“The Passion Translation” (TPT) merupakan versi Alkitab berbahasa Inggris yang relatif baru. Sampai akhir tahun 2020 saja belum seluruh Alkitab telah selesai diterjemahkan. Prioritas TPT tampaknya pada Perjanjian Baru (PB). Sesudah seluruh PB tuntas, mereka baru merambah beberapa kitab dalam Perjanjian Lama (PL), misalnya Mazmur, Kidung Agung, Amsal, Kejadian dan Yesaya.
Walaupun tergolong baru, popularitas versi ini terus menanjak. Beberapa tokoh Kristen yang terkenal di Amerika memberikan rekomendasi untuk TPT. Yang paling menyedot perhatian adalah dukungan dari Bill Johnson, gembala sidang gereja Bethel dan penulis buku rohani yang terkenal. Popularitas TPT sudah melampaui batasan negara dan benua. Tidak tertutup kemungkinan popularitas yang sama akan segera terjadi di Indonesia.
Di sisi lain, kehadiran TPT juga menghadirkan banyak pro dan kontra. Sebagian orang menganggap terjemahan ini sangat bermanfaat dan sesuai dengan apa yang diklaim oleh penerjemahnya. Tidak sedikit yang bersaksi bagaimana mereka mengalami perjumpaan dengan Tuhan melalui pembacaan TPT dalam saat teduh mereka. Sebagian yang lain memiliki keberatan serius terhadap versi ini. Apa yang tertulis dalam TPT terlihat begitu berbeda dengan beragam versi Alkitab populer yang sudah ada. Keberatan paling serius datang dari kalangan akademisi. Beberapa teolog biblika sudah menyatakan penilaian negatif terhadap TPT, misalnya Tremper Longman III dan Darrell Bock.
Melalui artikel ini saya akan berusaha untuk menyediakan ulasan singkat dan sederhana terhadap TPT. Saya akan menjelaskan isu ini dalam tiga bagian: pengenalan tentang TPT, penilaian positif, dan penilaian negatif. Di bagian akhir artikel saya akan memberikan saran praktis.
Tokoh utama di balik TPT adalah Brian Simmons. Dia dan isterinya, Candice, adalah misionaris yang melayani suku-suku terabaikan di Amerika Tengah selama 40 tahun. Dalam pelayanan tersebut mereka juga sudah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa suku. Setelah pelayanan misi tersebut mereka kembali ke Amerika Utara (USA) untuk memberikan seminar-seminar dan melakukan pelbagai pelayanan. Mereka cukup aktif menulis buku-buku rohani.
Pada suatu kali Brian Simmons mendapatkan perjumpaan supranatural dengan Yesus Kristus. Menurut penuturannya, Kristus menghembuskan nafas-Nya dan memerintahkan dia untuk membuat terjemahan Alkitab yang baru. Kristus juga berjanji akan memberikan kepadanya rahasia-rahasia tersembunyi dalam Bahasa Ibrani, Aramaik dan Yunani. Saat itu juga Brian merasa terjadi pengunduhan ajaib, seolah-olah sebuah chip dimasukkan ke dalam pikirannya.
Sesuai dengan filosofi penerjemahan yang tertulis dalam situs resmi maupun pengantar TPT, terjemahan ini lebih mengarah pada transfer makna daripada terjemahan hurufiah kata per kata. Yang dipentingkan adalah fungsi suatu ayat bagi pendengar, bukan padanan terjemahan hurufiah. TPT dimaksudkan untuk lebih menyentuh aspek emosi pembaca. Tata bahasa dan kosa kata yang dipilih dalam versi ini bukan hanya sangat kontemporer, tetapi juga sangat membangkitkan emosi seseorang.
Pada dirinya sendiri tidak ada yang salah dengan terjemahan Alkitab yang kurang hurufiah. Setiap terjemahan memiliki tujuan sendiri yang spesifik. Spektrum terjemahan juga cukup luas: dari terjemahan hurufiah yang terkesan kaku hingga terjemahan parafrase yang terkesan bebas. Masing-masing jenis terjemahan memiliki manfaat yang berbeda-beda.
Bukan hanya itu, terjemahan yang kurang hurufiah bahkan kadangkala lebih jelas dari sisi maksud penulis (meaning). Terjemahan hurufiah (padanan arti kata) kadang memang bisa membingungkan karena perbedaan budaya. Sebagai contoh, dalam 1 Samuel 24:3 LAI:TB memberi terjemahan “membuang hajat” (alias BAB). Terjemahan hurufiah dari istilah ini adalah “menutupi kakinya” (KJV/YLT). Dalam kasus ini terjemahan yang tidak hurufiah justru lebih jelas dan bermanfaat.
