Banyak daerah sudah mulai tidak memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Beberapa pemimpin daerah bahkan sudah mengeluarkan surat edaran dan panduan protokol kesehatan untuk ibadah bersama secara ragawi. Banyak gereja menyambut keputusan ini dengan penuh antusias. Beberapa bahkan sudah mengumumkan pembukaan kembali ibadah bersama secara ragawi.
Bagaimana kita menyikapi kelonggaran ini? Perlukah kita segera membuka ibadah bersama?
Jawaban yang kaku dan representatif bagi semua gereja jelas sukar untuk ditemukan. Setiap gereja memiliki keunikan masing-masing. Tidak semua gereja berada di zona aman atau berbahaya. Tidak semua gereja memiliki luas ruangan dan jumlah jemaat yang sama. Tidak semua gereja melaksanakan tata ibadah yang sama. Tidak semua jemaat lokal memiliki akses ke teleibadah dengan kemudahan yang sama. Sukar menemukan satu jawaban untuk semua keadaan.
Walaupun demikian, beberapa poin berikut ini tetap patut dipertimbangkan. Secara pribadi saya menyarankan untuk menunda pembukaan ibadah bersama. Terburu-buru mengadakan hanya akan mendatangkan lebih banyak mudarat daripada manfaat.
Pertama, keadaan Indonesia sekarang jauh lebih berbahaya daripada pada saat pertama kali larangan ibadah atau PSBB diberlakukan. Jumlah orang yang positif Covid-19 sekarang ini jauh lebih banyak daripada dua bulan lalu. Jika dulu saja ibadah dilarang (padahal jumlah pasien jauh lebih sedikit), mengapa gereja perlu gegabah mengadakan pertemuan besar?
Kedua, ancaman penyebaran gelombang kedua ada di depan mata. Jika kita belajar dari sejarah, kita dengan mudah menemukan bahwa pasca penurunan penyebaran seringkali justru menjadi masa yang paling riskan. Banyak orang mulai lengah. Penyebaran bisa lebih luas dan mematikan daripada sebelumnya. Flu Spanyol memakan korban jauh lebih banyak di gelombang kedua daripada pertama. Beberapa ibadah yang dibuka kembali di sejumlah negara pasca penurunan angka pandemi Covid-19 ternyata menjadi sumber penyebaran (cluster) yang baru. Bahkan beberapa hari terakhir di Indonesia, terutama Jawa Timur, terjadi lonjakan pasien Covid-19 yang cukup signifikan. Terlepas dari bagaimana kita menafsirkan lonjakan angka tersebut – entah karena semakin banyak rapid test dilakukan atau karena semakin banyak orang yang tertular – keadaan ini seharusnya menjadi peringatan bagi gereja-gereja. Resiko yang akan didapatkan jauh melebihi manfaat yang diharapkan.
Ketiga, hanya sedikit gereja yang benar-benar siap menjalankan protokol kesehatan secara teliti. Ketidaksiapan ini disebabkan oleh banyak faktor. Yang paling umum, rasio luas ruangan dan jumlah jemaat yang ideal memang tidak memungkinkan. Jika jarak antar kursi jemaat harus di atas 1 meter, hanya sebagian kecil jemaat saja yang dapat diakomodasi. Belum lagi beberapa gereja tidak memiliki alur keluar-masuk ruangan yang ideal. Hal ini masih ditambah dengan ruangan gereja yang cenderung kurang ventilasi udara. Sebagian besar ruangan ibadah mengandalkan pendingin ruangan (AC), bukan udara segar dari jendela. Jika ibadah dilakukan tanpa AC dan pintu serta jendela terbuka, hal itu berpotensi mengganggu kenyamaman warga sekitar. Yang juga tidak boleh dianggap remeh adalah kerumitan pastoral. Bagaimana jika ada jemaat yang lupa membawa atau enggan mengenakan masker dan face shield? Bagaimana jika ada jemaat tamu dari gereja lain? Bagaimana jika satu rombongan keluarga ingin duduk berdekatan? Bagaimana jika jemaat tetap ingin memberikan persembahan berupa uang kontan? Jika ibadah bersama dilakukan, lalu terjadi sumber penyebaran baru, apakah gereja lokal siap melakukan penanganan (mengadakan rapid test kepada seluruh jemaat, menyediakan ruangan isolasi bagi yang terpapar, dsb)? Persoalan pastoral ini tentu saja masih bisa diperpanjang. Pertanyaannya, apakah pimpinan gereja dan penatalayan siap bertindak tegas terhadap mereka yang enggan mengikuti protokol kesehatan?
