Dalam Perjanjian Lama, setidak nya ada beberapa kalimat yang memakai kata ‘KITA” untuk merujuk pada Allah:
Kej. 1:26 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."
Kej. 3:22 Berfirmanlah TUHAN Allah: "Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; maka sekarang jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya." (Gen. 3:22 ITB)
Kej. 11:7 Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing."
Yes. 6:8 Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku (Ibrani : KAMI)? Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!"
Mengapa Allah memakai kata KITA dan bukannya AKU? Dan apa signifikansi penggunaan kata KITA yang dikenakan pada Allah? Kali ini pembahasan KAMI/KITA akan difokuskan pada Kej. 1:28. Bagaimana memahami KITA yang seakan merupakan bentuk jamak untuk panggilan Allah kepada dirinya sendiri.
Dalam memahami penggunaan KITA ini, akan ditampilkan lebih dahulu berbagai penafsirannya lalu ditampilkan jawaban dari penafsiran ini.
Pertama, bentuk jamak sebagai sisa-sisa mitos politeistik yang gagal dihapuskan atau dimodifikasi secara sempurna oleh editor/redaktur Kitab Kejadian. Pandangan ini merupakan usulan dari teolog liberal yang menganggap agama Israel merupakan perkembangan dari politeisme. Mereka juga meyakini bahwa Kitab Kejadian merupakan upaya penulis Israel untuk menentang dan memodifikasi sumber-sumber kuno yang politeistik.
Dugaan di atas dengan mudah dapat dipatahkan. “Keteledoran” editor dalam menghilangkan unsur poletistik jelas sulit untuk diterima apabila kita mengaitkannya dengan nuansa polemis yang kental melawan politeisme di 1:1-2:3. Di samping itu, penggunaan bentuk tunggal di 1:27 – tepat satu ayat setelah “teks politeistik” – membuat dugaan liberal di atas gugur dengan sendirinya. Tidak mungkin seorang editor yang “sukses” mengubah unsur politeistik di 1:27 ternyata gagal melakukan hal yang sama di 1:26. Pemunculan bentuk jamak di bagian lain Kitab Kejadian juga melemahkan teori ini, karena hal itu menunjukkan betapa buruknya kualitas si editor sampai-sampai ia gagal beberapa kali dalam kitab yang sama. Akhirnya, kita juga perlu mempertimbangkan tradisi penafsiran Yahudi terhadap teks ini. Seandainya teks ini merupakan unsur politeistik yang gagal dihapuskan dari kitab suci mereka, mengapa mereka masih memelihara bagian ini? Pandangan liberal dalam hal ini hanyalah kesombongan orang-orang modern yang selalu memandang diri lebih pandai dan teliti daripada orang-orang kuno.
Kedua, bentuk jamak merujuk pada Allah dan ciptaan lain, terutama langit dan bumi. Argumen yang seringkali dipakai sebagai dukungan adalah ucapan ilahi di 1:3-25 yang ditujukan pada ciptaan lain, misalnya bumi (1:24). Hal ini diperkuat dengan ayat lain yang menunjukkan bahwa manusia memang dibentuk dari tanah liat (2:5-7). Bertolak dari contoh ini, sebagian penafsir melihat 1:26 sebagai dialog antara Allah dan ciptaan lain.
Bersambung………