(Lanjutan tgl 20 Januari 2019)
Kekristenan selalu menekankan esensi dari suatu perintah atau larangan. Wujud dari perintah/larangan bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan konteks dan jaman, tetapi nilai teologis dan moral yang melandasinya tetap sama. Contoh yang paling jelas untuk hal ini adalah penafsiran Yesus terhadap Hukum Taurat di Matius 5:17-48. Dia tidak meremehkan, apalagi membatalkan Taurat. Dia hanya menunjukkan esensi dari semuanya itu. Sebagai contoh, inti perzinahan tidak terletak pada kontak fisik melainkan sikap hati (Mat. 5:27-28). Pada tingkat yang paling fundamental, dasar moralitas adalah sifat Allah sendiri. Jikalau Allah adalah sempurna, maka semua umat-Nya juga seharusnya demikian (Mat. 5:48). Ini semua berbicara tentang esensi.
Pemahaman tentang esensi akan memampukan orang-orang Kristen untuk memilah dan memilih gaya hidup dengan tepat. Kekristenan bukan sekolot yang dipikirkan banyak orang. Selama esensi dijaga, wujudnya bisa fleksibel. Pendeknya, kekristenan bukan agama legalistik. Pahami esensinya, aplikasikan sesuai konteks masing-masing.
Yang terakhir, pertanyaan “Apakah menjadi orang-orang Kristen membosankan?” sebenarnya didasarkan pada sebuah asumsi yang keliru. Mereka berpikir bahwa gaya hidup yang glamor dan bebas tidak akan membawa orang pada kebosanan. Hal ini tentu saja tidak benar. Banyak orang yang mengalami depresi walaupun mereka sudah mencoba hidup sebebas mungkin. Bahkan orang-orang yang di luar terlihat sangat ceria, tidak jarang adalah orang-orang yang paling berduka. Keceriaan hanya ditunjukkan di tengah keramaian dan kebersamaan, tetapi ada kesendirian yang mendalam di tengah kesepian. Orang-orang semacam ini kadangkala justru lebih sering merasa bosan dengan hidupnya daripada orang-orang lain yang hidupnya wajar-wajar saja.
Bagi orang-orang Kristen yang sejati, kekristenan tidak pernah membosankan. Kekristenan itu tentang relasi. Relasi dengan Allah Tritunggal yang tidak terbatas, begitu sempurna, indah, dan penuh cinta. Perjumpaan dengan Dia tidak mungkin membawa kebosanan. Perjumpaan ini justru menjadi pemenuhan sempurna dari pergulatan eksistensial manusia tentang penerimaan, pengakuan, penghargaan, dan kasih sayang. Jika hidup kita sudah utuh di dalam Kristus Tuhan, bagaimana kita bisa memiliki hidup yang membosankan? Tidak mungkin! Soli Deo Gloria.