Tiga poin di atas seharusnya cukup untuk menahan diri dan meredakan antusiasme kita yang emosional. Pemerintah memang sudah mengizinkan, tetapi kita juga memiliki hak untuk tetap tidak mengadakan. Ini adalah keputusan yang lebih bijaksana.
Seandainya ada gereja yang tetap bersikeras ingin membuka kembali secepatnya, saya mengusulkan beberapa langkah preventif. Pertama, terapkan protokol kesehatan secara tegas dan konsisten. Jangan gara-gara menghargai perasaan dan kenyamaman beberapa jemaat, kita akhirnya mempertaruhkan keselamatan jemaat-jemaat yang lain. Jangan hanya tegas di masa awal pembukaan. Ketegasan perlu dipertahankan sampai keadaan benar-benar aman.
Kedua, perbanyak jumlah ibadah. Dengan menambah jumlah ibadah, jumlah jemaat yang berkumpul juga akan berkurang. Mereka akan tersebar ke berbagai jam ibadah. Terapkan sistem pandaftaran supaya tidak terjadi penumpukan di satu jam ibadah.
Ketiga, perpendek durasi ibadah. Penambahan jumlah ibadah hanya dapat dilakukan secara signifikan jika durasi ibadah dipersingkat. Yang paling perlu untuk dikurangi adalah nyanyian jemaat. Pada saat menyanyi, jemaat berpotensi mengeluarkan air liur di udara atau benda atau lantai. Jika mereka mengenakan masker, mereka juga tidak akan leluasa menyanyi. Firman TUHAN bisa diperpendek supaya pengkhotbah menghemat tenaga untuk jam-jam ibadah selanjutnya. Kolekte tetap dilakukan secara online (transfer) untuk menghindari penyebaran dan penghematan waktu. Jika kolekte secara konvensional tetap dilakukan, kantong tidak usah diedarkan. Cukup letakkan kotak besar di dekat pintu masuk atau keluar. Jemaat dapat memasukkan uang di sana. Petugas kolektan atau bendahara tidak usah terburu-buru menghitung persembahan. Biarkan saja selama beberapa hari sampai virus mati. Jika tetap tidak mungkin dilakukan, semprotlah uang itu dengan disinfektan.
Keempat, jarak antar ibadah perlu dipertimbangkan secara matang. Jika rentang waktu antar jam ibadah terlalu singkat, jemaat di jam sebelumnya bisa bertemu atau berpas-pasan dengan jemaat di jam ibadah selanjutnya. Ini akan meningkatkan resiko penyebaran, apalagi kalau alur masuk – keluar ruangan sangat terbatas (misalnya lewat lift atau pintu yang sama). Lagipula, ruangan dan benda-benda yang baru dipakai juga perlu disterilkan. Pembersihan ideal membutuhkan waktu minimal 1 jam.
Kelima, gereja menambah jumlah ruangan ibadah. Langkah ini dimaksudkan untuk menghindari penumpukan jemaat di jam ibadah tertentu. Ruangan ini bisa di lokasi gereja atau di luar gereja.
Terakhir, gereja tetap perlu mengadakan teleibadah. Sebagian keluarga menikmati teleibadah. Bukan karena kenyamaman, tetapi karena mereka bisa beribadah bersama keluarga dengan lebih baik. Golongan jemaat seperti ini sebaiknya tetap disarankan untuk mengikuti teleibadah. Mereka yang sudah lanjut usia juga didorong untuk membiasakan diri dengan teleibadah.
Kiranya penjelasan singkat di atas dapat menjadi bahan pertimbangan bagi gereja-gereja dalam mengambil keputusan. Sekali lagi, tidak ada satu jawaban untuk semua keadaan. Kiranya Roh Kebenaran yang akan menuntun setiap gereja Tuhan. Soli Deo Gloria.