Sehubungan dengan iman, batasan yang ada tampaknya sangat jelas. Batasan tersebut juga terlihat tidak dapat dikompromikan. Seorang Kristen sejati harus berpasangan dengan orang Kristen yang sejati pula. Tetapi, bagaimana dengan perbedaan doktrin? Satu iman, beda keyakinan. Apakah perbedaan ini penting untuk dipertimbangkan dalam suatu hubungan?
Doktrin merujuk pada kumpulan ide atau keyakinan yang dianggap benar. Dalam banyak hal, orang hidup sesuai dengan doktrin yang mereka pegang. Doktrin mempengaruhi penilaian, pengambilan keputusan, maupun sikap terhadap suatu keadaan.
Nilai penting doktrin dalam pacaran dan pernikahan tidak boleh diremehkan. Beberapa pertengkaran serius dalam pernikahan terjadi karena perbedaan doktrin. Sebagai contoh, ada sepasang suami – isteri yang sedang bertengkar hebat gara-gara anaknya sedang sakit keras. Sang isteri mendesak suaminya untuk mencari hutang dan membawa anak itu ke rumah sakit. Dia berpikir bahwa Allah dapat memberikan pertolongan melalui banyak cara. Sang suami menganggap tindakan itu sebagai hal yang tidak beriman. Dia yakin bahwa mujizat pasti terjadi. Dia memandang berhutang pada orang lain – tidak peduli alasan di baliknya – sebagai dosa, karena menyandarkan diri pada manusia.
Jika perbedaan doktrinal yang ada terlalu fundamental dan tajam, hal itu pada gilirannya akan berdampak negatif pada anak-anak. Kebingungan pasti menghinggapi pikiran mereka. Hal lain yang lebih meresahkan adalah sikap mereka terhadap perbedaan doktrinal. Di satu sisi, seandainya orang tua tidak pernah memusingkan perbedaan doktrin mereka, anak-anak bisa saja beranggapan bahwa doktrin manapun yang diyakini seseorang benar-benar tidak penting. Di sisi lain, jika orang tua sering bertengkar gara-gara doktrin, anak-anak bisa memandang doktrin sebagai sumber masalah yang sebaiknya dihindari.
Kesamaan doktrinal membantu suami dan isteri untuk bertumbuh secara rohani dengan lebih baik. Mereka mendengarkan khotbah yang sama. Mereka meyakini kebenaran-kebenaran yang sama. Mereka memandang segala sesuatu dengan kacamata yang sama.
Apakah kesamaan doktrinal menjamin tidak ada pertengkaran dengan pasangan? Tentu saja tidak. Keharmonisan tidak hanya ditentukan oleh aspek doktrinal. Ada banyak faktor lain yang turut berperan. Bagaimanapun, paling tidak, kesamaan doktrinal bisa mengurangi peluang pertengkaran dan menyediakan sebuah perspektif yang seragam dalam menyikapi persoalan. Doktrin bukan hanya objek pengetahuan, melainkan perspektif untuk mengetahui segala sesuatu.
Ada beberapa doktrin penting yang perlu diselaraskan. Yang paling mendasar adalah otoritas Alkitab sebagai standar kebenaran. Suatu kali ada seorang pemuda yang sangat “nge-roh” menjalin asmara dengan seorang pemudi yang cukup paham theologi. Si pemuda terbiasa mengandalkan apa yang dinamakan penglihatan, nubuat, atau bisikan roh dalam mengambil sebuah keputusan. Apa yang benar bagi dia adalah apa yang secara supranatural dinyatakan oleh Roh Kudus. Si pemudi mengandalkan kitab suci dalam segala sesuatu. Alkitab ditafsirkan dengan teliti sesuai maksud penulis Alkitab. Tidak asal dikutip untuk mendukung suatu gagasan. Semakin lama mereka menjalin hubungan, semakin mereka sadar bahwa perbedaan ini bukan sekadar perbedaan gereja atau cara ibadah. Ini perbedaan yang akan mempengaruhi seluruh kehidupan mereka secara signifikan. Hubungan mereka pun akhirnya kandas di bebatuan cadas.
