Alkitab memberikan kesaksian bahwa semua pemberian Allah di dunia adalah baik (1Tim. 4:4). Segala pemberian yang baik dan anugerah yang sempurna datangnya dari Bapa (Yak. 1:17). Teknologi merupakan salah satu karunia yang indah dari Dia.
Kemajuan teknologi komunikasi, salah satunya melalui media sosial, merupakan bukti keunikan manusia sebagai gambar Allah (Imago Dei). Sebagai gambar Allah manusia diciptakan untuk mengurusi bumi sebagai wakil Allah di bumi ini (Kej. 1:26-27). Manusia dibekali dengan kemampuan untuk mengembangkan kebudayaan. Bahkan setelah kejatuhan ke dalam dosa kemampuan ini tidak musnah (Kej. 4:20-21).
Ketertarikan manusia pada media sosial juga juga berkaitan dengan penciptaan. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Tidak baik manusia seorang diri saja (Kej. 2:18). Berdua lebih baik daripada seorang diri saja (Pkt. 4:9). Bersosialisasi merupakan kebutuhan intrinsik dalam diri setiap manusia.
Persoalannya, semua manusia sudah tercemar oleh dosa. Kita dengan mudah terjebak pada penyembahan berhala. Alih-alih mensyukuri teknologi komunikasi dan menggunakannya untuk kemuliaan Allah, manusia justru menjadikan ciptaan sebagai Pencipta (Rm. 1:21-23). Tidak dapat dipungkiri, bagi sebagian orang media sosial telah menjadi berhala.
Bagaimana tanda-tanda Anda sudah menjadikan media sosial sebagai berhala?
Pertama, jika Anda memanfaatkan media sosial untuk mendapatkan penerimaan atau pengakuan. Sudah bukan rahasia lagi jika sebagian orang memanfaatkan media sosial untuk menampilkan diri mereka yang berbeda daripada yang sebenarnya. Pencitraan bukan hal yang asing di media sosial. Selain pencitraan, sebagian orang juga menampilkan kesombongan melalui unggahan-unggahan tentang keberhasilan dan kekayaan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan penerimaan dan pengakuan dari banyak orang.
Sebagai Imago Dei, manusia memang berharga. Kesadaran tentang keberhargaan ini sebenarnya pada dirinya tidak salah. Namun, natur berdosa membuat kita mencoba mengisinya dengan sesuatu yang salah. Gambar Allah yang rusak oleh dosa seharusnya dipulihkan melalui karya penebusan Kristus, Sang Gambar Allah yang sempurna (Kol. 1:15; Ibr. 1:3). Kita semua diubahkan terus-menerus menjadi serupa dengan Dia (Rm. 8:29; Kol. 3:10). Restorasi dan transformasi di dalam Kristus inilah yang seharusnya mengisi kebutuhan kita terhadap penerimaan dan pengakuan. Dalam kenyataannya sebagian orang malah mencoba mengisinya dengan pencitraan di depan manusia. Media sosial dijadikan alat untuk memberi makan berhala penerimaan dan pengakuan.
Kedua, jika Anda mudah terbawa perasaan pada saat berselancar di media sosial. Sebagaimana yang kita ketahui, media sosial berperan lebih sebagai media komunikasi daripada informasi. Informasi apapun merupakan sebuah bentuk komunikasi yang memantik reaksi dan interaksi. Bagi sebagian orang, proses ini telah menjadi sangat menantang. Perasaan mereka mudah diombang-ambingkan oleh unggahan maupun tanggapan orang. Apakah kebahagiaan dipengaruhi oleh penambahan jumlah followers atau friends atau netizen? Apakah jumlah jempol atau hati (likes) serta komentar positif (comment) menentukan suasana hati Anda? Apakah Anda seringkali kesal dengan unggahan orang dan ingin memberikan tanggapan yang kasar? Apakah Anda mudah terganggu dengan komentar orang? Jika apa yang ada di media sosial telah mempengaruhi (apalagi menentukan) suasana hati Anda, mungkin ini saat yang tepat untuk berpuasa media sosial.
Ketiga, jika Anda sudah terlalu banyak menggunakan waktu untuk media sosial. Seberapa banyak layak disebut “banyak”? Menjawab pertanyaan ini jelas tidak mudah, tergantung pada kondisi masing-masing orang. Jika pekerjaan atau pelayanan seseorang sangat berkaitan dengan media sosial, dia pasti akan menggunakan waktu lebih banyak untuk berada di sana. Media sosial menjadi sebuah bagian tidak terpisahkan dari pelayanan atau pekerjaan.
Kuncinya di sini adalah pembedaan antara kebutuhan dan keinginan. Bahkan “kebutuhan” di sini juga perlu diselaraskan dengan kebutuhan untuk bersosialisasi secara personal di kehidupan riil. Jika Anda lebih asyik dengan media sosial sampai mengabaikan sosialisasi dengan orang-orang di sekitar, Anda mungkin perlu memikirkan ulang. Jika Anda berselancar di media sosial sampai melalaikan peranan, tanggung jawab, dan pekerjaan, Anda sebaiknya juga perlu mengurangi waktu berada di dunia maya. Jika hal pertama yang Anda lakukan setiap hari adalah mengecek media sosial, Anda perlu belajar mendisiplin diri untuk melawan godaan tersebut.
Sebagai penutup, inti dari semuanya ini adalah sikap hati berkaitan dengan apa yang terpenting dalam hidup ini. Jika Anda memahami dan mengakui keberhargaan Kristus dan kecukupan-Nya dalam hidup kita, tidak ada sesuatu apapun yang akan mendefinisikan siapa kita atau menentukan suasana hati kita. Penghiburan kita satu-satunya adalah fakta bahwa Kristus menjadi milik kita dan kita menjadi milik-Nya (Katekismus Heildelberg #1). Soli Deo Gloria.
Photo by Rami Al-zayat on Unsplash