Apakah Orang-orang Injili Perlu Belajar Teologi Liberal?

Posted on 11/04/2021 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/05/sarah-noltner-4U3d6u_p-fE-unsplash-scaled.jpg Apakah Orang-orang Injili Perlu Belajar Teologi Liberal?

Dikotomi antara Injili (teologi ortodoks) dan liberal (teologi progresif/konstruktif) sudah berlangsung sangat lama. Berabad-abad lebih tepatnya. Di setiap periode selalu ada tokoh representatif dari masing-masing pihak. Perdebatan jelas tidak terelakkan.

Situasi seperti ini kadangkala cukup membingungkan bagi mereka yang bukan teolog (akademisi). Saya beberapa kali ditanya oleh mahasiswa-mahasiswa teologi dari kalangan Injili: “Apakah kita perlu belajar teologi liberal?” Jawabannya saya selalu sama dan teguh: kita perlu belajar semua itu. Jawabannya ini bukan tanpa alasan.

Pertama, kita perlu belajar supaya bisa memahami dengan benar. Walaupun kita mungkin tetap tidak sepaham, kita harus benar-benar paham. Jangan sampai ada gambaran karikatur tentang mereka. Jangan sampai kita mengevaluasi posisi mereka tanpa benar-benar memahami apa yang menjadi esensi, presuposisi dan metodologi di balik pemikiran mereka (kekeliruan ini dalam logika seringkali disebut “strawman fallacy”).

Kedua, kita perlu belajar untuk menajamkan teologi kita sendiri. Perbedaan adalah kekayaan. Pertentangan seringkali menjadi berkat terselubung. Melalui pandangan yang berseberangan, kita dipaksa untuk menemukan area apa yang selama ini kita tidak terlalu perhatikan (blind spot). Kita juga dikondisikan untuk menajamkan kembali argumentasi kita.

Ketiga, kita perlu belajar untuk mendapatkan pemikiran yang baru. Perbedaan yang fundamental pada tingkat presuposisi teologi maupun metodologi seringkali menghasilkan perbedaan penafsiran dan konstruksi teologi yang signifikan. Apa yang diusulkan oleh kelompok liberal kadangkala cukup mengagetkan. Dari kacamata tradisi Injili, pandangan mereka tidak jarang berada di luar kotak (out of the box). Walaupun kita tidak harus berganti haluan, belajar hal-hal baru tidak pernah merugikan.

Keempat, kita perlu belajar supaya bisa mengapresiasi inovasi dan kreativitas pemikiran mereka. Pernyataan ini tentu saja tidak menyiratkan bahwa teologi Injili cenderung tidak inovatif atau kreatif. Walaupun demikian, harus diakui, kelompok liberal lebih berani menelurkan ide-ide baru tanpa kuatir diberi label “sesat.” Mereka sangat eksploratif, terutama dalam metodologi. Pendekatan mereka juga lebih variatif.

Bagi sebagian orang Injili, pendapat saya di atas mungkin bisa dianggap berbahaya. Mereka kuatir sebagian mahasiswa teologi Injili akan beralih haluan. Dalam taraf tertentu kekuatiran semacam ini dapat dimaklumi. Salah satu alasan mengapa dulu saya menjadi ateis pada waktu studi teologi adalah perjumpaan saya dengan tulisan-tulisan liberal. Berbagai pertanyaan dan pergumulan terhadap Alkitab “semakin diteguhkan” oleh tulisan-tulisan itu yang meragukan Alkitab sebagai firman Tuhan.

Walaupun resiko memang ada, kekuatiran ini tidak perlu dibesar-besarkan. Dalam konteks sekarang perjumpaan antar pandangan menjadi semakin tidak terelakkan. Lebih baik secara intensional memerkenalkan pandangan liberal kepada para mahasiswa teologi Injili daripada membiarkan mereka mengalami perjumpaan sendiri.

Yang penting untuk dilakukan adalah mengingatkan mereka bahwa semua orang pasti memiliki tradisi, fondasi, presuposisi dan metodologi dalam berteologi. Sebagai orang Injili, kita juga memiliki semua muatan ini. Demikian pula dengan kelompok liberal. Jika setiap mahasiswa teologi Injili dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang hal-hal ini, mereka akan mampu menemukan perbedaan hakiki antara teologi Injili dan liberal. Mereka memiliki bekal yang cukup untuk mengenali keunikan teologi mereka sendiri. Dengan demikian mereka juga akan memiliki saringan untuk mengevaluasi pandangan yang berseberangan. Entah ke depan mereka memegang pandangan yang mana, itu urusan pribadi mereka. Yang penting kita sudah membekali mereka secara memadai sambil berharap bahwa mereka akan tetap berada di haluan kita. Soli Deo Gloria.

Photo by Sarah Noltner on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community