Alkitab tidak anti terhadap hal-hal yang supranatural seperti penglihatan, nubuat, dan bisikan Roh. Walaupun demikian, Alkitab yang sama juga memberi peringatan yang keras bagi mereka yang suka berkanjang pada penglihatan (Kolose 2:18). Iblis seringkali menyamar sebagai malaikat terang (2 Korintus 11:14). Diperlukan kejelian dalam menguji setiap roh (1 Yohanes 4:1; 1 Tesalonika 5:20-21). Roh Kudus tidak mungkin memberikan penyataan yang bertentangan dengan firman Allah. Tugas Roh adalah mengingatkan segala sesuatu yang sudah diajarkan oleh Tuhan Yesus (Yohanes 14:26). Kitab suci adalah standar kebenaran yang sudah memadai bagi pertumbuhan rohani (2 Timotius 3:16-17). Orang Kristen tidak boleh tergila-gila dengan hal-hal yang tidak diungkapkan oleh Allah di dalam Alkitab (Ulangan 29:29).
Yang tidak kalah mendasar adalah keyakinan pada Allah Tritunggal. Satu hakikat, tiga pribadi. Satu Allah yang menyatakan diri dalam tiga pribadi.
Seseorang tidak mungkin menjadi orang Kristen yang sejati tanpa memegang keyakinan ini. Semua orang Kristen yang sejati mempercayai injil, sedangkan injil tidak terpisahkan dari doktrin Tritunggal: Bapa yang rela mengutus Anak-Nya ke dalam dunia, Anak Allah yang mati di kayu salib untuk menjadi pendamaian bagi dosa-dosa kita, dan Roh Kudus yang menerapkan keselamatan itu dalam hati kita pada waktu pertobatan.
Di samping itu, doktrin Tritunggal juga menjadi landasan yang kokoh bagi semua jenis relasi antar manusia, termasuk di antaranya adalah pernikahan. Sejak awal Allah memaksudkan pernikahan sebagai cerminan dari keintiman Allah Tritunggal. Kejadian 1:26-27 menunjukkan kejamakan sekaligus ketunggalan, baik dalam diri Allah maupun manusia. Kejamakan Allah terlihat dari ungkapan “Kita” maupun “gambar dan rupa” (ayat 26). Ketunggalan-Nya terlihat dari kata “gambar-Nya” (ayat 27). Ketunggalan manusia tersirat dari kata “manusia itu” (Inggris “man”) dan “dia” (ayat 27a), sedangkan kejamakannya ditunjukkan melalui “laki-laki dan perempuan” dan “mereka” (ayat 27b).
Kesamaan doktrinal berikutnya yang tidak kalah penting adalah fokus hidup yang theosentris. Theosentris berarti berpusat pada Allah. Dalam ungkapan yang lebih jelas, tujuan tertinggi manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya (Katekismus Westminster 1). Ini adalah satu tujuan dengan dua sisi: pada saat kita memuliakan Allah, kita mendapatkan kenikmatan sejati.
Kebenaran di atas mengajarkan bahwa kemuliaan Allah adalah motor penggerak sekaligus tujuan akhir dari segala sesuatu yang ada dalam kehidupan, termasuk dalam hal pacaran dan pernikahan. 1 Korintus 10:31 mengatakan: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah”. Roma 11:36 juga mengajarkan: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”.
Suatu kali ada sepasang suami – isteri yang memberikan kesaksian bagaimana kehidupan mereka berubah secara total sesudah mereka beribadah secara rutin di gereja yang baru. Mereka mengalami transformasi nilai hidup dan pembalikan tujuan hidup. Walaupun sudah beribadah cukup lama di gereja sebelumnya, mereka merasa kehidupannya hanya berfokus pada hal-hal duniawi yang menyenangkan diri sendiri: uang, kesuksesan, kemewahan, dsb. Hal-hal itulah yang terus-menerus dikhotbahkan di gereja yang lama. Oleh kemurahan Tuhan, pengajaran di gereja yang baru berhasil mengarahkan mereka untuk memikirkan Allah sebagai fokus dan tujuan kehidupan. Mereka mulai belajar untuk menyampahkan segala sesuatu yang duniawi yang selama ini dikejar-kejar. Tujuan pekerjaan berubah. Cara pandang terhadap uang berubah. Pemahaman tentang kebahagiaan hidup berubah. Semua ini jelas mempengaruhi kualitas pernikahan mereka.
Kesamaan doktrinal berikutnya adalah kesempurnaan karya penebusan Kristus bagi keselamatan dan pertumbuhan rohani. Alkitab secara tegas dan konsisten mengajarkan hal ini. Orang hanya dapat diselamatkan apabila beriman dalam hati dan mengaku dengan mulut bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang mati bagi dosa-dosa kita dan bangkit mengalahkan maut (Roma 10:9-10).
