Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita sebaiknya mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud dengan “ibadah”. Dalam arti yang luas, seluruh hidup kita adalah ibadah kepada Allah (Rom 12:1). Tindakan-tindakan yang terkesan kurang ritual pun tergolong ibadah, misalnya mengunjungi janda dan anak yatim serta menjaga diri dari kecemaran (Yak 1:27). Dalam konteks seperti inilah, kita memaknai nasihat Paulus: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor 10:31). Dalam arti yang luas ini, perjalanan ke Israel dan semua tindakan keseharian kita merupakan ibadah kepada Tuhan.
Bagaimana pun, perjalanan ke Israel bukan ibadah dalam arti yang sempit (berkaitan dengan ritual atau kewajiban relijius yang merupakan persyaratan untuk kesempurnaan iman). Tidak ada satu teks pun di dalam Alkitab yang mengharuskan orang Kristen untuk berziarah ke Israel. Semua teks dalam Perjanjian Lama yang berisi seruan untuk pergi ke Yerusalem harus dipahami sesuai konteksnya. Pada waktu itu pusat ibadah dari umat Allah memang bait Allah di Yerusalem, sehingga sangat wajar apabila umat Allah didorong untuk berziarah ke Yerusalem.
Dalam Perjanjian Baru, banyak hal sudah berubah. Walaupun esensi ibadah tetap sama, namun ekspresinya mengalami perubahan. Sebagai orang Kristen, kita seyogyanya mengetahui bahwa semua ibadah dan perayaan di bait Allah telah digenapi di dalam Yesus Kristus sebagai bait Allah yang baru (Yoh 2:19-22). Berdasarkan kesempurnaan karya penebusan Kristus, semua orang Kristen dapat menghampiri Bapa dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:21-24). Artinya, ibadah kita tidak terbatasi oleh tempat dan ibadah kita harus dilandaskan pada Kristus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup (Yoh 14:6). Tempat, bahasa, dan arah doa tidak lagi mengikat orang Kristen. Menganggap perjalanan ke Israel sebagai keharusan bagi orang Kristen demi kesempurnaan iman mereka berarti merendahkan karya penebusan Kristus.
Kritikan yang sama berlaku atas orang-orang Kristen tertentu yang berusaha berziarah ke Israel untuk mendapatkan kuasa baru dari Allah. Mereka berusaha mendapatkan urapan baru melalui minyak zaitun, anggur Kana, maupun baptisan ulang di Yardenit. Kebiasaan-kebiasaan ini tidak berguna, bahkan sangat berbahaya. Kuasa kebangkitan Kristus memang akan diberikan kepada orang-orang Kristen, tetapi bukan melalui ziarah ke situs-situs Kristiani yang historis, melainkan melalui perubahan tujuan dan nilai hidup (Flp 3:4-11). Roh Kudus mendiami orang-orang percaya dan memberikan kuasa-Nya agar kita mampu menjadi saksi Kristus yang efektif (Kis 1:8).
Lalu bagaimana kita sebaiknya memaknai perjalanan ke Israel? Pertama-tama, maknailah kesempatan ini sebagai anugerah Allah. Tidak semua orang bisa bepergian ke luar negeri, apalagi ke tempat-tempat tertentu yang mengandung nilai sejarah yang penting. Mempunyai uang belum tentu memiliki waktu. Memiliki uang dan waktu belum tentu mempunyai kesehatan dan kesempatan. Adalah anugerah Allah yang indah apabila kita bisa bepergian ke Israel.
Kedua, maknailah kesempatan ini sebagai waktu bersama keluarga dan Tuhan yang berkualitas. Bagi sebagian orang, masa liburan merupakan momen kritis bagi kerohanian. Rutinitas hidup berubah untuk sementara waktu. Kedisiplin rohani pun seringkali diabaikan. Nah, perjalanan ke Israel merupakan momen kita menggabungkan keduanya: rekreasi bersama keluarga dan meditasi bersama Tuhan. Berbeda dengan perjalanan liburan ke tempat lain, tur ke Israel biasanya tetap diisi dengan renungan firman Tuhan setiap hari. Beberapa ibadah bahkan ditambahkan di situs-situs tertentu yang indah dan bermakna.
Ketiga, maknailah kesempatan ini sebagai sarana pembelajaran Alkitab. Salah satu bagian terpenting dalam perjalanan ke Israel adalah mempelajari latar belakang di balik setiap situs Kristiani yang penting dan mengenali budaya Yahudi secara lebih dekat. Dua hal ini sangat bermanfaat dalam pemahaman Alkitab. Apa yang hanya tersirat di dalam teks kadangkala menjadi lebih jelas tatkala kita mengetahui konteks historis, budaya, atau geografisnya.
Seandainya Anda memiliki uang, kesehatan, dan waktu, saya mendorong untuk mencari kesempatan bepergian ke Israel. Syukurilah kesempatan itu, namun jangan beri perjalanan itu tambahan makna rohani yang berlebihan dan tidak sesuai dengan prinsip Alkitab. Seandainya Anda tidak memiliki uang, kesehatan, dan waktu, Anda tidak perlu berkecil hati. Manfaatkanlah waktu liburan sebagai momen mengasingkan diri dari kesibukan dunia dan menenangkan diri bersama dengan Tuhan Yesus. Nikmatilah bait Allah yang sesungguhnya itu! Bersukacitalah di dalam Dia! Soli Deo Gloria.