Bagaimana Menyikapi Metaverse?

Posted on 26/12/2021 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/01/Bagaimana-Menyikapi-Metaverse.jpg Bagaimana Menyikapi Metaverse?

Kemajuan teknologi seolah-olah tidak mengenal tepi. Banyak inovasi baru bermunculan. Berbagai wacana pengembangan ke depan juga terus digulirkan. Salah satunya adalah metaverse.

Istilah ini dewasa ini menjadi semakin populer. Istilah yang terdiri dari dua kata ini (meta = di atas atau melebihi dan universe = alam semesta) merujuk pada dunia serba digital yang melampaui dunia fisikal yang biasa. Banyak ahli memperkirakan bahwa dalam kurun waktu beberapa dekade mendatang semakin banyak orang akan memilih hidup dalam metaverse. Pilihan ini dipercayai tidak terelakkan. Dunia semakin digital. Segala sesuatu akan digitalisasi. Manusia akan menghabiskan waktunya lebih banyak dalam dunia digital daripada dunia fisikal.

Dalam dunia yang baru nanti beberapa teknologi yang sekarang sedang dikembangkan akan menjadi lebih matang dan semakin tidak terhindarkan. Artifical intelligence (AI), virtual reality (VR), augmented reality (AR), dan hologram tidak lagi menjadi barang yang eksklusif bagi segelintir orang. Mesin digital akan menguasai dunia. Ke depan mungkin akan bermunculan berbagai teknologi digital baru yang selama ini tidak pernah terpikirkan.

Bagaimana orang-orang Kristen seharusnya mengantisipasi dan menyikapi metaverse? Apakah hal ini suatu hal yang positif atau negatif bagi manusia (terutama gereja)?

Sama seperti ilmu yang lain, teknologi digital merupakan wujud kreativitas manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah (Kej. 1:26-27). Manusia memang diberi kapasitas untuk mengembangkan kebudayaan. Dalam taraf tertentu, kreativitas dan potensi manusia mencerminkan Pencipta-Nya. Jadi, pada dirinya sendiri, kreativitas ini merupakan sesuatu yang baik. Yang dihasilkan dari kreativitas ini juga netral.

Metaverse berpeluang menghadirkan banyak kebaikan. Ada pemerataan informasi dan edukasi bagi semakin banyak orang. Segala sesuatu menjadi lebih efisien. Dunia hiburan menghadirkan semakin banyak pilihan dan kemudahan. Beragam keterbatasan akan dijembatani: kecacatan fisik tidak menghalangi seseorang untuk menjelajah seluruh dunia secara digital, perbedaan lokasi tidak lagi menghalangi, komunikasi jarak jauh menjadi semakin tampak nyata, dsb. Daftar kebaikan ini tentu saja masih bisa diperpanjang seiring dengan kemajuan yang ada di depan.

Walaupun demikian, kita juga perlu mengingat bahwa dunia kita sekarang tidak lagi seperti semula pada waktu diciptakan. Dunia telah jatuh ke dalam dosa. Gambar Allah dalam diri manusia mengalami kerusakan. Manusia tidak lagi sepenuhnya menggunakan kreativitas dan potensinya untuk memuliakan Allah.

Apapun usaha manusia untuk memenuhi kekosongan yang hanya bisa dipenuhi oleh Allah akan menghasilkan kekecewaan. Runtuhnya harapan manusia pada sains di era modernisme adalah salah satunya. Dulu banyak orang berharap bahwa sains akan semakin memudahkan hidup manusia. Teknologi dianggap sebagai segala-galanya. Beberapa orang bahkan dengan arogan bernubuat bahwa manusia-manusia modern tidak lagi membutuhkan Allah. Sains telah menggantikan peranan Allah. Perang dunia I dan II menghancurkan semua harapan palsu ini. Sains telah di(salah)gunakan oleh manusia untuk mendatangkan begitu banyak penderitaan. Pesawat tempur, kapal perang, senjata api, bom, dan meriam menjadi alat yang menakutkan dan mematikan.

Apakah tragedi ini menunjukkan bahwa sains pada dirinya sendiri adalah salah? Tentu saja tidak! Sains tetap netral. Tragedi ini mengingatkan kita bahwa sains bukan segala-galanya. Ciptaan dan karya mereka tidak mungkin menggantikan peranan Pencipta. Bukan hanya itu, manusia justru seringkali menjadi akar masalah yang sesungguhnya. Apa yang baik, dari tangan Allah, dengan segera menjadi buruk ketika berada di tangan manusia.

Hal yang sama akan berlaku pada metaverse. Walaupun ada banyak kebaikan yang dijanjikan, kita tidak boleh terlalu berharap bahwa dunia akan menjadi semakin baik. Selama dunia ini masih dihuni oleh orang-orang berdosa, kita tidak bisa terlalu yakin bahwa kita akan baik-baik saja. Teknologi yang semakin inovatif juga memberi ruang bagi kejahatan yang lebih canggih dan kehancuran yang lebih mengerikan.

Metaverse juga tidak mungkin memenuhi semua kebutuhan manusia. Kita diciptakan sebagai makhluk yang holistik (Kej. 2:18-25). Pada saat yang bersamaan kita adalah makhluk spiritual, emosional, fisikal, intelektual, dan sosial. Apa yang ditawarkan oleh metaverse tidak akan pernah memuaskan semua kebutuhan ini. Dunia digital hanyalah salah satu sarana, bukan penggenap kebutuhan eksistensial manusia. Sampai kapanpun manusia akan membutuhkan Allah (makhluk spiritual), sentuhan perasaan yang personal (makhluk emosional), pertemuan tatap muka yang nyata (makhluk fisikal) dan relasi yang intim dengan sesama (makhluk sosial). Metaverse hanyalah sarana, bukan solusinya.

Gereja dipanggil untuk mengkritisi dan mengantisipasi kedatangan metaverse. Bagaimana kita bisa memaksimalkan perkembangan teknologi digital yang ada? Bagaimana kita menyiapkan diri untuk melengkapi apa yang tidak bisa disediakan oleh metaverse? Bagaimana gereja seharusnya berperan jika dunia digital tersebut datang? Bagaimana Injil tetap diberitakan secara relevan sebagai solusi bagi persoalan fundamental dan pergumulan eksistensial manusia?

Bahkan keburukan yang dihasilkan dalam metaverse berpotensi menjadi kesempatan yang baik untuk memberitakan kabar baik. Salah satunya adalah krisis identitas. Dunia yang semakin digital dan virtual akan menghadirkan krisis ini. Kebangsaan tidak lagi membanggakan. Kesukuan tidak lagi dominan. Dunia akan semakin individual. Banyak orang bahkan akan mengalami kebingungan untuk mengidentifikasi diri sendiri, entah sebagai pribadi yang riil atau figur digital. Di tengah krisis seperti ini, Injil seharusnya memberikan jawaban dan penerimaan. Gereja seharusnya menangkap peluang. Kita tidak boleh melewatkan setiap kesempatan.

Masih banyak lagi peluang dan kesempatan yang akan bermunculan. Gereja harus menyiapkan diri dari sekarang. Gereja yang peka melihat tanda-tanda zaman akan dimampukan untuk mengevaluasi, mengikuti, dan memproyeksi arah zaman. Gereja yang profetik tidak akan mudah panik. Lagipula kita perlu mengingat bahwa Allah mengontrol segala sesuatu. Dia menopang segala yang ada dengan firman-Nya (Ibr. 11:3). Soli Deo Gloria.

Photo by julien Tromeur on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community