Baru-baru ini ada sebuah unggahan di media sosial tentang kesalahan-kesalahan dalam penyalinan Alkitab. Unggahan ini tentang pertanyaan kritis seorang pemuda berkaitan dengan fenomena perubahan-perubahan dalam berbagai salinan kuno Alkitab. Menurut pemuda tersebut, upaya perubahan itu menyiratkan ketidakpercayaan para penyalin terhadap otoritas Alkitab sebagai firman Allah. Berdasarkan dugaan ini si pemuda merasa aneh bila orang-orang Kristen sekarang bersikukuh membela otoritas atau ketidakbersalahan Alkitab. Jika para penyalin di abad permulaan saja terkesan tidak memercayai ajaran doktrinal tersebut, untuk apa kita sekarang memegang dan membelanya?
Bagaimana kita menyikapi hal ini?
Penyelidikan yang komprehensif dan mendalam terhadap salinan-salinan kuno Alkitab menyiratkan bahwa dugaan si pemuda di atas terlalu sempit dan terburu-buru. Pertama, sebagaimana kita ketahui bersama, para penyalin kuno memang melakukan kesalahan-kesalahan tertentu selama proses penyalinan, baik yang disengaja (mengubah dengan alasan tertentu) maupun tidak disengaja (salah lihat, dengar, atau lainnya). Jenis kesalahan yang tidak disengaja jelas tidak menyiratkan apapun tentang keyakinan teologis seorang penyalin. Kesalahan jenis ini hanya mengungkapkan keterbatasan para penyalin.
Kedua, kesalahan-kesalahan yang disengaja juga tidak otomatis menyiratkan sikap yang rendah terhadap otoritas Alkitab. Dalam hal ini kita perlu memahami bahwa seorang penyalin mungkin sedang membandingkan antara satu salinan dengan yang lain. Dia kemungkinan besar tidak mengetahui atau memiliki naskah asli Alkitab. Apa yang diubah bukanlah naskah asli. Si penyalin hanya berusaha sebaik mungkin untuk memilih bacaan tertentu di suatu salinan yang menurutnya lebih sesuai dengan naskah asli. Jadi, persoalan ini lebih berhubungan dengan keyakinan atau keraguan terhadap akurasi bacaan di suatu salinan. Tidak ada hubungannya dengan keyakinan doktrinal penyalin terhadap otoritas Alkitab.
Ketiga, kesalahan-kesalahan yang disengaja seringkali didorong oleh motivasi yang baik. Dalam beberapa kasus para penyalin berusaha memberikan keterangan tambahan supaya pembacanya lebih mudah memahami Alkitab. Tujuan mereka justru untuk menghindari kesalahpahaman terhadap Alkitab. Walaupun motivasi yang baik memang tidak membenarkan tindakan, perubahan yang disengaja seperti ini tidak boleh ditafsirkan seolah-olah para penyalin tersebut tidak menghargai otoritas Alkitab.
Keempat, kesalahan-kesalahan yang didorong oleh motivasi doktrinal tertentu juga belum tentu menyiratkan konsep yang rendah terhadap otoritas Alkitab. Studi terhadap salinan-salinan kuno Alkitab menunjukkan bahwa beberapa penyalin kadangkala menambahkan sesuatu yang sesuai dengan teologi mereka ke dalam teks yang disalin. Sebagai contoh, sebuah salinan menambahkan kata “asketisisme” (gaya hidup menghindari semua kenikmatan dunia) di akhir Roma 14:17 (“Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus”). Perubahan seperti ini jelas keliru dan sangat disayangkan. Namun, apakah ini menyiratkan pandangan penyalin yang rendah terhadap otoritas Alkitab? Belum tentu. Dia mungkin sekadar ingin menegaskan pesan dalam ayat ini, terutama dalam kaitan dengan makanan dan minuman. Kerajaan Allah bukan tentang hal-hal lahiriah, seperti makanan dan minuman. Walaupun teologi dan gaya hidup asketis mungkin tidak tepat, tetapi penambahan nuansa asketis di ayat ini belum tentu menyiratkan doktrin Alkitab yang dipegang oleh penyalinnya.
Kelima, para penulis Perjanjian Baru (PB) juga seringkali mengutip Perjanjian Lama (PL) tidak secara persis kata per kata. Mereka yang pernah memelajari isu pengutipan PL dalam PB pasti mengetahui kebiasaan ini dengan baik. Penulis PB juga kadangkala mengutip dari tradisi teks PL yang berbeda, misalnya Septuaginta (LXX) atau teks Ibrani tertentu. Apakah pengutipan yang tidak persis seperti ini menunjukkan bahwa para penulis PB kurang menghargai atau mengakui otoritas PL? Tentu saja tidak, bukan?
Keenam, beberapa penyalin dan bapa-bapa gereja menyadari persoalan ini dan memberikan kritikan pedas maupun koreksi terhadap perubahan-perubahan yang dilakukan oleh penyalin sebelumnya. Mereka berusaha memberikan catatan di margin atau tanda tertentu jika mereka menemukan perubahan-perubahan yang tidak semestinya. Upaya ini jelas menyiratkan keseriusan mereka untuk mengikuti naskah asli Alkitab.
Terakhir, walaupun sebagian penyalin “mungkin” memiliki sikap doktrinal yang rendah terhadap otoritas Alkitab, hal itu tidak mewakili pandangan semua orang Kristen di abad permulaan. Penjelasan di poin keenam di atas memberikan dukungan untuk hal ini. Ada juga para penyalinan yang sangat serius dengan akurasi salinan.
Kiranya uraian sederhana dan singkat ini menolong kita untuk tidak terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu. Soli Deo Gloria.
Photo by Tanner Mardis on Unsplash