Salah satu teks yang biasa digunakan untuk melarang orang Kristen melakukan gugatan legal terhadap sesama orang percaya adalah 1 Korintus 6:1-11. Teks ini dianggap mengikat secara mutlak, dalam arti tidak ada perkecualian sama sekali. Segala bentuk tuntutan hukum terhadap sesama orang percaya adalah keliru. Bahkan beberapa orang Kristen menunjukkan sikap yang negatif terhadap hukum sipil.
Benarkah kita dilarang untuk memulai perkara legal terhadap sesama orang percaya dalam situasi apapun?
Hal paling mendasar yang perlu diketahui di sini adalah Paulus tidak anti terhadap hukum sipil. Ketika dia disesah secara semena-mena, dia menggunakan statusnya sebagai warga negara Romawi untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan (Kis. 16:37-38). Dia bahkan menggunakan jalur naik banding kepada kaisar (Kis. 25:11-12).
Data Alkitab di atas menunjukkan bahwa tidak semua gugatan hukum dilarang. Orang Kristen boleh memanfaatkan jalur hukum untuk mencari keadilan. Hukum di dunia belum tentu duniawi.
Lalu apa yang dipersoalkan di 1 Korintus 6:1-11? Dari pembacaan sekilas sudah cukup jelas bahwa perkara legal di teks ini adalah antar sesama orang percaya. Ada situasi-situasi tertentu di mana gugatan hukum antar sesama orang percaya merupakan sebuah kesalahan fatal.
Untuk memahami poin ini, kita perlu mengetahui terlebih dahulu inti persoalan yang sebenarnya di 6:1-11. Pembacaan yang lebih teliti terhadap konteks menunjukkan bahwa yang disorot di sini lebih ke arah hawa nafsu yang akhirnya melahirkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Topik tentang ke(tidak)adilan di sini diletakkan persis di antara dua topik tentang percabulan (5:1-13 dengan ibu tiri, 6:12-20 dengan pelacur). Posisi seperti ini menyiratkan sebuah kesamaan di antara tiga bagian ini: hawa nafsu.
Pembacaan detail dalam teks juga mengarah pada kesimpulan yang sama. Beberapa jemaat yang ditegur di 6:1-11 telah bertindak tidak adil terhadap sesamanya (6:8). Mereka bahkan dapat disamakan dengan daftar para pendosa yang mengumbar hawa nafsu mereka dan merugikan orang lain: Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu (6:9-10). Jadi, inti yang dipersoalkan adalah pengendalian hawa nafsu. Dalam konteks 6:1-11 hawa nafsu yang dimaksud adalah ketamakan. Gara-gara ketamakan terhadap harta inilah mereka rela merugikan sesama orang percaya.
Hal lain yang juga perlu untuk dipertimbangkan ketika memikirkan kasus legal antar sesama orang percaya adalah prosedur penyelesaian. Paulus menegur beberapa jemaat yang langsung membawa kasusnya ke pengadilan sipil. Tindakan ini salah. Mereka seharusnya berusaha menyelesaikan perkara itu di antara mereka sendiri terlebih dahulu dengan meminta perantaraan dan pertimbangan dari orang-orang yang dewasa di antara jemaat (6:1, 5-6). Langsung menempuh jalur hukum tanpa mengupayakan penyelesaian secara kekeluargaan berdasarkan ajaran Alkitab merupakan tindakan yang merusak nama baik gereja.
Sebagai penutup, kita perlu menggarisbawahi bahwa perkara hukum di teks ini tampaknya lebih ke arah masalah-masalah perdata, bukan pidana. Paulus tidak menyinggung kejahatan tertentu yang memicu gugatan hukum. Dia lebih banyak berbicara tentang keadilan dan ketidakadilan dalam konteks kerugian (6:7-8). Ketika dia memberikan teguran terhadap sikap jemaat yang merusak nama baik gereja, dia lebih menyorot pada keputusan mereka untuk mencari solusi legal di pengadilan sipil, bukan pada kejahatan tertentu yang memicu perkaranya. Dari semua penjelasan ini cukup aman untuk mengatakan bahwa sengketa hukum di sini bersifat perdata.
Penjelasan ini sangat diperlukan sebagai batasan. Ada masalah-masalah hukum tertentu, terutama yang bersifat pidana, yang berada di luar kewenangan gereja. Apabila terjadi tindak pidana dalam gereja atau antar sesama orang percaya, apalagi yang sangat serius (misalnya pemerkosaan, pelecehan seksual, pembunuhan), gereja perlu melaporkan kepada pihak yang berwajib. Tidak melaporkan justru akan mencoreng nama baik gereja, seolah-olah gereja berusaha untuk menutupi sebuah kejahatan.
Walaupun demikian, orang-orang Kristen sebaiknya menghindari prinsip “sedikit-sedikit dipidanakan.” Untuk kesalahan-kesalahan yang tidak seberapa berat sebisanya mungkin diselesaikan secara internal. Yang tergolong dalam kategori ini mungkin tindakan yang tidak menyenangkan, dan sejenisnya. Diperlukan hikmat ilahi untuk menilai kesalahan mana yang tergolong serius dan mana yang kurang seriusan. Ada banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan juga (frekuensi, dampak, posisi pelaku, keadaan khusus, dan sebagainya).
Dalam kasus pidana yang berat dan perlu dilaporkan atau diselesaikan pada ranah hukum sipil, sikap-sikap Kristiani dalam menghadapi konflik tetap perlu dipertahankan. Pembicaraan secara kekeluargaan tetap perlu dilakukan. Pelaku kejahatan harus meminta maaf dan korban juga seyogyanya memberikan pengampunan. Gereja juga harus memikirkan cara untuk menemani korban menjalani trauma atau efek dari kejahatan yang menimpa dia. Bagaimanapun, penentuan hukuman tetap diserahkan kepada pihak yang berwenang. Penyelesaian secara kekeluargaan akan mengurangi tingkat hukuman, tetapi mungkin tidak akan meniadakan sanksi sama sekali.
Jadi inti dari semua yang dibicarakan di sini adalah pengujian hati. Apakah motivasi utama dalam menempuh jalur hukum atas suatu perkara? Jangan-jangan yang menggerakkan hanyalah hawa nafsu dan bukannya kecintaan terhadap kebenaran. Jangan-jangan yang disengketakan hanya masalah keuntungan, bukan keadilan. Dalam segala perkara, marilah kita belajar untuk membicarakannya secara terbuka sebagai sebuah keluarga rohani. Soli Deo Gloria.
Photo by Tingey Injury Law Firm on Unsplash