Sola Fide (hanya melalui iman saja). Perbuatan baik bukanlah syarat mendapatkan keselamatan. Perbuatan baik merupakan bukti bahwa seseorang sudah diselamatkan di dalam Kristus. Hanya iman yang menyelamatkan (Roma 1:16-17), bukan perbuatan baik atau ritual yang lain. Cara baptisan, entah diselam atau dipercik, tidak mempengaruhi keselamatan seseorang. Bisa berbahasa roh atau tidak juga sama sekali tidak menambah apa-apa pada keselamatan.
Solus Christus (hanya oleh Kristus saja). Kristus adalah mediator satu-satunya antara Allah dan manusia (1 Timotius 2:5). Bukan hanya dalam hal keselamatan, melainkan juga dalam doa. Dia menjadi Pembela (lit. “pendoa syafaat”) di surga (Roma 8:34). Kita tidak perlu berdoa melalui orang-orang kudus yang sudah meninggal dunia. Kita tidak boleh berdoa kepada Maria. Karya Kristus sudah sempurna untuk keselamatan dan kehidupan rohani kita. Menambahi dengan yang lain lagi berarti menyangkali kesempurnaan penebusan Kristus.
Kesamaan terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah relasi antara laki-laki dan perempuan. Apakah laki-laki harus berperan sebagai kepala atau posisi dan peranan itu dapat diambil alih oleh perempuan? Apakah konsep headship (laki-laki sebagai kepala) diajarkan sejak awal di dalam Alkitab ataukah konsep ini hasil dari keberdosaan manusia? Di tengah maraknya feminisme (suatu paham yang menekankan kemandirian perempuan dan penolakan segala bentuk perbedaan antara laki-laki dan perempuan), pertanyaan ini perlu dibereskan sejak awal. Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat menentukan kelanggengan dan keharmonisan sebuah hubungan.
Alkitab secara konsisten mengajarkan laki-laki sebagai kepala. Pada awal penciptaan Adam sudah diposisikan sebagai kepala. Hawa dijadikan dari dan untuk Adam (1 Korintus 11:8-9). Adam diberi wewenang untuk memberi nama kepada Hawa (Kejadian 2:23). Sesudah kejatuhan ke dalam dosa pun, posisi ini tidak diubah oleh Allah. Adam yang dituntut pertanggungjawaban oleh TUHAN (Kejadian 3:9-10). Wewenang Adam untuk memberi nama kepada Hawa tidak dicabut (Kejadian 3:20). Yang berubah sesudah kejatuhan ke dalam dosa adalah ini: dari headship menjadi rulership. Laki-laki yang seharusnya menjadi kepala, kini menjadi penguasa (Kejadian 3:16).
Berikut ini adalah beberapa tips penting dalam menyikapi perbedaan doktrinal dengan pasangan.
(a) Kenalilah keyakinan theologis seseorang dengan baik sebelum menyatakan cinta atau mengambil sebuah komitmen. Dalam hal ini, persahabatan sebelum pacaran memegang peranan vital.
(b) Jangan menuntut kesamaan doktrinal secara menyeluruh dan detil. Ada beberapa doktrin yang tidak langsung berpengaruh besar terhadap keselamatan maupun pernikahan, sehingga bisa diselaraskan pelan-pelan sambil berjalan.
(c) Jangan menilai seseorang berdasarkan label atau denominasi gereja. Tidak semua orang memahami dan menyetujui seluruh ajaran gerejanya. Yang dipentingkan adalah keyakinan orang itu, bukan ajaran gerejanya.
(d) Bicarakan dengan serius dan penuh kasih perbedaan-perbedaan doktrinal yang fundamental. Jangan menunda persoalan ini dengan harapan bahwa semua perbedaan itu akan hilang dengan sendirinya.
(e ) Tentukan batasan waktu yang jelas untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada.
(f) Tentukan strategi yang tepat sebagai solusinya. Saling mengunjungi gereja masing-masing, mendiskusikan buku-buku tertentu, menemui orang lain yang menguasai theologi secara mumpuni, atau mengikuti seminar-seminar theologi secara rutin bisa dijadikan beberapa opsi solusi.
(g) Jika penyesuaian doktrinal tetap tidak dapat dicapai, beranikan diri untuk mengakhiri hubungan secara baik-baik. Seseorang mungkin kehilangan orang lain sebagai pasangan, tetapi belum tentu kehilangan dia sebagai saudara seiman di dalam Kristus. Soli Deo Gloria.