Ada beberapa contoh serupa dalam TPT. Frasa “miskin di hadapan Allah” (Mat. 5:3) diterjemahkan “kemiskinan rohani” (spiritual poverty). Praktek memecahkan roti yang menjadi kebiasaan jemaat mula-mula (Kis. 2:42) diterjemahan “berbagi perjamuan” (sharing communion). Deretan contoh ini tentu saja dapat diperpanjang. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus TPT memang membawa manfaat lebih bagi jemaat awam daripada terjemahan Alkitab yang lebih hurufiah.
Kerinduan TPT untuk menyediakan terjemahan yang lebih menyentuh emosi juga pada dirinya sendiri tidak salah. Allah bukan hanya menghendaki respons intelektual terhadap firman-Nya, melainkan juga secara emosional. Alkitab memerintahkan kita untuk mengasihi Allah secara holistik (hati, jiwa, kekuatan dan akal budi). Mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan melalui pembacaan kitab suci juga menjadi pengalaman hampir semua orang percaya. Alkitab memang seharusnya menyentuh emosi kita.
Terjemahan yang dihasilkan oleh satu orang (seperti dalam kasus TPT) juga pada dirinya sendiri tidak perlu selalu dinilai negatif. Jika yang menerjemahkan memang memiliki kemampuan biblika yang mendalam, pemahaman doktrin yang solid dan objektivitas yang memadai, hasil terjemahan bisa saja lebih bagus daripada hasil kerja tim yang mengadopsi teologi yang sama. Sebagai contoh, terjemahan Alkitab oleh John Wycliffe dari sisi doktrin lebih bisa dipercaya daripada Terjemahan Dunia Baru yang diterbitkan oleh organisasi Saksi-Saksi Yehuwah.
Terlepas dari beberapa penilaian positif di atas, saya memiliki banyak keberatan terhadap TPT. Beberapa sangat serius. Dalam artikel ini saya hanya akan menyinggung beberapa poin saja yang saya anggap paling penting.
Pertama, istilah “terjemahan” yang digunakan. Bagi yang sudah membaca TPT dan cukup menguasai Bahasa Ibrani/Yunani Alkitab akan langsung bisa mendeteksi bahwa dalam banyak hal TPT lebih mengarah pada penjelasan terhadap Alkitab daripada terjemahannya. Beberapa tambahan yang dimasukkan ke dalam TPT benar-benar tidak ada dalam teks asli Alkitab. Sebagai contoh, TPT menerjemahkan Mazmur 23:5 sebagai berikut: “Engkau menjadi pestaku yang lezat bahkan ketika musuh-musuhku berani untuk bertarung. Engkau mengurapi aku dengan harum Roh Kudus. Engkau memberi kepadaku segala yang aku dapat minum dari-Mu sampai hatiku berlimpah-limpah”. Bagi mereka yang menghafal Mazmur 23 di luar kepala dengan cepat akan melihat betapa bebasnya TPT memahami ayat ini. Ini parafrase, bukan terjemahan, Alkitab. Dalam istilah studi biblika, TPT tergolong targum.
Kedua, pengalaman mistis Brian. Walaupun saya percaya bahwa Tuhan bisa saja berbicara kepada seseorang secara khusus, tetapi saya sangat meragukan pengalaman supranatural Brian. Penilaian ini lebih didasarkan pada hasil terjemahan di TPT, bukan kualitas rohani Brian. Jika memang terjemahan ini dari Tuhan, mengapa dalam banyak hal tambahan makna yang disediakan justru tidak sesuai dengan teks asli? Mengapa berbeda dengan versi-versi lain yang juga ditulis oleh para ahli biblika yang mengasihi Allah?
Ketika perbedaan-perbedaan semacam itu muncul, kita dengan mudah mengetahui siapa yang bersalah terhadap teks Alkitab. Misalnya, Mazmur 23:1a diterjemahkan “TUHAN adalah sahabatku dan gembalaku”. Tidak ada satu terjemahan atau salinan kuno yang memberi dukungan bagi tambahan “sahabatku”. Seandainya tambahan ini ditarik dari keseluruhan Mazmur 23, tambahan ini tetap tidak bisa dibenarkan. Gambaran yang ada dalam mazmur ini adalah gembala (ayat 1-4) dan raja (ayat 5). Tidak ada indikasi apapun dalam teks yang menggambarkan persahabatan.
