Baru-baru ini ada seorang Kristen yang mengajukan pertanyaan ini kepada saya. Dalam diskusinya dengan seorang agnostik, teman agnostik ini menyatakan bahwa agama seseorang ditentukan oleh tempat kelahiran orang tersebut. Jika dia lahir di Timur Tengah ya dia akan beragama Islam. Jika dia lahir di India ya dia akan beragama Hindu. Hal yang sama terjadi pada lokasi-lokasi lain dengan populasi agama tertentu yang dominan.
Pertanyaan di atas sebenarnya tidak terlalu asing bagi saya. Ketika saya dulu menjadi ateis saya juga sempat memikirkan pandangan ini. Pendapat serupa ternyata memang sering diajukan oleh para ateis, misalnya Richard Dawkins.
Untuk menjawab pertanyaan ini dengan baik, kita perlu memahami pemikiran di balik pendapat seperti ini. Apa yang disampaikan bersumber dari teori sosiologi agama. Beberapa penelitian sosiologis menunjukkan bahwa agama seseorang ditentukan oleh lingkungannya. Dengan kata lain, agama bersifat kultural. Manusia tidak memilih agama mereka. Semua ditentukan oleh faktor biologis (siapa orang tuanya), pola asuh (bagaimana orang tua mendidik dan mengarahkan) dan lingkungan (bagaimana masyarakat memeluk dan menjalankan suatu keyakinan).
Pemikiran lain adalah natur agama yang relatif. Mereka yang meyakini bahwa agama merupakan produk kultural berusaha untuk mendaratkan poin mereka, yaitu agama bersifat relatif. Tidak agama yang benar maupun salah. Semua hanyalah ekspresi kultural seseorang. Yang lebih parah, agama hanyalah penerimaan suatu keyakinan tanpa pemikiran rasional dan kritis. Dengan kata lain, agama sebenarnya kurang begitu bisa dipercaya, apalagi dijadikan standar kebenaran universal.
Sekarang marilah kita memberikan respons terhadap pernyataan di atas berikut dengan beberapa pemikiran di baliknya. Hal pertama yang perlu kita sampaikan adalah persetujuan untuk beberapa hal. Budaya memang memengaruhi agama, begitu pula sebaliknya. Keyakinan seseorang juga tidak pernah netral sepenuhnya. Faktor kultural turut berperan di dalamnya. Adalah naif untuk menolak observasi tersebut.
Walaupun demikian, kita perlu membedakan antara memengaruhi dan menentukan. Dipengaruhi belum tentu ditentukan. Tidak sukar untuk membuktikan hal ini. Beberapa ateis lahir dari keluarga Kristen atau, paling tidak, bertumbuh di lingkungan Kristen, tetapi mereka ternyata tidak memercayai keberadaan Allah. Bahkan beberapa anak pendeta memutuskan untuk tidak beragama atau memilih agama lain. Hal yang sebaliknya juga terjadi. Sebagian orang Kristen adalah mantan ateis yang juga bertumbuh dalam keluarga ateis. Mereka akhirnya menemukan kebenaran di dalam Kristus. Bahkan beberapa apologis Kristen yang terkenal dulu adalah ateis, misalnya Lee Strobell. Perpindahan keyakinan seperti ini membuktikan bahwa faktor kultural tidak menentukan.
Bukti lain adalah kemunculan sebuah agama yang baru. Jika setiap orang pasti ditentukan untuk menganut suatu agama berdasarkan lingkungannya, bagaimana suatu agama baru bisa dimunculkan dan berkembang? Bukankah suatu agama baru pasti lahir dan berkembang dalam konteks agama yang lama? Salah satu contoh konkrit adalah agama Kristen. Sebagaimana kita ketahui, beberapa doktrin pokok Kristiani bertabrakan dengan ajaran Yudaisme pada abad ke-1 Masehi, misalnya doktrin Tritunggal atau keilahian Yesus Kristus, kebangkitan Yesus dari antara orang mati dan keselamatan melalui anugerah saja. Doktrin-doktrin inilah yang membedakan kekristenan dari Yudaisme, walaupun keduanya muncul dari konteks historis yang sama dan meyakini kitab suci yang sama (Perjanjian Lama). Menariknya, ribuan pertobat baru ke dalam kekristenan juga berasal dari orang-orang Yahudi. Bahkan untuk meyakini ajaran yang baru ini mereka harus rela menghadapi penganiayaan dari orang-orang Yahudi yang lain. Mereka akhirnya berani melepaskan adat istiadat mereka sejak kecil demi iman mereka kepada Yesus Kristus.
Poin di atas tidak dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa setiap agama adalah benar. Poin yang ingin disampaikan cukup sederhana: kemunculan agama yang baru menunjukkan bahwa faktor kultural tidak menentukan. Sebagian orang pada akhirnya akan meyakini suatu agama berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain di luar faktor kultural.
Dalam banyak kasus, pernyataan “agama ditentukan oleh lokasi di mana seseorang dilahirkan atau dibesarkan” sebenarnya melenceng dari esensi diskusi yang sebenarnya. Kalimat tadi digunakan untuk menghindari isu yang lebih penting: kebenaran. Maksudnya, agama mana yang benar (dalam arti lebih didukung oleh penalaran yang baik dan bukti historis yang meyakinkan). Tidak masalah suatu agama memiliki penganut terbesar di mana. Yang penting adalah apakah agama tersebut bisa dipercaya. Jika Islam adalah benar, agama-agama lain yang berkontradiksi dengan Islam pasti salah, tidak peduli seberapa banyak orang memercayainya maupun di mana mereka berada. Begitu pula sebaliknya apabila agama Kristen yang terbukti benar. Jadi, diskusi sebaiknya dikembalikan pada esensinya: kebenaran. Kita siap berdikusi dan menguji secara logis dan rasional apa yang kita percayai. Soli Deo Gloria.