Salah satu ajaran yang cukup menonjol dalam Perjanjian Lama adalah konsep tentang berkat dan kutuk. Jika kita taat, kita akan mendapatkan berkat (baca: hal-hal yang baik). Jika kita tidak taat, kita akan mendapatkan kutuk (baca: hukuman). Salah satu bagian Alkitab yang terkenal adalah Ulangan 28-30. Bangsa Israel diperhadapkan pada dua pilihan: berkat atau kutuk. Semua ditentukan oleh sikap mereka terhadap perintah-perintah TUHAN (taat atau tidak taat).
Sekilas ajaran ini bertabrakan dengan Injil. Dasar ketaatan kita adalah kasih kepada Allah (Mat. 22:36-40). Motivasi di balik ketaatan kita bukan ketakutan terhadap hukuman maupun keinginan untuk mendapatkan balasan dari Tuhan. Jika benar demikian, bagaimana kita memahami konsep tentang berkat dan kutuk di atas? Apakah prinsip teologis ini masih berlaku?
Tentu saja! Tidak ada satu bagian terkecil dalam kitab suci yang dibatalkan (Mat. 5:18). Perintah Allah berlaku sampai kekekalan. Namun, ada beberapa penjelasan penting yang perlu dipahami dan digarisbawahi.
Pertama, secara esensi ajaran berkat dan kutuk masih berlaku. Dalam hal ini kita perlu memahami maksud di baliknya. Berkat dan kutuk tidak dimaksudkan sebagai sebuah transaksi, melainkan relasi. Allah menginginkan umat-Nya dalam keadaan baik-baik saja, karena itu Dia memberitahukan jalan menuju ke sana. Jadi, yang melandasi konsep tersebut adalah kasih Allah kepada umat-Nya.
Poin di atas selaras dengan seluruh bagian kitab suci. Sebagai contoh adalah pemberian Dasa Titah (Kel. 20). Sebelum Allah memberikan perintah-peruntah-Nya, Dia mengungkapkan kebaikan-Nya. Dia adalah TUHAN yang membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir (Kel. 20:2). Dengan kata lain, kebaikan Allah mendahului ketaatan manusia.
Kedua, berkat dan kutuk tidak boleh dilihat sebagai retribusi yang sempit. Banyak orang memahami berkat dan kutuk secara mekanis (A pasti menghasilkan B). Semua sudah baku. Tidak heran, mereka yang memegang pandangan seperti ini akan mengalami kesulitan ketika berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan padahal mereka sudah menunjukkan kesalehan. Pergumulan Asaf merupakan contoh konkrit yang baik (Mzm. 73). Dia mengalami kebingungan ketika melihat kehidupan orang-orang fasik yang baik-baik saja, sementara orang-orang sering kena tulah. Pergumulan Ayub juga bersentuhan dengan konsep yang sama. Bagaimana bisa seorang yang saleh mengalami celaka? Akhirnya Ayub menyadari bahwa Allah melebihi kotak-kotak retribusi sempit yang dia kenal secara tradisional dari banyak orang.
Konsep di atas memang tidak sesuai dengan keseluruhan Alkitab. Berkat dan kutuk dijalankan oleh Allah secara dinamis. Ada peranan anugerah di sana. Sebagai contoh, Allah tidak selalu membalas setimpal dengan kesalahan kita (Mzm. 103:10-11). Di tengah kegagalan manusia Allah tetap menunjukkan kasih karunia-Nya. Contoh yang terjelas adalah kejatuhan Adam dan Hawa (Kej. 3). Mereka berdua tidak taat. Setelah jatuh ke dalam dosa mereka bukannya mencari Allah, tetapi malah melarikan diri dari Dia (Kej. 3:7-8). Ketika ditanya oleh Allah, Adam malah menyalahkan Allah dan Hawa (Kej. 3:12). Menariknya, semua kegagalan ini tidak menghalangi Allah untuk mencari mereka (Kej. 3:9), memberikan janji yang indah (Kej. 3:15) dan menutupi akibat dosa mereka (Kej. 3:21).
Ketiga, berkat dan kutuk lahir dari kedaulatan dan kebaikan Allah. Sebagai Pencipta, Allah berhak mendapatkan ketaatan sepenuhnya dari semua ciptaan. Allah tidak harus membalas ketaatan itu dengan pemberian apapun. Hal itu sudah sepatutnya. Sebagai ciptaan kita seharusnya berkata: “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan” (Luk. 17:10).
Dalam kebaikan dan kedaulatan-Nya Allah telah menetapkan prinsip berkat dan kutuk. Dia tidak harus melakukannya, tetapi Dia dengan senang hati menetapkannya bagi kita. Jadi, kita tidak boleh menjadikan ketaatan sebagai alat untuk mendapatkan kebaikan TUHAN. Ini sikap yang terbalik. Ketaatan kita tetap harus dilandaskan pada satu hal: kebaikan TUHAN. Ketika kita menerima sesuatu yang baik dari Allah atas ketaatan kita, hal itu merupakan kasih karunia. Bukan jatah, tetapi anugerah. Soli Deo Gloria.