Sejak wabah ini menjadi perhatian global, berbagai spekulasi penjelasan telah diberikan. Para tokoh agama juga turut berbicara. Ada seorang ustad yang menganggap virus ini sebagai tentara Allah untuk menghukum masyarakat China yang menganiaya umat Islam di Uighur. Pandangan senada diungkapkan oleh seorang pendeta di Amerika ketika virus ini membuat banyak pengunjung rumah ibadat orang Yahudi (synagogue) terpapar. Seorang pendeta lain - yang mengakui mendapatkan wahyu khusus dari Allah – berbagi keyakinan yang sama. Jadi, benarkah wabah ini hukuman dari Allah?
Di balik pandangan seperti di atas sebenarnya terdapat sebuah asumsi teologis bahwa semua kemalangan merupakan hukuman dari Tuhan. Ayat-ayat yang digunakan sebagai dukungan biasanya seputar kematian orang-orang yang dihukum oleh Allah: Saul (1Sam. 31), Akhan (Yos. 7), Ahab (1Raj. 22:36-40), dst. Untuk hukuman dalam cakupan yang lebih besar ayat favorit yang diajukan adalah kehancuran kerajaan Israel dan Yehuda. Ketidaktaatan mereka terhadap Taurat telah menyebabkan kehancuran bangsa mereka sendiri. Intinya, teologi di baliknya adalah teologi retributif yang sempit: taat = berkat, tidak taat = kutuk. Hal ini dianggap sebagai mekanisme ilahi. Tidak ada variasi atau modifikasi. Tidak heran, ketika sesuatu yang buruk terjadi – seperti wabah Covid-19 – hal itu dipandang sebagai hukuman dari Tuhan.
Penyelidikan Alkitab yang lebih teliti dan menyeluruh menunjukkan bahwa teologi retributif tidak boleh diterapkan pada semua kasus. Tidak semua yang buruk merupakan hukuman, demikian pula tidak semua yang terlihat baik adalah berkat Tuhan. Interaksi Allah dengan manusia tidak boleh dibatasi pada relasi yang retributif.
Ada penderitaan yang justru menjadi sarana untuk memuliakan Allah. Ketika murid-murid Yesus melihat seorang buta sejak lahir, mereka bertanya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh. 9:2). Yesus menjawab: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yoh. 9:3). Penderitaan Yusuf juga bisa dimasukkan ke dalam kategori ini. Dia harus mengalami berbagai ketidakadilan karena Allah sedang menyiapkan dia untuk memelihara kehidupan bangsa Israel (Kej. 45:5-8). Allah mereka-rekakan yang baik di balik semua kemalangan yang menimpa dia (Kej. 50:20).
Ada juga penderitaan yang bertujuan untuk memurnikan dan menumbuhkan iman seseorang. Contoh yang baik untuk poin ini adalah Ayub dan Asaf. Semua penderitaan yang menimpa Ayub (Ay. 1-2) dimaksudkan supaya dia mampu melihat Allah dengan cara yang baru (Ay. 42:1-6). Dia akhirnya menyadari bawa Allah ternyata jauh lebih besar daripada teologi retributif yang selama ini dia yakini (Ay. 42:5). Asaf sempat bingung menerapkan teologi retributif (Mzm. 73:1) pada keberuntungan orang fasik dan kemalangan dirinya (Mzm. 73:2-14). Akhirnya dia belajar bahwa yang terpenting bukanlah berkat-berkat Allah tetapi diri Allah sendiri (Mzm. 73:25-26). Menikmati persekutuan dengan Allah jauh lebih berharga daripada menikmati pemberian-pemberian-Nya (Mzm. 73:27-28).
Berangkat dari kekayaan perspektif Alkitab tentang penderitaan, kita tidak boleh gegabah menganggap wabah Covid-19 sebagai hukuman dari Allah. Beberapa pertimbangan berikut ini tampaknya menentang anggapan tersebut.
Pertama, Allah tidak mungkin melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik (Kej. 18:23). Hakim seluruh bumi tidak akan melanggar keadilan (Kej. 18:25). Buktinya adalah perlinduangan ilahi atas Lot dan keluarganya (Kej. 19). Jika sebuah wabah memang hukuman dari Allah, Dia akan meluputkan orang benar dari kemalangan itu (Mzm. 91:5-8).
Nah, Covid-19 ini mengenai siapa saja. Dampaknya juga ke mana-mana. Tidak ada kelompok masyarakat tertentu yang dikecualikan, termasuk anak-anak Tuhan. Entah berapa banyak anak-anak Tuhan yang menderita karena wabah ini. Beberapa yang meninggal dunia adalah orang Kristen yang sangat mengasihi Allah. Apakah ini berarti bahwa semua sedang dimurkai oleh Allah? Tentu saja tidak.
