Apakah Homoseksualitas Hanya Sekadar Tidak Wajar (Roma 1:26-27)?

Posted on 28/03/2021 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/05/Apakah-Homoseksualitas-Hanya-Sekadar-Tidak-Wajar-Roma-1-26-27.jpg Apakah Homoseksualitas Hanya Sekadar Tidak Wajar (Roma 1:26-27)?

Salah satu teks Perjanjian Baru yang paling eksplisit menyinggung tentang homoseksualitas adalah Roma 1:26-27. Dalam bagian ini Paulus tidak hanya menempatkan homoseksualitas sebagai salah satu di antara sekian banyak dosa, melainkan sebagai bukti bahwa Allah telah menghukum kebebalan manusia dengan cara “menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan” (ayat 26a). Jadi, homoseksualitas merupakan akibat dari dosa penyembahan berhala yang sudah tidak bisa ditolerir lagi (ayat 25).

Di mata para pendukung LGBTQ teks ini tidaklah seserius yang baru saja dijelaskan. Mereka menafsirkan kata “tidak wajar” di sana hanya sebatas tabu belaka. Sekadar tidak wajar dalam kultur tertentu. Pada dirinya sendiri mungkin tidak keliru. Hanya kurang sesuai dengan norma yang berlaku di suatu budaya. Seiring dengan semakin berkembang dan terbukanya budaya-budaya dunia, homoseksualitas tidak lagi pantas dikategorikan “tidak wajar.”

Benarkah demikian? Apakah cuma sebatas itu?

Penyelidikan yang lebih cermat tampaknya tidak berpihak pada penafsiran ulang seperti itu. Hampir semua versi Bahasa Inggris secara tepat menerjemahkan physikos dan physis dengan “alam” (nature). Dosa homoseksualitas bukan hanya menabrak budaya atau etika, melainkan bertentangan dengan alam. Tindakan ini tidak natural.

Lebih jauh, konteks secara keseluruhan juga memberi petunjuk yang cukup jelas bahwa Paulus memikirkan “alamiah” di sini dalam kaitan dengan penciptaan. Ayat 19-20 berbicara tentang penyataan diri Allah melalui ciptaan (ayat 20b “dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan”). Allah ditampilkan sebagai Pencipta yang seharusnya disembah (ayat 25). Frasa “burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar” menyiratkan penyebutan yang mirip dengan itu di kisah penciptaan (Kej. 1).

Kita juga perlu memerhatikan ide tentang “menggantikan” yang muncul berkali-kali dalam bagian ini: Pencipta digantikan makhluk sebagai objek penyembahan (ayat 23), kebenaran Allah digantikan dengan dusta (ayat 25), persetubuhan yang alamiah digantikan dengan yang tidak alamiah (ayat 26). Jika kita serius menerima kesejajaran ini, kita akan melihat bahwa penggantian praktek seksual di ayat 26-27 sejajar dengan penggantian antara kebenaran dan dusta, antara Pencipta dan makhluk. Dari analogi ini terlihat bahwa homoseksualitas bukan hanya tabu, tetapi dusta; bukan sekadar tidak wajar, tetapi melawan kebenaran. Secara khusus, kebenaran ini berhubungan dengan status Allah sebagai Pencipta. Dengan kata lain, keterkaitan dengan kisah penciptaan sangat sukar untuk dibantah dalam bagian ini.

Upaya beberapa penafsir pro-LGBTQ untuk membatasi larangan terhadap praktek homoseksual di sini pada jenis relasi homoseksual tertentu (misalnya dengan keterpaksaan, dalam konteks penyembahan di kuil, dsb.) tidak dapat dibenarkan. Alasan Paulus bersifat transkultural, yaitu penciptaan. Apapun jenis relasi dan situasi praktek homoseksual, hal itu tetap bertabrakan dengan alam. Jadi, homoseksualitas bukan hanya tabu, tidak wajar, atau kurang selaras dengan etika, tetapi bertabrakan dengan aturan alamiah yang sudah ditetapkan oleh Allah dalam penciptaan. Soli Deo Gloria.

Photo by Ben White on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community