Ketiga, keyakinan berlebihan pada salinan Aramaik. Dengan keyakinan bahwa Yesus Kristus dan murid-murid-Nya berbahasa Aramaik, TPT banyak menyandarkan terjemahan mereka pada salinan Aramaik. Pada saat penerjemah TPT mendapati perbedaan bacaan pada manuskrip Ibrani/Yunani dan Aramaik, TPT lebih berpihak pada Aramaik.
Hal ini jelas bermasalah. Tidak ada alasan yang solid untuk menduga bahwa kitab-kitab PB pertama kali ditulis dalam Bahasa Aramaik. Dalam kasus surat-surat kiriman yang sebagian besar ditujukan pada jemaat yang non-Yahudi, para penulisnya jelas tidak mungkin menggunakan Bahasa Aramaik. Berdasarkan bukti tertulis yang tersedia, salinan tertua Alkitab dalam Bahasa Aramaik ditemukan pada abad ke-5 Masehi. Mengapa TPT tidak mendasarkan terjemahan pada salinan dan terjemahan kuno Alkitab dari abad ke-2 sampai ke-4 Masehi? Dari sisi ilmu kritik teks – yaitu ilmu yang bertujuan untuk merekonstruksi kata-kata asli Alkitab berdasarkan manuskrip kuno yang ada – sikap TPT tergolong sangat ceroboh. Kegagalan dari sisi ini membuat klaim TPT bahwa terjemahan mereka “ditafsirkan dari bahasa asli, yang memuat arti asli dan memberi ungkapan yang bisa dipercaya dari pesan asli Allah secara akurat” benar-benar patut diragukan.
Keempat, rujukan akademis. Di catatan kaki TPT disediakan beberapa penjelasan atau uraian tambahan. Salah satu yang cukup sering dimunculkan adalah rujukan pada para teolog biblika atau akar kata dalam bahasa kuno. Sayangnya, TPT tidak berani menyebutkan siapa yang dimaksud dengan “beberapa/banyak ahli” atau bahasa kuno yang dia maksudkan. Seandainya dia tidak membuat klaim akademis sama sekali, hal itu pasti tidak akan dipersoalkan. Ketika dia berani merujuk pada dunia akademis sebagai dukungan, dia sepatutnya memberi bukti yang lebih jelas supaya dapat diverifikasi. Ketika beberapa nama teolog biblika memang disebutkan (Craig Keener, Mike Bird, Gordon Fee, Douglas Stuart), para ahli itu ternyata telah disalahpahami oleh penerjemah TPT. Pandangan mereka telah ditarik terlalu jauh dan diletakkan pada konteks yang berlainan.
Kelima, proyek penerjemahan Alkitab seorang diri. Walaupun dalam situs resmi TPT Brian hanya disebut sebagai penerjemah utama, seluruh pemikiran TPT berasal dari dia. Bukankah itu sesuai dengan kesaksian Brian tentang perjumpaan yang spektakuler dengan Kristus? Nah, di sinilah letak persoalannya. Walaupun saya tidak anti terhadap proyek semacam ini – bahkan saya sendiri pernah memimpikan untuk melakukannya sendirian – proyek semacam ini memiliki keterbatasan dan bahaya. Tidak ada verifikasi dari orang lain. Subjektivitas penerjemah tidak bisa dicermati. Sangat lebih bijaksana apabila suatu terjemahan merupakan proyek bersama. Kalaupun hasil kerja seorang diri, akan menjadi lebih baik bila hasil awal tetap diujikan kepada beberapa orang yang mumpuni sebelum diterbitkan untuk umum.
Akhir kata, kita perlu lebih berhati-hati dengan TPT. Menggunakannya sebagai salah satu materi studi Alkitab tentu saja diperbolehkan, tetapi menggunakannya sebagai terjemahan Alkitab dalam saat teduh perlu untuk dipikirkan ulang. Klaim resmi TPT bahwa terjemahan mereka dapat dijadikan sebagai “tulisan utama dalam mempelajari firman Allah secara serius” patut dipertanyakan. Tambahan makna yang disediakan lebih berasal dari pemikiran Brian sendiri. Soli Deo Gloria.