Kedua, hak untuk menilai baik atau buruk berada di tangan Allah. Sejak awal penciptaan, Alkitab mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak menilai sesuatu itu baik (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31) dan tidak baik (Kej. 2:18). Iblis menggoda Hawa untuk memiliki hak ini juga (Kej. 3:5-6). Dari situlah dimulai segala keburukan.
Godaan yang sama tampaknya beredar di mana-mana. Beberapa orang Kristen mencoba merampas hak itu dari Allah. Mereka merasa diri tahu dan pantas memberikan penghakiman.
Apakah wabah ini sesuatu yang buruk? Tergantung bagaimana seseorang menilainya. Dari sisi kematian dan dampak ekonomi, wabah ini jelas buruk. Dari sisi tumbuhnya solidaritas antar manusia dan kesadaran tentang kebersihan, wabah ini patut disyukuri. Mungkin masih banyak kebaikan-kebaikan lain yang muncul dari situasi yang buruk ini. Sebagai manusia kita tidak mungkin dapat menimbang seluruh faktor yang ada. Kita terbatas dalam melihat segala sesuatu sebagai sebuah sistem kehidupan global yang digerakkan oleh Allah. Biarlah kita menahan diri dari sikap sok tahu. Hanya Allah yang berhak untuk menentukan apakah situasi ini baik atau buruk.
Jika menilai situasi sekarang sebagai kebaikan atau keburukan saja kita tidak mampu, bagaimana kita dapat memastikan bahwa wabah ini adalah hukuman dari Allah? Siapa tahu hal ini merupakan berkat terselubung dari Dia? Siapa tahu jumlah kebaikan yang dimunculkan akan melampaui jumlah keburukannya? Hendaklah orang yang bijaksana menahan penghakimannya!
Ketiga, mengupayakan pertolongan bagi “yang terhukum” merupakan perlawanan terhadap Allah. Konsekuensi ini tampaknya jarang dipikirkan secara serius oleh mereka yang menganggap wabah ini sebagai hukuman. Seandainya wabah ini benar-benar hukuman dari Allah, maka siapa saja yang memberikan pertolongan pada korban pada dasarnya sedang melawan rencana Allah. Mereka menjadikan diri mereka sebagai musuh Allah! Apakah mereka yang meyakini wabah ini sebagai hukuman ilahi benar-benar siap untuk mengatakan bahwa para tenaga medis yang mati-matian menolong pasien sedang memusuhi Allah? Bagaimana dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan para pemerintah yang berjuang sekuat tenaga untuk mengatasi wabah ini? Konsekuensinya bisa diperpanjang lagi tanpa batas. Sebagai contoh: Apakah gereja perlu memberikan pertolongan bagi para korban yang sedang “dihukum” oleh Allah? Jika wabah ini adalah hukuman, bentuk sumbangsih apa yang seharusnya dilakukan oleh gereja?
Demi konsistensi, mereka yang memegang keyakinan di atas seharusnya bersukacita atas “hukuman ini”. Keadilan Allah telah dinyatakan. Mereka juga tidak usah takut akan tertimpa dampaknya. Wabah ini bukan untuk mereka. Mereka bahkan tidak perlu repot-repot membantu para korban. Biarlah para korban menanggung akibat dari kesalahan mereka sendiri. Apakah kita akan mengambil posisi ini? Tentu saja tidak, bukan? Ini jelas bukan kekristenan, tetapi kekonyolan.
Pada akhirnya saya ingin mengingatkan kita semua untuk tidak gegabah dalam memberikan pandangan atau sikap terhadap situasi yang pelik ini. Selama wabah ini melanda seluruh dunia, reputasi gereja sudah tercoreng di mana-mana. Kenaifan teologi, kecerobohan pastoral dan ketidakpedulian sosial dari sebagian pemimpin gereja telah menyebabkan beberapa gereja dan pertemuan Kristiani sebagai sumber penularan. Orang-orang yang tidak bersalah harus menanggung akibat dari kesalahan gereja. Ini sangat ironis! Bukankah seharusnya gereja meneladani Kristus yang rela menanggung kesalahan manusia pada diri-Nya? Mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Bukankah gereja seharusnya lebih sibuk memberikan kunjungan dan pertolongan kepada para korban sama seperti Kristus yang rela datang ke dunia untuk merengkuh dan mengalahkan penderitaan manusia? Gereja dipanggil bukan untuk menghakimi dunia. Kita dipanggil untuk membawa kasih karunia Kristus kepada mereka. Jangan sampai dunia justru muak dengan keberadaan gereja. Kiranya kemurahan Yesus Kristus, Sang Gembala Agung, cukup bagi gereja-Nya! Amin. Soli Deo Gloria.