Apologetika merupakan sebuah disiplin ilmu yang dimaksudkan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan tentang ajaran-ajaran pokok dalam kekristenan. Kesalahpahaman diluruskan. Kebingungan dijernihkan. Pertanyaan diberikan jawaban. Sanggahan disediakan pembelaan. Sekilas terlihat bahwa apologetika merupakan sebuah tanggung jawab Kristiani yang sangat diperlukan.
Dalam kenyataannya, tidak semua orang Kristen tertarik dengan apologetika. Sebagian bahkan menentangnya. Ada banyak alasan yang diberikan. Salah satunya adalah “apologetika sudah tertinggal oleh zaman” atau “apologetika sudah tidak relevan.” Tidak heran, di beberapa kampus teologi mata kuliah apologetika sengaja ditiadakan.
Apakah apologetika masih diperlukan? Jawabannya adalah “ya”! Berikut ini adalah penjelasannya.
Pertama, dari sisi Alkitab. Tugas untuk memberikan pembelaan terhadap iman Kristen bukan hanya dijelaskan di dalam Alkitab (deskriptif), tetapi juga diperintahkan (preskriptif). Paulus memberikan pembelaan (apologia) di beberapa kesempatan (Kis. 22:1; 2Tim. 4:16). Apolos memberikan pembuktian biblikal kepada orang-orang Yahudi tentang Yesus sebagai Mesias (Kis. 18:24-28). Apologetika merupakan salah satu sarana pemberitaan Injil yang efektif pada jaman para rasul.
Apakah data Alkitab tadi hanya sekadar memberikan contoh atau inspirasi belaka? Tentu saja tidak. Alkitab bukan hanya menggambarkan, tetapi juga memerintahkan. Petrus menasihati orang-orang Kristen di perantauan untuk siap sedia memberikan pertanggungjawaban (lit. “pembelaan”) terhadap pengharapan Kristiani (1Pet. 3:15-16). Jadi, selama ada orang lain yang menanyakan iman Kristen, apologetika masih diperlukan. Jadi, pertanyaan yang benar bukan “Apakah apologetika masih diperlukan?” melainkan “Apakah masih ada orang yang menyalahpahami, mempertanyakan, dan menyanggah iman Kristen?” Kalau jawaban adalah “masih,” maka apologetika juga masih diperlukan.
Kedua, dari sisi situasi konkrit di lapangan. Persentuhan antar ideologi semakin gencar terjadi. Globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi membuat banyak orang dengan mudah dapat mengakses ajaran lain. Media sosial dan internet kerap menjadi ajang pertemuan dan persinggungan antar keyakinan. Ini adalah situasi yang tidak terelakkan.
Di tengah keragaman ajaran dan interaksi intensif seperti ini setiap orang dikondisikan untuk memikirkan dan melakukan “apologetika.” Sebagian orang ingin mengetahui keunikan ajaran yang mereka pegang dan mengapa mereka meyakini itu sebagai kebenaran. Bahkan mereka yang cenderung anti terhadap apologetika juga ikut-ikutan memberikan pembelaan terhadap pandangan mereka. Mereka mencoba untuk menunjukkan kesalahan dalam apologetika orang lain. Mereka bahkan menyediakan alasan-alasan untuk menegaskan bahwa apologetika tidak lagi diperlukan. Dengan kata lain, mereka menggunakan “apologetika” untuk menyalahkan “apologetika” yang lain.
Ketiga, dari sisi tugas apologetika. Mereka yang menganggap apologetika tidak relevan berarti sedang mengkritisi apologetika tertentu. Yang ditentang sebenarnya bukan apologetika, tetapi jenis apologetika tertentu. Sebagai contoh, Apologetika Indonesia (API) memahami tugas apologetika sebagai pemberian pembelaan yang rasional, benar, dan relevan. Rasional berarti masuk akal. Benar berarti sesuai dengan kenyataan. Relevan berarti sesuai dengan kultur yang sedang berkembang.
Dari pemahaman seperti ini terlihat bahwa menjelaskan Injil sebagai kabar baik yang relevan merupakan salah satu tugas esensial dalam berapologetika. Jika sebuah pembelaan terlihat tertinggal oleh zaman, yang bermasalah adalah caranya. Mungkin strategi atau teknik yang digunakan kurang mengikuti perkembangan jaman. Mungkin cara berpikir dan bahasa yang digunakan kurang peka terhadap paradigma kultural yang ada. Mungkin jawaban yang diberikan bukan yang ditanyakan oleh banyak orang. Inilah yang juga dikeluhkan oleh Francis A. Schaeffer, salah seorang apologis Kristen terkenal di abad ke-20. Dia mengatakan bahwa banyak mahasiswa teologi dan hamba Tuhan mengetahui jawaban (dari Alkitab), tetapi tidak memahami pertanyaan (dari dunia).
Keempat, dari sisi definisi relevansi. Mereka yang menganggap apologetika sudah tertinggal oleh zaman seringkali memiliki pemahaman tertentu tentang relevansi. Sejauh mana kontekstualisasi perlu dilakukan? Pertanyaan ini akan selalu diperdebatkan, karena masing-masing orang memegang paradigma tertentu yang berlainan. Relevansi jelas bukan kompromi. Yang diadaptasikan bukan esensi, tetapi ekspresi.
Persoalannya, banyak orang juga memperdebatkan batasan esensi dan ekspresi. Bagi mereka yang menganggap Alkitab hanya sebagai ekspresi teologis bangsa Israel, misalnya, hal-hal yang dianggap “fundamental” dalam kekristenan juga akan dipersoalkan. Sebagai contoh adalah historisitas kebangkitan dan finalitas Kristus dalam keselamatan. Jika kebangkitan Kristus hanyalah sebuah konsep teologis buatan gereja mula-mula, mempercayai kebangkitan Kristus jelas bukanlah hal yang esensial. Jika ini yang terjadi, finalitas Kristus dalam keselamatan juga akan dipertaruhkan.
Sejauh mana kita perlu mengakomodasi kultur yang ada? Apakah sampai Injil terlihat tidak lagi ofensif terhadap budaya? Tentu saja tidak, bukan? Injil mengungkapkan keberdosaan dan keterhilangan manusia. Bagi banyak orang, berita semacam ini sudah ofensif. Injil menyatakan bahwa satu-satunya jalan keluar dari persoalan ini adalah beriman kepada Allah oleh kasih karunia Allah. Manusia tidak memiliki peranan atau andil apapun di dalamnya. Konsep semacam ini jelas sesuai dengan budaya kontemporer yang sangat humanistik dan anthroposentris. Injil terdengar ofensif dan kurang sensitif. Ya memang demikianlah Injil. Ada nilai-nilai dalam Injil yang kontrakultural. Peka terhadap zaman bukan berarti sekadar mengikuti jaman.
Artikel ini tidak akan mengulas tentang batasan esensi dan ekspresi seperti yang telah disinggung di atas. Dibutuhkan penjelasan yang jauh lebih panjang lebar untuk menjawabnya. Cukuplah untuk mengatakan bahwa masing-masing orang – baik yang bersemangat dengan maupun yang anti terhadap apologetika – sebenarnya sama-sama sedang melakukan apologia. Yang membedakan adalah pemahaman mereka tentang cakupan tugas dan definisi relevansi dalam apologetika. Soli Deo Gloria.
Photo by Miguel Henriques on Unsplash