Pada tahap awal pendampingan dan pemulihan ini, kita hanya perlu mengingatkan mereka bahwa hanya Bapa di sorga yang mampu memahami perasaan mereka. Bapa juga pernah pengalami kehilangan yang mendalam, yaitu tatkala Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, berteriak di kayu salib: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” (Mat 27:46). Sama seperti kematian melalui tragedi Air Asia QZ 8501, kematian melalui salib juga sangat tragis, karena sangat memalukan dan menyakitkan. Untuk sementara waktu, kebenaran ini saja yang perlu untuk disampaikan.
Hal lain yang kita bisa lakukan adalah berdoa. Walaupun terkesan klise, tetapi hal ini memang esensial. Penghiburan sejati hanya datang dari Allah melalui doa. Karena itu kita perlu mendoakan agar damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiran mereka (Flp 4:7). Kiranya Tuhan terus menerus menujukan hati mereka kepada kasih Allah dan ketabahan Kristus (2 Tes 3:5). Kiranya mereka dimampukan memahami kasih Allah walaupun kasih itu melampaui segala pengetahuan (Ef 3:19).
Apabila pergumulan emosional keluarga korban sudah lebih tenang dan pikiran mereka agak jernih, kita baru bisa menerangkan bahwa Alkitab menyediakan sebagian jawaban dari pergumulan mereka. Beberapa aspek lain tetap tidak terjawab. Ayub sendiri bahkan mengakhiri pergumulannya dengan sebuah pengakuan bahwa pikirannya terbatas untuk memahami pekerjaan Allah (Ay 42:3-4). Dia hanya tahu bahwa segala sesuatu bukan kecelakaan, melainkan rencana Allah (Ay 42:2), walaupun ia tidak tahu secara persis bagaimana rencana ilahi itu. Kepada Habakuk yang sedang mengalami kebingungan dan menanti jawaban TUHAN, Allah berkata: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Hab 2:4). Sekali lagi, tidak ada penjelasan tuntas. Selalu ada ruang untuk ketidaktahuan. Selalu ada ruang untuk beriman dalam ketidaktahuan kita.
Kebenaran-kebenaran teologis apa saja yang perlu kita sampaikan pada tahap ini? Pertama, kita perlu menjelaskan bahwa dalam dunia yang sudah tercemar oleh dosa ini, penderitaan dan kematian merupakan hal yang tidak terelakkan (Kej 3:16-19). Kita sebaiknya tidak kaget dengan semua hal yang buruk dalam dunia ini. Sebaliknya, kita justru membiasakan diri untuk dikagetkan dengan segala bentuk kebaikan yang masih ada di dunia yang sudah rusak ini. Semua kebaikan itu adalah anugerah Allah. Semua keburukan tersebut adalah kewajaran.
Kedua, kita perlu menjelaskan bahwa Allah tidak pernah berjanji bahwa orang-orang Kristen tidak akan mengalami celaka atau kematian. Peristiwa tragis tidak dikecualikan oleh Allah bagi kita. Tuhan Yesus dan para rasul bahkan menjalani beragam penderitaan dan kematian tragis. Jadi, bentuk kasih Allah bukan melulu ditunjukkan melalui kelepasan dari sebuah bencana atau kecelakaan. Tetapi, kasih Allah selalu dimanifestasikan melalui pemberian kekuatan dan penghiburan untuk kita (2 Tes 2:16-17).
Ketiga, kita perlu – sekali lagi – mengingatkan tentang solidaritas ilahi. Allah kita bukan Pribadi yang tinggal dalam kemuliaan yang besar dan terpisah jauh dari kita. Ia rela menjadi manusia (Yoh 1:14) dan menjalani semua penderitaan kita (Ibr 2:11-18; 4:15-16). Tidak ada satu penderitaan pun yang belum pernah Ia jalani. Jadi, Ia paling mengerti kesusahan kita.
Keempat, kita perlu menyatakan bahwa Allah pasti memiliki rencana yang baik di balik semua hal yang terjadi dalam kehidupan kita. Kita mungkin tidak tahu (dan tidak akan pernah tahu) bentuk konkrit dari kebaikan yang dijanjikan Allah. Kebaikan itu harus dilihat dari perspektif Allah. Dalam beberapa kasus, kebaikan itu tetap samar-samar dan tersembunyi di mata kita. TUHAN mengontrol segala sesuatu dan mengaitkan semuanya sebagai sebuah rencana yang tunggal dan global. Keterbatasan kita sebagai manusia kadangkala menghalangi kita melihat bagaimana setiap detil dalam dunia ini adalah saling terkait dan teratur di mata Dia.
Dalam beberapa kasus, kebaikan ilahi dinyatakan kepada kita. Sebagai contoh, di akhir pergumulannya yang menyedihkan, Yusuf bisa mengakui bahwa Allah telah mereka-rekakan segala sesuatu untuk kebaikannya dan realisasi rencana Allah bagi umat Israel (Kej 45:5-8; 50:20). Kepada bangsa Yehuda yang sedang dibuang ke Babel, TUHAN berfirman: “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yer 29:11).
Sebagai penutup, perjalanan rohani kita bersama Tuhan pasti selalu melibatkan iman dan pengetahuan (faith seeking understanding). Pengetahuan kita tentang Allah akan menguatkan iman kita. Sebaliknya, iman kita akan mengisi keterbatasan pengetahuan kita. Ada hal-hal yang kita bisa pahami dan percayai. Ada hal-hal yang kita perlu imani saja, sampai kita nanti menemukan jawabannya. Soli Deo Gloria.