Beberapa hari yang lalu orang-orang Kristen di dunia, terutama di Amerika, dikagetkan dengan berita kematian Jarrid Wilson. Dia adalah salah satu asisten pendeta dari gereja besar Harvest Christian Fellowship di California, USA. Pada usia 30 tahun dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Banyak orang bertanya-tanya: Bagaimana mungkin seorang pendeta mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Bukankah dia sendiri menjadi penggerak Anthem of Hope, sebuah pelayanan untuk orang-orang yang mengalami depresi? Mengapa Jarrid sendiri gagal mengatasi depresi dalam dirinya?
Di tengah situasi sedih seperti ini, sayangnya masih ada sejumlah orang Kristen yang terlalu naif atau tidak paham terhadap isu ini. Menurut mereka, dengan iman maka semua persoalan akan hilang. Akibatnya, mereka mudah menghakimi sesama orang Kristen yang mengalami depresi sebagai orang-orang yang kurang beriman atau terlalu banyak mengandalkan diri sendiri.
Terlepas dari bagaimana saya dan Anda memahami nasib orang yang bunuh diri (silakan baca artikel saya yang lain tentang topik ini), orang Kristen sebaiknya lebih berempati terhadap mereka yang mengalami depresi sebagai bentuk gangguan mental tertentu (anxiety disorder, OCD, PTSD, dsb). Sikap menghakimi menunjukkan ketidaktahuan (ignorance) dan kesombongan (arrogance). Kita perlu menyadari bahwa orang-orang Kristen yang mengalami gangguan mental adalah riil. Begitu pula dengan iman mereka kepada Yesus Kristus. Sebagian dari mereka yang saya pernah jumpai di ruang konseling adalah orang-orang yang sungguh-sungguh ingin mengasihi Tuhan dengan seluruh kehidupan mereka. Hanya saja, upaya ini seringkali dimentahkan oleh keterbatasan mereka secara mental (psikologis).
Ada beberapa alasan mengapa gereja perlu lebih terbuka dan berani untuk merengkuh orang-orang Kristen seperti ini. Yang pertama, depresi bisa menyerang siapa saja. Beberapa tokoh hebat dalam Alkitab pernah mengalami keputusasaan. Elia ingin cepat-cepat mati (1Raj. 19:4). Yeremia mengutuki kelahirannya (Yer. 20:14-15). Paulus terbebani dengan pelayanannya yang begitu keras sehingga dia kehilangan harapan (2Kor. 1:8).
Alkitab tidak dihuni oleh tokoh-tokoh hebat. Bahkan mereka yang sering dipakai oleh Allah untuk mengadakan mujizat juga tidak kebal terhadap keputusasaan. Alkitab diisi oleh manusia-manusia lemah yang dihiasi oleh kemurahan dan kekuatan Allah. Sangat konyol dan sombong jikalau seseorang berani menghakimi sesama orang percaya yang bergumul dengan depresi.
Yang kedua, dosa telah merusak seluruh elemen kehidupan manusia. Pikiran, pengertian, perasaan, perkataan dan tindakan sudah diracuni oleh dosa (Rm. 3:10-18; Ef. 4:17-19). Tidak ada satu elemenpun yang kebal. Semua orang memiliki disposisi tertentu dalam dirinya. Ada yang lemah di bidang seksual, fisikal, maupun mental. Setiap orang mengahadapi kehancurannya sendiri-sendiri.
Jika doktrin ini memang benar, bukankah sudah wajar apabila kita mendapati orang Kristen yang bergumul dengan disposisi mental? Jika bayi Kristen ada yang mengalami cacat sejak lahir, mengapa seorang bayi Kristen tidak mungkin memiliki kecenderungan besar terhadap gangguan mental? Jika tidak semua penyakit fisik disembuhkan secara mujizat oleh Tuhan, atas dasar apa kita meyakini bahwa semua gangguan mental akan diselesaikan dalam sekejap oleh Tuhan? Allah memiliki pertimbangan sendiri untuk setiap orang.
Yang pasti, Allah selalu menyediakan penyertaan dan pertolongan. Dia bisa memakai komunitas yang mendukung bagi pemulihan orang-orang dengan gangguan mental. Dia bisa menggunakan konselor dan hamba Tuhan untuk menemani dan memberikan terapi. Dia bisa memakai psikiater untuk menyediakan obat penenang atau anti-depresan.
Bagi Anda yang mengalami depresi, bertahanlah. Terbukalah tentang kelemahanmu kepada orang lain yang mengerti pergumulanmu. Ingatlah bahwa tidak semua orang akan menghakimimu. Peganglah terus pengharapanmu di dalam Tuhan Yesus. Dia yang memiliki kata terakhir dalam hidupmu. Dia sudah membereskan persoalanmu yang terbesar, yaitu dosa. Dia sudah mengalahkan ketakutanmu yang terbesar, yaitu kematian. Bertahanlah. Soli Deo Gloria.