tips praktis ini (apa yang kita lakukan) tidak boleh dipahami sebagai pengabaian terhadap anugerah Allah (apa yang Allah lakukan). Dalam semua upaya kita, anugerah Allah harus ada di depan sampai akhir.
Pertama, menguji ulang teologi. Setiap orang pasti memiliki teologi. Setiap orang memahami Allah dengan cara tertentu. Itulah yang disebut teologi. Kesulitan awal yang dihadapi oleh Asaf lebih disebabkan oleh konsep teologisnya yang keliru (baca: terlalu sempit). Dia menganut apa yang disebut teologi retribusi yang sempit: taat – berkat, tidak taat – kutuk. Walaupun pada dirinya sendiri konsep ini memang diajarkan oleh Alkitab (73:1; Ul. 28-30), tetapi tidak boleh dipahami secara sempit. Allah bisa bekerja melampaui (bukan menabrak) prinsip ini. Selain itu, berkat Tuhan tidak boleh menjadi motivasi atau tujuan dari ketaatan. Jika seseorang menaati Allah hanya untuk mendapatkan berkat-berkat-Nya (apalagi berkat yang dipahami secara jasmaniah belaka), orang itu pasti akan kecewa. Orang-orang fasik kadangkala lebih sehat, makmur, dan sukses daripada anak-anak Allah (73:3-5, 12). Sebaliknya, anak-anak TUHAN kadangkala justru menghadapi penderitaan (73:13-14).
Dalam kasus Asaf kita melihat pergeseran teologinya. Pada awalnya Asaf memahami kebaikan TUHAN dalam kaitan dengan berkat-berkat jasmaniah yang Dia berikan. Ketika semua berkat itu tidak terlihat dalam dirinya, malah ada pada orang-orang fasik, Asaf menjadi bingung dan kecewa. Pada akhirnya dia menyadari bahwa kebaikan tertinggi adalah kebersamaan dengan Allah (ayat 28, lit. “tetapi bagiku adalah baik untuk mendekat kepada Allah”). Yang paling penting adalah Sang Pemberi, bukan pemberian-pemberian-Nya.
Konsep inilah yang kita lihat di dalam Injil Yesus Kristus. Allah telah memberikan diri-Nya bagi kita. Paulus mengatakan: “Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Rm. 8:31-32). Frasa “Jika Allah di pihak kita” secara hurufiah berbunyi: “Jika Allah adalah bagi kita” (mayoritas versi Inggris “If God is for us”). Dengan demikian Sang Pemberi telah menjadi pemberian itu sendiri! Ini adalah pemberian yang terbaik karena menyelesaikan persoalan kita yang terburuk.
Kedua, memandang kehilangan kita sebagai penemuan kita. Kita seringkali baru menyadari keberhargaan sesuatu setelah segala sesuatu yang lain tidak ada. Allah kadangkala menggunakan cara ini untuk mengajarkan keberhargaan diri-Nya kepada kita. Cara ini sama seperti seorang ayah atau ibu yang terpaksa merampas mainan anak supaya anak itu menyadari kebutuhannya terhadap makanan dan istirahat. Apa yang kita anggap berharga (padahal tidak demikian) terpaksa diambil dari dalam diri kita supaya kita menyadari apa yang benar-benar berharga.
Asaf mengalami proses seperti ini. Apa yang dia dulu anggap paling berharga (berkat-berkat Allah) diambil dari hidupnya supaya dia menyadari bahwa Allah adalah hartanya yang paling berharga. Ini proses yang menyakitkan, tetapi seringkali diperlukan. Seseorang tidak bisa benar-benar menjadikan Allah sebagai harta yang paling berhara sebelum dia memiliki Allah sebagai satu-satunya harta. Dalam situasi seperti ini orientasi hatinya sedang diuji: pada Sang Pemberi atau pemberian-pemberian-Nya?
Kehilangan ini sekaligus sebagai cara ilahi untuk membersihkan segala berhala dalam hati seseorang. Mungkin dia selama ini memberhalakan pengakuan dan penerimaan. Dia rela mencari harta sebanyak-banyaknya supaya memberi makan berhala pengakuan. Dia bahkan rela membagikan hartanya kepada banyak orang supaya memberi makan berhala penerimaan.
Ketika semua berhala perlahan-lahan mulai disingkirkan dari dalam hati kita, kita semakin bisa melihat keindahan dan keberhargaan Allah di dalam Kristus. Kita menyadari bahwa hidup bukan cuma tentang menikmati pemberian Allah, tetapi menikmati Allah sendiri. Karena itu kita perlu mensyukuri kehilangan kita. Dalam kehilangan kita, kita menemukan Dia. Soli Deo Gloria.
Photo by Greg Rosenke on Unsplash